Purnama di Gang Berhantu
Malam itu, gang sempit di antara deretan rumah-rumah tua yang berdempetan terkesan lebih mencekam dari biasanya. Purnama bulat penuh menggantung di langit, memancarkan cahaya pucat yang memantul di atas genteng-genteng. Tak ada angin berembus, hanya kesunyian yang melingkupi. Seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan.
Bambang, yang baru pulang dari warung kopi, menghentikan langkahnya di mulut gang. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Entah kenapa, malam ini terasa berbeda. Di ujung gang, di bawah pohon beringin tua yang sudah lama mati, tampak sebuah sosok berdiri diam. Hanya terlihat sekilas dari sudut matanya, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
Bambang meneguk ludah. Dalam hati, ia mengutuk keberaniannya yang malam-malam begini masih jalan sendirian. Ia menatap lagi ke ujung gang. Sosok itu masih ada, tak bergerak, hanya berdiri tegak seolah menunggu sesuatu.
“Ah, cuma bayangan,” gumam Bambang, mencoba menghibur dirinya sendiri. Tapi, langkah kakinya tak juga mau bergerak. Ia menatap sosok itu sekali lagi, kali ini lebih lama, dan mendapati bahwa sosok itu sedikit demi sedikit mendekat.
Bambang mundur setapak, rasa dingin mulai menyebar dari tengkuknya. Tubuhnya kaku, tak tahu harus lari atau tetap diam di tempat. Bayangan itu semakin mendekat, langkahnya lambat namun pasti. Bambang memandang sekeliling, berharap ada seseorang, siapa saja, tapi gang itu benar-benar kosong.
Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi suara desah napasnya malah menggema di telinganya. Bayangan itu sekarang tinggal beberapa meter di depan. Semakin jelas, ia bisa melihat bahwa sosok itu tinggi, dengan tubuh yang membungkuk. Di bawah cahaya purnama, wajahnya samar-samar terlihat, pucat, tanpa ekspresi.
“Hantu…?” pikir Bambang, keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya mulai gemetar, dan sebelum ia sempat berpikir lagi, sosok itu telah berdiri tepat di hadapannya.
Dalam hitungan detik yang terasa seperti berabad-abad, Bambang menutup matanya, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun, tak ada yang terjadi. Tak ada serangan, tak ada suara. Perlahan-lahan, ia membuka matanya lagi, dan sosok itu sudah hilang.
Ia menghela napas panjang, merasa lega, meski kakinya masih lemas. Mungkin hanya halusinasi, pikirnya. Namun, ketika ia berbalik untuk berjalan cepat meninggalkan gang itu, telinganya menangkap suara aneh. Suara langkah kaki, bukan dari dirinya, tapi dari sesuatu yang bergerak mendekat lagi dari arah belakang.
Bambang langsung berhenti. Ia tahu betul apa yang ia dengar. Langkah kaki itu semakin mendekat, menggema di gang sempit yang sunyi. Kali ini, tubuhnya tak bisa menahan getaran. Tanpa menoleh ke belakang, ia mulai berjalan cepat, berusaha keluar dari gang tersebut secepat mungkin. Namun, langkah-langkah itu semakin cepat pula, mengejarnya.
Di dalam dadanya, jantungnya berdegup tak keruan. Bambang tak bisa lagi menahan ketakutan. Ia berlari, meninggalkan ketakutannya di belakang, mencoba melarikan diri dari suara yang terus mengikuti. Tapi, tak peduli seberapa cepat ia berlari, suara itu tetap ada, seolah-olah membayanginya di setiap sudut.
Sesampainya di ujung gang, napas Bambang tersengal-sengal. Ia berhenti sejenak, menoleh dengan cepat, berharap apa pun yang mengejarnya akan lenyap. Tapi, tak ada apa-apa. Gang itu kosong, gelap, dan hanya bayangan pohon beringin tua yang mengayun pelan oleh angin malam.
“Astaga, apa tadi itu?” Bambang berbisik, masih terengah-engah. Ia mengusap keningnya yang basah oleh keringat dingin, mencoba menenangkan diri. Ia mengira semua sudah selesai. Namun, sebelum ia sempat merasa lega, dari arah pohon beringin, terdengar suara tertawa kecil.
Suara itu begitu samar, namun sangat jelas di tengah keheningan malam. Tawa lirih, seolah-olah ada seseorang yang sedang mengejeknya. Bambang mematung, tatapannya kembali tertuju ke arah pohon beringin. Di sana, di balik bayangan, muncul sosok lain. Kali ini lebih kecil, dengan postur tubuh yang agak bungkuk. Sosok itu perlahan-lahan keluar dari kegelapan, dan seketika Bambang bisa merasakan ketakutan yang merayap naik lagi di punggungnya.
Tanpa berpikir panjang, Bambang memutar tubuhnya dan berlari keluar dari gang itu. Ia tak peduli lagi tentang suara langkah kaki, atau sosok yang baru saja ia lihat. Yang ada di benaknya sekarang hanyalah menjauh sejauh mungkin dari tempat itu.
Sampai akhirnya, ia sampai di depan rumah Pak RW. Pintu terbuka, dan cahaya lampu temaram menyambutnya. Tanpa basa-basi, ia menerobos masuk, napasnya tersengal-sengal. Pak RW, yang sedang duduk santai di ruang tamu, hanya bisa memandangnya dengan bingung.
“Kenapa, Bang?” tanya Pak RW, menaikkan alisnya.
Bambang tak langsung menjawab. Ia sibuk menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur irama jantungnya yang berdebar kencang. “Saya… saya lihat… hantu,” ujarnya terbata-bata, sambil menunjuk ke arah gang.
Pak RW menatapnya sejenak, lalu tertawa pelan. “Ah, gang itu lagi ya? Kamu pasti ketemu sama ‘penunggu’ gang itu.”
Bambang mengerutkan dahi. “Penunggu? Maksudnya hantu?”