Sepeda Rongsok dan Jembatan Angker
Di bawah langit sore yang mulai gelap, Rudi mengayuh sepeda rongsoknya melewati jalan sempit yang penuh dengan kerikil. Suara rantai sepeda yang berderit setiap kali roda berputar membuat suasana semakin suram. Sepeda itu sudah tua, catnya terkelupas, dan beberapa bagian sudah berkarat, namun Rudi tetap bergantung padanya untuk perjalanan hariannya dari rumah ke warung.
Ada satu rute yang selalu dihindari oleh orang-orang di kampungnya, termasuk dirinya: jembatan tua yang melintasi sungai kecil di pinggiran kampung. Jembatan itu terkenal angker. Banyak cerita tentang orang-orang yang pernah melintas dan merasakan hal-hal aneh—suara-suara, bayangan, bahkan desas-desus bahwa ada sosok misterius yang tinggal di bawah jembatan itu.
Namun, sore itu Rudi tidak punya pilihan. Hari sudah semakin gelap, dan jalan biasa yang biasa ia lewati ditutup karena perbaikan. Untuk sampai ke warung dengan cepat, satu-satunya pilihan adalah melewati jembatan tua tersebut.
“Hah, masa percaya cerita-cerita begitu?” gumamnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Dia mendekati jembatan dengan ragu, tetapi terus mengayuh. Di kejauhan, bentuk jembatan itu mulai terlihat, seperti sebuah bayangan hitam besar yang membentang di atas sungai. Semakin dekat ia, semakin dingin udara di sekitarnya. Angin yang bertiup perlahan membawa suara-suara samar yang tak bisa ia jelaskan.
“Ah, ini cuma perasaan gue aja,” Rudi berkata dengan suara pelan, meski hatinya mulai berdebar lebih kencang.
Tiba-tiba, rantai sepeda tua itu tersangkut, membuat sepeda berhenti mendadak. Rudi hampir terlempar dari tempat duduknya. “Sial!” gerutunya, turun dari sepeda dan berjongkok untuk memeriksa rantai yang macet.
Dalam keheningan yang mulai terasa mencekam, Rudi mendengar sesuatu. Suara itu seperti… gemerisik daun, atau mungkin langkah kaki yang sangat pelan. Dia berhenti memperbaiki sepeda, telinganya tegang mendengarkan. Suara itu semakin jelas, datang dari arah jembatan.
Dia berdiri, menatap ke arah jembatan tua itu. Sekilas, ia melihat bayangan bergerak di bawah jembatan, tapi terlalu cepat untuk ia yakini. Rudi menelan ludah. “Mungkin cuma angin,” pikirnya, walau bulu kuduknya mulai berdiri.
Rudi mencoba kembali memasang rantai sepeda yang macet. Ketika dia baru saja hendak melanjutkan perjalanan, suara keras terdengar dari bawah jembatan. Bunyinya seperti sesuatu yang jatuh ke dalam air. Rudi langsung berhenti dan menoleh lagi ke jembatan. Kali ini, bayangan itu muncul lagi, lebih jelas. Sesosok manusia… atau setidaknya, begitulah penampakannya dari jauh.
“Siapa di sana?” Rudi berteriak, berharap itu hanyalah seseorang yang sedang lewat.
Namun, tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya gemericik air di bawah jembatan, bercampur dengan suara angin yang menerpa daun-daun pohon di sekitarnya. Ketegangan semakin terasa. Rudi merasakan jantungnya berdegup kencang. Akal sehatnya mengatakan untuk segera berbalik dan mencari jalan lain, tapi kakinya terasa berat, seakan ditahan oleh sesuatu yang tidak bisa ia lihat.
Bayangan itu semakin dekat, bergerak pelan namun pasti ke arah jembatan. Rudi bisa melihat dengan lebih jelas sekarang. Itu bukan manusia biasa. Tingginya tidak wajar, tubuhnya kurus, dan gerakannya sangat aneh, seperti melayang.
Tiba-tiba, sepeda rongsoknya mengeluarkan suara keras, rantai yang tadinya macet terlepas dengan sendirinya. Sepeda bergerak maju sedikit. Rudi melompat kaget, memandangi sepeda tua itu seolah-olah benda mati itu baru saja berusaha mengingatkannya untuk pergi.
Tanpa pikir panjang, Rudi kembali menaiki sepedanya dan mulai mengayuh sekuat tenaga. Ia tidak peduli lagi apakah rantai akan tersangkut lagi. Yang penting adalah melarikan diri dari tempat itu secepat mungkin.
Saat ia mencapai ujung jembatan, bayangan itu sudah hampir di atasnya. Rudi bisa mendengar sesuatu seperti bisikan, pelan namun memekakkan telinga. Ia terus mengayuh, kakinya nyaris kaku karena ketakutan.
Namun, tak disangka-sangka, saat ia hendak melaju lebih cepat, suara aneh itu berubah menjadi suara manusia. Bukan suara yang menyeramkan, melainkan suara yang sangat familiar.
“Rudi! Rudi! Sini dulu!”
Rudi langsung berhenti mendadak, hampir saja terjatuh dari sepedanya. Dengan napas terengah-engah, ia menoleh ke arah jembatan. Dari bawah jembatan, seorang pria tua muncul, membawa karung besar di punggungnya.
Rudi mengenal pria itu—Pak Mahmud, tukang rongsokan yang sering lewat di kampung. Dengan langkah terseok-seok, Pak Mahmud mendekati Rudi sambil tersenyum lebar.
“Kenapa buru-buru amat, Rud?” tanya Pak Mahmud sambil menepuk karungnya yang penuh dengan barang bekas.
Rudi, masih gemetar, hanya bisa terdiam beberapa saat. “Lah… Pak Mahmud? Tadi… saya kira…” Rudi memandang bayangan yang tadi ia lihat dengan penuh kebingungan.
Pak Mahmud terkekeh. “Ah, jangan percaya sama cerita angker-angker itu. Gue udah bertahun-tahun ngumpulin barang bekas di bawah jembatan ini, gak ada apa-apa tuh. Cuma gue yang sering lewat sini malam-malam buat ngambil barang-barang bekas.”
Rudi terdiam, wajahnya merah karena malu. Selama ini, ketakutannya hanya berasal dari bayangannya sendiri—dan Pak Mahmud yang bekerja di bawah jembatan. Ia pun tertawa kecil, merasa konyol.
“Lain kali, kalau lewat sini jangan takut-takut lagi, ya,” kata Pak Mahmud sambil tersenyum. “Kalau ada apa-apa, panggil aja gue.”
Rudi mengangguk pelan. Ia kembali mengayuh sepedanya, meninggalkan Pak Mahmud yang masih berjalan santai di belakangnya. Jembatan yang tadi terasa begitu menyeramkan kini tampak biasa saja, tidak ada yang aneh atau angker.
Sesekali, Rudi tertawa sendiri di sepanjang jalan, menyadari bahwa yang tadi membuatnya ketakutan hanyalah pria tua yang sedang bekerja.
“Sepeda rongsok dan jembatan angker, ya? Hah! Lucu juga,” gumamnya sambil mengayuh sepeda dengan lebih tenang.