Langit Gelap dan Suara Tak Terjawab
Langit di atas gang sempit itu berubah menjadi kelam, mendung berat bergelayut. Angin malam membawa hawa lembab yang menusuk kulit. Didi, bocah berusia sebelas tahun, mempercepat langkahnya. Ia baru saja pulang dari membeli minyak tanah di warung seberang jalan besar. Namun, langkah kakinya terhenti ketika ia mendengar suara aneh, seperti langkah kaki yang mengikuti dari belakang.
Ia menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya bayangan tembok dan gang yang sepi. Didi menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia melanjutkan perjalanan, namun suara langkah kaki itu terdengar lagi. Suara itu semakin jelas, seakan berada tepat di belakangnya. Didi merasa bulu kuduknya meremang.
Sambil berusaha tetap tenang, ia mempercepat langkah, hampir berlari kecil. Gang yang biasanya ia lewati terasa lebih panjang dari biasanya. Angin malam kembali berhembus, membawa suara yang menyerupai bisikan halus di telinganya.
“Jangan lari… pelan saja.”
Didi berhenti sejenak. Jantungnya berdegup kencang. Ia yakin suara itu bukan berasal dari angin. Suara itu terdengar nyata, seperti ada seseorang yang tengah berdiri di belakangnya. Dengan ragu-ragu, Didi menoleh lagi. Namun, yang terlihat hanyalah tembok dan lorong gelap. Ia semakin panik, mengencangkan genggaman di kaleng minyak tanah yang ia bawa.
Tiba-tiba, suara langkah kaki itu menghilang, digantikan oleh suara gemerisik daun kering. Kali ini, Didi merasa seluruh tubuhnya dingin. Ia melirik ke kanan dan kiri, lalu memutuskan untuk berjalan lebih cepat. Ia tidak tahu apa yang mengejarnya, tapi perasaan dikejar itu begitu kuat, seakan sesuatu mengawasinya dari kejauhan.
Sampai akhirnya, suara lain muncul—lebih menyeramkan dari sekadar langkah kaki. Suara tawa. Tawa halus yang bergetar di antara dinding-dinding gang yang sempit. Didi menghentikan langkahnya lagi. Suara tawa itu bergema, semakin lama semakin keras, seakan-akan berasal dari segala arah. Kini, Didi tidak bisa lagi mengabaikannya. Hatinya berteriak untuk segera berlari, namun kakinya terasa berat, terpaku di tempat.
Seketika, ia merasakan kehadiran sosok di belakangnya. Didi tak sanggup menoleh lagi. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Namun, entah keberanian dari mana yang tiba-tiba muncul, ia memaksa diri untuk menoleh sekali lagi, kali ini dengan cepat.
Di depan matanya, bayangan itu ada.
Bayangan hitam yang tingginya melebihi orang dewasa berdiri diam, hanya beberapa meter darinya. Tidak ada wujud yang jelas, hanya kegelapan yang melayang. Didi terbelalak, tercekam dalam diam. Bayangan itu seperti tidak bergerak, tapi auranya begitu menakutkan. Didi menelan ludah. Ia tak lagi mendengar suara langkah atau tawa, hanya keheningan yang memekakkan telinga.
Dengan susah payah, ia mencoba mundur perlahan. Namun saat ia melangkah satu kali ke belakang, bayangan itu ikut bergerak maju. Didi hampir jatuh saking terkejutnya. Ia tahu, ini bukan lagi bayangan biasa. Perasaan takut semakin menjalar ke seluruh tubuhnya.
Suara pelan seperti jeritan sayup-sayup terdengar dari arah bayangan itu, namun makin lama semakin jelas, seperti sirene yang datang mendekat. Keringat dingin mengucur deras, membuat Didi ingin menjerit, tetapi suaranya seolah tersangkut di tenggorokan. Hanya satu hal yang kini ada dalam pikirannya: lari!
Ia berbalik dan melesat sekuat tenaga. Langkah kakinya tergesa-gesa, hampir terpeleset di jalanan licin oleh hujan gerimis yang baru turun. Namun suara itu masih mengikutinya, suara langkah kaki dan tawa yang tidak pernah berhenti. Setiap kali ia mencoba lari, suara itu semakin mendekat.
Gang di depannya tampak tak berujung. Didi melihat bayangan pabrik tahu yang membayangi jalan keluar. Tembok besar pabrik itu seperti benteng yang membatasi pelariannya. Ia melirik ke belakang, bayangan hitam itu masih mengikutinya, lebih cepat dari sebelumnya. Didi panik, napasnya mulai tak teratur. Jantungnya berdebar kencang, mengalahkan suara derap langkah kakinya.
Tiba-tiba, di tengah kepanikan, Didi mendengar sesuatu yang lain. Suara angklung! Suara yang seharusnya hanya terdengar di pasar malam atau pertunjukan tradisional. Namun, kini suara itu menyelip di antara suara langkah yang mencekam. Suara yang tak masuk akal, tapi nyata. Suara yang seolah menertawakan ketakutan Didi.
Dalam kebingungan, Didi berhenti sejenak. Dia bingung apakah harus merasa lega atau semakin takut. Perlahan-lahan, suara langkah kaki dan tawa itu memudar, berganti menjadi derai tawa anak-anak yang bermain di sekitar. Didi tertegun. Dari sudut matanya, ia melihat sekumpulan anak kecil sedang bermain di pinggir gang. Mereka bermain petak umpet, berlari-lari dengan riang, seolah tak terganggu oleh suara mencekam tadi.
Didi mengernyit, ia melihat ke arah tembok pabrik tahu, lalu ke arah anak-anak itu. Bagaimana mungkin mereka tidak terganggu oleh bayangan hitam tadi? Apa yang sebenarnya terjadi?
Ia mendekati salah satu anak, berusaha menahan napas dan bersikap normal. “Eh, kalian nggak dengar tadi? Suara langkah kaki sama ketawa?”
Anak-anak itu menoleh dengan wajah polos, lalu seorang bocah yang tampak lebih tua dari yang lain menanggapi, “Ah, itu cuma suara pabrik tahu. Kadang mesin pabrik kalau lagi rusak bikin suara aneh, apalagi kalau hujan, suka ada uap keluar. Tapi serem sih kalau nggak tahu.”
Didi terdiam sejenak, memproses kata-kata bocah itu. Jadi, suara tadi hanyalah hasil dari mesin rusak dan uap pabrik yang menguap? Tapi bagaimana dengan bayangan hitam dan suara tawa yang menyeramkan tadi?
Ia menoleh ke arah gang tempat ia berlari sebelumnya, tapi kini gang itu tampak biasa saja. Tak ada bayangan hitam, tak ada tawa misterius. Hanya gang sepi dengan suara gemuruh pabrik tahu yang beroperasi di kejauhan.
Didi mendesah panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang masih kencang. Meski bocah tadi mencoba menjelaskan semuanya dengan logis, Didi masih merasa ada yang tidak beres. Mungkin bukan soal mesin pabrik atau uap tahu yang membuat suasana mencekam. Tapi, yang pasti, malam ini ia belajar satu hal: tidak semua misteri harus dikejar jawabannya. Kadang, ketidaktahuan adalah jawaban yang paling aman.
Namun, satu hal yang ia sadari, bayangan itu seolah tetap mengawasinya dari kejauhan, dan suara-suara itu masih bisa terdengar samar di telinganya…