Puisi Cita-Cita oleh Joko Pinurbo: Ulasan


Cita-Cita

karya Joko Pinurbo

Setelah punya rumah, apa cita-citamu?

Kecil saja: ingin sampai rumah 

saat senja supaya saya dan senja sempat

minum teh bersama di depan jendela.

Ah, cita-cita. Makin hari kesibukan

makin bertumpuk, uang makin banyak

maunya, jalanan macet, akhirnya 

pulang terlambat. Seperti turis lokal saja,

singgah menginap di rumah sendiri

buat sekedar melepas penat.

terberkatilah waktu yang dengan tekun 

dan sabar membangun sengkarut tubuhku 

menjadi rumah besar yang ditunggui

seorang ibu. Ibu waktu berbisik mesra,

“Sudah kubuatkan sarang senja 

di bujur barat tubuhmu. Senja sedang 

berhangat-hangat di dalam sarangnya.”


Puisi “Cita-Cita” karya Joko Pinurbo menyuguhkan renungan mendalam tentang makna hidup dan cita-cita yang sering kali berubah seiring berjalannya waktu. Pada awalnya, cita-cita digambarkan sebagai sesuatu yang sederhana namun penuh makna: “ingin sampai rumah saat senja.” Kalimat ini mencerminkan keinginan manusia untuk kembali ke tempat yang nyaman dan aman setelah menjalani hari yang melelahkan. Ini adalah representasi dari keinginan untuk menemukan ketenangan dan kedamaian di tengah kehidupan yang penuh dengan kesibukan dan ketidakpastian.

Joko Pinurbo kemudian menggambarkan realitas kehidupan modern yang kerap kali membuat kita semakin jauh dari cita-cita sederhana tersebut. Kesibukan, keinginan untuk memiliki lebih banyak uang, dan kemacetan lalu lintas menjadi simbol dari kehidupan yang semakin kompleks dan penuh tekanan. “Akhirnya pulang terlambat,” seperti turis lokal yang hanya singgah di rumah sendiri untuk melepas penat, mencerminkan alienasi yang dialami banyak orang dari tempat yang seharusnya menjadi pusat kehidupan mereka. Rumah, yang dalam makna fisik dan metaforis, sering kali menjadi tempat yang semakin jauh dan asing.

Baca Juga:  Mengapa Generasi Z Perlu Pertimbangkan Karier Guru Meskipun Gaji Rendah?

Dalam bagian terakhir, Joko Pinurbo menghubungkan konsep rumah dengan tubuh manusia itu sendiri. “Waktu yang dengan tekun dan sabar membangun sengkarut tubuhku menjadi rumah besar,” menunjukkan bagaimana tubuh kita, seiring berjalannya waktu, menjadi tempat di mana kita akhirnya kembali dan beristirahat. Ibu waktu, yang berbisik mesra tentang “sarang senja” di dalam tubuh, menjadi simbol dari ketenangan dan kehangatan yang ditemukan dalam diri sendiri. Senja, dengan kehangatannya, adalah metafora dari momen refleksi dan penerimaan, saat kita menyadari bahwa dalam tubuh kita sendiri, kita telah menemukan rumah sejati.

Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan kembali cita-cita yang kita miliki dalam hidup. Di tengah kesibukan dan tuntutan hidup modern, Joko Pinurbo mengingatkan bahwa cita-cita yang paling berharga mungkin bukanlah sesuatu yang besar dan ambisius, tetapi sesuatu yang sederhana dan intim: keinginan untuk sampai di rumah, baik dalam arti fisik maupun spiritual. Rumah bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga tempat di mana kita bisa merasakan kehangatan, cinta, dan kedamaian. Dalam era di mana waktu sering kali terasa begitu cepat berlalu, puisi ini mengingatkan kita akan pentingnya untuk berhenti sejenak dan menemukan kembali makna dari cita-cita yang paling sederhana.

Puisi “Cita-Cita” adalah pengingat bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga kondisi mental dan emosional yang kita bangun seiring berjalannya waktu. Ia adalah tempat di mana kita bisa kembali, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual, untuk menemukan ketenangan dan kebahagiaan yang sejati. Joko Pinurbo dengan indah mengemas gagasan ini dalam puisinya, mengajak kita untuk merenungkan kembali apa yang benar-benar penting dalam hidup.

Baca Juga:  RESUME PEDOMAN MENENTUKAN JUDUL PENELITIAN

Leave a Reply