Suara Koran Terbang di Persimpangan
Hujan baru saja berhenti saat Firman melewati persimpangan yang sepi itu. Genangan air yang tersisa memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan suasana suram di sepanjang trotoar. Persimpangan itu selalu terasa aneh baginya—sepi dan hening meskipun letaknya di tengah kota. Firman menendang selembar koran basah yang tertempel di trotoar. Angin dingin tiba-tiba berhembus, menerbangkan kertas itu beberapa meter ke depan.
Ia berhenti sebentar, menatap koran yang kini tertiup angin, bergerak tanpa tujuan seperti hantu yang tak kasat mata. Firman tersenyum miris. Bagi orang yang seumur hidup tinggal di kota besar, persimpangan itu menyimpan banyak kenangan masa lalu. Orang bilang, di persimpangan ini sering terjadi kecelakaan. Dulu, saat ia masih kecil, ibunya sering memperingatkan untuk tidak main terlalu dekat ke sana.
“Persimpangan itu angker,” kata ibunya. “Sering ada suara-suara aneh dari sana.”
Waktu itu, Firman menganggapnya hanya omong kosong orang tua. Tapi malam ini, ada sesuatu yang membuatnya merasa gelisah. Firman memutuskan untuk berjalan lebih cepat, ingin segera sampai rumah. Namun, suara yang tiba-tiba muncul dari belakang membuat langkahnya terhenti.
Suara itu halus, hampir tidak terdengar, seperti suara kertas yang ditiup angin. Firman menoleh ke belakang. Di sana, koran yang tadi ia tendang bergerak lagi, kali ini lebih cepat, seakan ada yang menggerakkannya dengan sengaja. Angin? Batin Firman, mencoba merasionalisasi apa yang baru saja ia lihat. Tapi anehnya, tidak ada hembusan angin sama sekali.
Firman menelan ludah, menenangkan dirinya sendiri. Ia kembali melanjutkan langkah, namun kali ini langkahnya lebih cepat. Suara kertas yang terbang terus terdengar, semakin mendekat. Firman menoleh lagi, dan kali ini melihat sesuatu yang membuatnya merinding.
Koran itu kini tidak hanya bergerak oleh angin. Di atasnya, samar-samar terlihat bayangan yang menyerupai sosok manusia. Sosok itu tampak bergerak di atas koran, namun tidak benar-benar menyentuh tanah. Firman mundur selangkah, matanya tak berkedip melihat fenomena aneh itu. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Siapa… siapa di sana?” Firman berusaha bertanya, suaranya gemetar. Namun, tidak ada jawaban. Koran itu hanya berhenti, diam, seolah menunggu sesuatu. Firman merasa bulu kuduknya berdiri. Ini terlalu aneh.
Ia membalikkan badan dan berlari. Derap kakinya menggema di jalanan basah, namun suara kertas yang terbang itu tetap mengikuti, seolah-olah mengejarnya. Firman semakin panik, ia berlari menuju arah yang lebih terang, berharap bisa keluar dari persimpangan itu secepat mungkin.
Namun, semakin jauh ia berlari, semakin keras suara koran itu terdengar. Suara lembut kertas yang terbang berubah menjadi deru keras yang menyerupai ribuan kertas melayang-layang di udara. Firman terengah-engah, namun ia tidak berani menoleh ke belakang.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti di depan sebuah toko kelontong kecil yang lampunya masih menyala. Seorang pria tua duduk di depan toko itu, menghisap rokoknya dengan tenang. Firman berhenti, terengah-engah, mencoba memahami situasi.
“Pak… ada… ada yang aneh di persimpangan itu…” Firman menunjuk ke belakang, ke arah suara yang mengikutinya sejak tadi. Pria tua itu mengangkat alisnya, namun tidak tampak terkejut.
“Sudah lama ya, nggak ada yang bicara soal itu,” gumam pria tua itu sambil menepuk abu rokok dari tangannya.
Firman bingung dengan reaksi tenangnya. “Apa maksud Bapak?”