Malam itu terasa sedikit berbeda di warung kecil di pojok pasar, tempat Bu Siti biasa berjualan nasi uduk sejak pagi buta hingga larut malam. Lampu-lampu jalan yang redup dan suasana sunyi di sekitar pasar membuat malam terasa mencekam. Biasanya, malam hari hanya dihiasi suara gemericik air got dan gemerisik angin yang meniup daun-daun kering. Namun malam itu, entah kenapa, Bu Siti merasa ada sesuatu yang aneh.
Di bangku kayu di depan warungnya, dua lelaki yang tak dikenal duduk terdiam. Mereka tampak seperti pelanggan biasa, tapi ada yang membuat Bu Siti tak tenang. Pakaian mereka terlihat kusam dan usang, seolah-olah baru saja keluar dari film hitam putih. Salah satunya memakai peci hitam, sementara yang lain tampak memegang sebuah kantong plastik besar yang penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dikenali.
“Bu, nasi uduknya satu lagi, ya,” ujar salah satu lelaki, suaranya berat dan terdengar seolah keluar dari kedalaman yang asing.
Bu Siti terdiam sejenak, menahan diri dari rasa takut yang tiba-tiba merayap. Ia buru-buru menyajikan nasi uduk yang mereka minta. Namun, tangan gemetarnya tidak bisa disembunyikan saat ia meletakkan piring di depan lelaki itu.
“Ini, Pak… nasi uduknya,” ujarnya, berusaha terdengar tenang.
Lelaki itu tersenyum samar. “Terima kasih, Bu.”
Saat Bu Siti hendak kembali ke dapur, suara gesekan dari arah belakang warungnya terdengar pelan. Sesuatu seperti suara rantai yang diseret di lantai. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia mencoba menoleh, namun sepertinya tidak ada apa-apa di sana.
“Bu, ada yang salah?” tanya lelaki yang duduk di bangku, kali ini nadanya terdengar lebih tegas.
“Enggak, Pak… enggak ada apa-apa,” jawab Bu Siti tergagap, sambil melirik ke arah belakang warung. Tatapannya kembali pada dua lelaki itu, tetapi kini ia merasa ada sesuatu yang sangat aneh. Mereka tidak menyentuh makanan mereka sama sekali. Piring nasi uduk yang tadi ia hidangkan masih utuh.
“Kenapa, Pak? Nasi uduknya nggak enak?” tanya Bu Siti, mencoba bersikap ramah.
Lelaki yang memakai peci menatapnya dengan mata yang terasa menusuk, lalu tertawa kecil. “Enak, Bu… sangat enak. Tapi kami belum bisa makan sekarang.”
Ucapan itu membuat Bu Siti merasa semakin tidak nyaman. Sejak ia berjualan di pasar ini, tidak pernah ada kejadian yang terasa seaneh ini. Namun, rasa penasaran mulai menguasai pikirannya. Ia harus tahu siapa sebenarnya dua lelaki ini.
Tak lama kemudian, suasana pasar mulai sepi. Pedagang lain sudah berkemas dan pulang, meninggalkan warung nasi uduk Bu Siti sebagai satu-satunya tempat yang masih buka. Dua lelaki itu tetap diam di tempat mereka, tak bergerak, hanya duduk di bangku kayu yang mulai kotor oleh debu pasar.
Sambil berusaha tenang, Bu Siti membersihkan meja-meja kosong di sekitarnya. Namun setiap kali ia melewati mereka, perasaan takut semakin besar. Ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka bukan pelanggan biasa.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka berdiri, menghadap ke arah jalanan yang mulai gelap. “Kami sudah harus pergi,” katanya pelan, suaranya datar.
“Loh, Pak, uang nasinya belum…” Bu Siti terhenti saat lelaki itu meletakkan kantong plastik yang ia bawa di atas meja. “Ini bayarannya, Bu,” katanya sambil tersenyum, kemudian berjalan pergi dengan langkah perlahan bersama temannya.
Bu Siti menatap kantong plastik itu dengan bingung. Kantong itu penuh, tampak berat dan tidak biasa. Perlahan, ia mendekat dan memutuskan untuk membukanya. Saat kantong itu terbuka, ia tersentak mundur. Isinya penuh dengan uang kertas, lusuh dan lapuk seperti sudah bertahun-tahun disimpan di tempat lembap.
Namun yang lebih membuatnya terkejut adalah tanggal yang tertera di uang tersebut. Semua uang yang ada di dalam kantong itu adalah uang keluaran tahun 1980-an.
“Ya Tuhan… siapa mereka tadi?” bisik Bu Siti, tangan dan lututnya bergetar.
Esok harinya, saat Bu Siti menceritakan kejadian itu kepada para pedagang lain di pasar, suasana langsung hening. Wajah mereka tampak pucat, beberapa di antaranya saling berpandangan dengan ekspresi kaget.
“Loh, Bu Siti gak tau, ya?” tanya seorang pedagang sembari mendekatinya. “Dua lelaki itu, mereka bukan manusia biasa.”
Bu Siti menelan ludah, menunggu penjelasan. “Dua tahun lalu, ada dua tukang sayur yang biasa lewat sini tiap pagi. Mereka selalu mampir makan di warung ini. Tapi suatu malam, gerobak mereka ketabrak kereta waktu nyebrang rel di ujung pasar. Keduanya meninggal di tempat,” jelas pedagang itu dengan nada pelan.
“Jadi… mereka yang semalam itu?” Suara Bu Siti nyaris tak keluar.
Pedagang itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah rel kereta yang ada di belakang pasar. “Iya, Bu. Banyak yang bilang, mereka suka kembali malam-malam. Mungkin karena dulu mereka sering makan di sini.”
Tiba-tiba, Bu Siti merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia ingat betul suara gesekan rantai yang terdengar malam sebelumnya. Itu pasti suara dari gerobak sayur mereka, yang biasa mereka dorong melewati pasar ini.
Saat malam tiba, Bu Siti memberanikan diri membuka kantong plastik berisi uang itu sekali lagi. Ia mencoba menghitungnya, berharap ada yang bisa ia gunakan. Namun setiap lembar yang ia pegang, semakin jelas bahwa uang itu tak lagi berlaku. Uang yang sudah rusak dan tak bisa dipakai di mana pun. Ia termenung memandang uang-uang tersebut, bingung harus berbuat apa.
Namun tiba-tiba, terdengar suara yang membuatnya tertawa lepas. Di balik kantong plastik itu, tertulis dengan jelas, “Uang mainan anak-anak.”
selamat datang di situs slot terbaik, situs toto daftar
selamat datang di situs slot terbaik, hongkong lotto daftar