Menyoal Gus Miftah: Antara Candaan, Etika, dan Tanggung Jawab Sosial

5
(1)

Gus Miftah, atau Miftah Maulana, dikenal sebagai pendakwah yang mampu membaur dengan berbagai kalangan melalui pendekatan dakwah yang santai dan penuh humor. Namun, belakangan ini, ia kembali menjadi sorotan setelah beberapa insiden yang mencuatkan pertanyaan besar: di mana batas antara candaan dan penghinaan?

penjual es teh diumpat goblok

Kasus terbaru yang melibatkan penjual es teh bernama Sunhaji di Magelang dan video lama saat ia merendahkan seniman Yogyakarta, Yati Pesek, memperlihatkan sisi lain dari pendakwah yang selama ini dielu-elukan karena gaya komunikasinya yang unik. Meskipun Gus Miftah telah mendatangi Sunhaji untuk meminta maaf, dan video candaan terhadap Yati Pesek adalah peristiwa lama, keduanya tetap meninggalkan jejak di hati masyarakat yang mengharapkan keteladanan dari seorang tokoh agama.

Humor sebagai Senjata Bermata Dua

Dalam budaya Jawa, humor sering kali menjadi alat efektif untuk menyampaikan pesan, bahkan dalam konteks dakwah. Gus Miftah, yang kerap berdakwah di tempat-tempat nontradisional seperti klub malam, memanfaatkan humor untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Namun, humor yang dimaksudkan untuk mencairkan suasana bisa berubah menjadi bumerang ketika melampaui batas etika.

Candaan terhadap Yati Pesek, misalnya, menjadi contoh bagaimana niat menghibur justru merendahkan martabat seseorang. Dalam video yang viral, komentar Gus Miftah tidak hanya gagal sebagai humor, tetapi juga mencerminkan kekurangan empati yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang semestinya ia bawa sebagai pendakwah.

Baca Juga:  CARA MUDAH MENYUSUN LATAR BELAKANG

Netizen dan Jejak Digital

Jejak digital kini menjadi semacam “rekam sidik moral” yang sulit dihapus. Apa yang pernah diucapkan atau dilakukan di masa lalu dapat sewaktu-waktu muncul ke permukaan, terutama dalam era di mana media sosial memberikan ruang luas bagi kritik publik. Respon netizen terhadap Gus Miftah menunjukkan bagaimana masyarakat semakin kritis terhadap figur publik yang dianggap tidak konsisten antara kata dan perbuatan.

Permintaan maaf, seperti yang dilakukan Gus Miftah kepada Sunhaji, memang langkah yang patut diapresiasi. Namun, di tengah sorotan tajam masyarakat, permintaan maaf saja sering kali tidak cukup untuk memperbaiki citra atau mengembalikan kepercayaan. Dibutuhkan perubahan sikap nyata yang berkesinambungan.

Tanggung Jawab sebagai Tokoh Publik

Seorang tokoh publik, terlebih pendakwah, memikul tanggung jawab besar untuk menjadi teladan. Dalam konteks dakwah, teladan ini tidak hanya tercermin dalam isi ceramah, tetapi juga dalam sikap dan tutur kata sehari-hari. Mengutip pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari,” kesalahan kecil dari seorang tokoh bisa menjadi preseden buruk yang ditiru oleh banyak orang.

Gus Miftah memiliki pengaruh besar, terutama di kalangan muda. Gaya dakwahnya yang santai menjadikannya dekat dengan audiens yang sering kali merasa teralienasi oleh pendekatan agama yang formal. Namun, pengaruh besar ini juga berarti ia harus lebih berhati-hati dalam bertutur dan bertindak. Setiap kata yang ia ucapkan tidak hanya mencerminkan dirinya, tetapi juga mencerminkan pesan yang ia bawa.

Baca Juga:  01 Mengungkap Pendekatan Kualitatif

Jalan Perbaikan

Ke depan, Gus Miftah memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia mampu belajar dari kesalahan. Sebagai pendakwah, ia bisa memanfaatkan momen ini untuk mengingatkan dirinya dan jamaahnya tentang pentingnya menjaga lisan. Dalam konteks dakwah, memperbaiki hubungan dengan masyarakat yang sempat kecewa juga merupakan bagian dari tanggung jawab spiritual.

Candaan yang tidak etis dan penghinaan terhadap individu, apapun bentuknya, seharusnya tidak lagi menjadi bagian dari gaya komunikasinya. Sebaliknya, ia bisa menggunakan pendekatan humor yang lebih konstruktif—menghibur tanpa menyakiti, mendekatkan tanpa merendahkan.

Penutup

Gus Miftah adalah gambaran nyata bagaimana tokoh agama juga manusia yang bisa khilaf. Namun, yang membedakan adalah sejauh mana ia bersedia memperbaiki diri dan menjadikan kesalahan sebagai pelajaran. Dalam setiap langkahnya, Gus Miftah diingatkan bahwa lisan adalah pedang bermata dua: ia bisa mempersatukan, tetapi juga bisa melukai. Di tengah kritik dan sorotan, harapan besar tetap ada agar ia bisa menjadi teladan yang lebih baik bagi masyarakat luas.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply