Karnaval Malam Tanpa Tawa
Sudah hampir tengah malam, dan jalanan di sekitar Taman Kota Seroja mulai sepi. Suara kendaraan berkurang, berganti dengan derit angin yang melewati bangunan tua di pinggir jalan. Dari kejauhan, terdengar suara meriah dari karnaval yang berlangsung di tengah taman. Lampu warna-warni menyala terang, dan tenda-tenda permainan masih dipenuhi orang-orang yang ingin menghabiskan malam panjang mereka.
Wira melangkah gontai melewati gerbang taman. Di sakunya, selembar kertas lusuh yang dia genggam erat, sebuah undangan yang katanya khusus untuk mereka yang “berjiwa merdeka”. Namun, Wira bukan orang yang merasa merdeka. Bekerja serabutan setiap harinya membuat dia selalu merasa terjebak dalam rutinitas yang membosankan. Tetapi entah kenapa, undangan itu seperti memanggilnya, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar pesta rakyat biasa.
Di pintu masuk karnaval, seorang pria tua berjenggot menyambutnya dengan senyum yang aneh. “Selamat datang di malam yang tak biasa,” katanya, suaranya sedikit bergetar, seperti sedang menahan tawa.
Wira mengangguk kikuk. “Malam yang tak biasa, ya?”
Pria itu tertawa kecil, hampir seperti menggumam. “Oh, tentu saja. Tidak ada yang biasa di sini. Semua yang kau lihat, semua yang akan kau alami, adalah… kenyataan yang tersembunyi.”
Belum sempat Wira bertanya lebih jauh, pria itu melangkah ke arah lain, menghilang di antara kerumunan. Wira merasa bulu kuduknya meremang, tapi dia tetap melangkah maju, mendekati tenda permainan pertama. Sebuah permainan lempar bola klasik, dengan deretan botol kaca yang tampak tidak terlalu sulit untuk dijatuhkan.
Seorang petugas permainan, seorang wanita muda dengan senyum tipis, menyapanya. “Mau coba? Hanya butuh satu lemparan untuk membuat semua botol itu jatuh,” katanya.
Wira ragu, tapi ia mengeluarkan uang receh dari sakunya dan menyerahkannya. “Baiklah, mari kita coba.”
Dia mengambil bola dari tangan wanita itu, lalu mengarahkan pandangannya ke deretan botol. Dengan hati-hati, dia melempar, dan bola melesat cepat menuju sasaran. Namun, tepat sebelum bola itu mengenai botol-botol tersebut, botol-botol itu bergerak dengan sendirinya. Satu per satu, botol-botol itu terjatuh, bukan karena lemparan Wira, melainkan seolah ada tangan tak kasat mata yang mendorongnya.
“Hebat!” seru wanita itu, tersenyum lebar.
Wira tertegun. “Apa-apaan ini?”
“Sudah kubilang, ini malam yang tak biasa. Kau sudah memenangkan sesuatu.” Wanita itu mengeluarkan sebuah boneka kecil dari balik mejanya. Boneka itu tampak usang, dengan mata satu yang tampak lebih besar dari yang lain. “Ini untukmu. Jangan biarkan dia lepas darimu.”
Wira merasa jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang salah dengan boneka itu, tapi dia tak punya pilihan selain mengambilnya. Dia berterima kasih singkat dan melangkah pergi, mencari udara segar. Namun, langkahnya terhenti ketika dia mendengar suara pelan dari dalam saku jaketnya.
“Aku takkan lepas darimu…”
Wira merogoh saku jaketnya, dan boneka kecil itu menatapnya dengan mata satu yang tampak hidup. Nafas Wira tertahan. Boneka itu bergerak sendiri. Cepat-cepat, dia melemparkannya ke dalam tong sampah terdekat dan berjalan cepat, seolah-olah ingin meninggalkan kenangan aneh itu di belakang.
Namun, tak sampai beberapa langkah, dia kembali mendengar suara pelan yang familiar. “Aku takkan lepas darimu…”
Boneka itu kini berada di tangan kirinya, seolah ia tak pernah membuangnya. Tubuh Wira terasa dingin, dan bulir keringat mulai muncul di dahinya. Ia harus pergi dari sini, pikirnya. Tapi entah bagaimana, kaki-kakinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya.
Dalam kondisi tertekan, Wira memutuskan untuk mencari pria tua berjenggot tadi. Mungkin dia bisa menjelaskan apa yang terjadi. Tapi karnaval itu semakin aneh. Orang-orang yang tadi tampak riang kini mulai terlihat berwajah kosong, seperti boneka yang digerakkan oleh tali yang tak terlihat.
Wira mencoba menenangkan dirinya. Ini pasti lelucon, pikirnya. Karnaval ini pasti punya trik-trik yang didesain untuk menakuti pengunjung. Tapi mengapa rasanya begitu nyata?
Tiba-tiba, suara tawa anak kecil terdengar dari kejauhan, diikuti oleh teriakan kencang. Wira berlari menuju sumber suara, berharap bisa menemukan jawaban di sana. Namun yang dia temui hanya lorong gelap di balik salah satu tenda permainan.
Dia tidak ingin masuk ke sana, tetapi sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk melangkah. “Mungkin di ujung sana ada jalan keluar,” bisiknya pada diri sendiri. Dengan napas tertahan, Wira berjalan masuk.
Semakin dalam dia masuk, semakin gelap lorong itu, hingga akhirnya dia tidak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba, dia tersandung sesuatu dan jatuh ke tanah. Tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan kaku. Saat dia menyinari benda itu dengan ponselnya, dia melihat sebuah patung manusia yang berdiri kaku, wajahnya tersenyum lebar, namun matanya kosong. Patung itu tampak seperti orang sungguhan yang dibekukan di tengah gerakan.
“Ini tidak mungkin,” gumamnya. Wira mundur perlahan, namun sebelum dia bisa keluar dari lorong itu, patung tersebut tiba-tiba bergerak, tangannya terulur ke arahnya. “Jangan tinggalkan aku di sini,” kata patung itu dengan suara yang teredam.
Wira berteriak dan berlari keluar secepat mungkin. Namun, ketika dia sampai di ujung lorong, dia kembali ke titik awal, di depan tenda permainan pertama. Di depannya, wanita penjaga tenda itu masih berdiri dengan senyum tipis, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
“Apa kau siap untuk mencoba lagi?” tanyanya dengan nada yang sama seperti sebelumnya.
Kali ini, Wira tidak mau bertanya lagi. Dia berlari menuju gerbang keluar karnaval, namun pintu gerbang itu terkunci. Dia mencoba mendorongnya, tapi tidak berhasil. Dalam kepanikan, dia berlari mengitari pagar, mencari celah untuk melarikan diri. Namun, setiap kali dia berlari, dia selalu kembali ke titik yang sama—depan tenda permainan.
“Ini tidak mungkin,” gumamnya. Keringat dingin membasahi wajahnya. Rasa takut mulai merambat ke setiap saraf tubuhnya.
Suara pelan dari dalam saku jaketnya terdengar lagi. “Aku takkan lepas darimu.”
Wira merogoh sakunya dan mendapati boneka itu kembali di sana, tersenyum dengan cara yang aneh. “Apa yang kau inginkan dariku?!” teriaknya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Wira berbalik dan melihat pria tua berjenggot yang tadi menyapanya di awal karnaval. Wira menghampirinya, mencoba meminta penjelasan. “Apa yang terjadi di sini? Kenapa aku tidak bisa keluar?”
Pria tua itu hanya tersenyum tipis. “Ini bukan tentang karnaval, Nak. Ini tentang apa yang kau bawa ke sini.”
Wira terdiam, bingung. “Apa maksudmu?”
“Kau, kita semua, datang ke sini membawa sesuatu yang tidak ingin kita hadapi. Karnaval ini hanya memantulkan itu,” jawab pria tua itu dengan suara pelan.
Wira memandang boneka di tangannya. “Boneka ini…?”
Pria tua itu tertawa pelan. “Oh, bukan bonekanya. Tapi apa yang diwakili olehnya.”
Dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Karnaval ini bukanlah tempat biasa. Ia adalah cerminan dari segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini Wira simpan. Boneka itu hanyalah representasi dari perasaan yang dia tolak untuk hadapi.
Sebuah ketenangan aneh menyelimuti Wira. “Jadi, untuk keluar dari sini…”
“Ya, kau harus menghadapinya,” kata pria itu, lalu menghilang seperti bayangan.
Wira menatap boneka di tangannya, menghela napas panjang. Lalu, dia tertawa kecil. “Jadi cuma itu? Aku cuma perlu menghadapi ini?” katanya pada diri sendiri.
Ia menaruh boneka itu di tanah dengan lembut dan melangkah mundur. Lalu, seperti dalam sebuah adegan yang sudah dia bayangkan, pintu gerbang di belakangnya terbuka perlahan. Semua suara karnaval tiba-tiba berhenti.
Ketika dia melangkah keluar, Wira merasa beban berat di dadanya perlahan menghilang. Tapi sebelum dia melangkah terlalu jauh, suara pelan dari boneka itu terdengar lagi, kali ini lebih lemah, “Aku takkan lepas darimu…”
Wira tertawa keras. “Ya, ya, aku tahu. Tapi sekarang kau cuma boneka biasa.”
Dan dengan itu, dia berjalan menjauh, meninggalkan karnaval malam tanpa tawa, namun membawa sebuah kesadaran sederhana yang akhirnya membuatnya merasa merdeka.