Di tengah malam yang sunyi, suara kereta yang bergemuruh melewati rel tua terdengar samar-samar dari kejauhan. Di bawah jembatan kecil yang berada di sekitar rel, beberapa anak muda sedang nongkrong. Mereka sedang asyik mengobrol dan memainkan kartu, mencoba mengusir rasa bosan di malam yang dingin.
“Denger-denger, kalau kereta lewat tengah malam begini, arwah orang-orang yang pernah kecelakaan di sini bangkit,” ujar Agus, salah satu dari mereka, dengan nada misterius.
Bimo, yang sedang mengocok kartu, tertawa pelan. “Halah, cerita kayak gitu udah basi. Nggak ada apa-apa di sini, Gus.”
“Kamu nggak tahu aja,” timpal Agus. “Waktu dulu, ada kecelakaan kereta di sini. Katanya, beberapa penumpangnya nggak selamat. Sampai sekarang, ada yang bilang mereka masih gentayangan tiap kali kereta lewat.”
Semua tertawa kecuali Sandi, yang dari tadi hanya diam sambil melihat sekeliling. “Eh, tunggu dulu,” katanya tiba-tiba. “Kalian lihat nggak? Di sana ada yang gerak-gerak.”
Sontak, obrolan terhenti. Mereka menoleh ke arah yang ditunjuk Sandi—ke ujung rel di kejauhan, di mana cahaya bulan redup hampir tak menyentuh.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Bimo dengan nada mengejek. “Cuma bayangan pohon.”
Namun, Agus yang merasa penasaran bangkit berdiri. Dia menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas. “Tunggu… beneran ada yang gerak.”
Bimo, yang tadinya cuek, kini ikut memperhatikan. Dari kejauhan, sesuatu yang menyerupai sosok manusia tampak berdiri di atas rel, tak jauh dari tempat mereka. Sosok itu diam tak bergerak, tapi jelas terlihat di bawah sinar bulan yang temaram.
“Apa itu… orang?” tanya Sandi dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Tak ada yang menjawab. Semua terpaku, menyaksikan sosok misterius tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara kereta yang mendekat, semakin lama semakin keras. Sosok itu tetap diam, seolah menunggu sesuatu.
“Dia nggak bergerak,” kata Agus panik. “Kita harus kasih tahu, nanti ketabrak kereta!”
Bimo melangkah maju, siap untuk berteriak memperingatkan sosok itu. Namun, saat dia membuka mulut, kereta melintas dengan kecepatan tinggi, membelah kegelapan malam. Dalam hitungan detik, sosok itu menghilang. Tak ada jejak, tak ada suara, hanya kereta yang berlalu dengan gemuruh yang memekakkan telinga.
Mereka semua terdiam, saling menatap dengan ketakutan yang tak terucapkan.
“Kemana… dia?” Sandi akhirnya berbicara, suaranya bergetar.
“Sosok itu… hilang begitu aja,” jawab Agus dengan wajah pucat.
Bimo, yang biasanya penuh canda, kini tak lagi tersenyum. Dia mengamati rel yang kosong, tempat di mana sosok itu berdiri beberapa detik lalu. “Mungkin… kita cuma halu.”
“Atau mungkin…” Agus mulai bicara lagi dengan nada bergetar, “itu arwah korban kecelakaan. Dia muncul setiap kali kereta lewat.”
Obrolan mereka terhenti oleh suara ranting patah di belakang mereka. Semua menoleh serentak. Di ujung jembatan, di antara pepohonan, mereka melihat bayangan lain bergerak dengan cepat. Kali ini, sosok itu tampak lebih jelas, seolah mengintai mereka dari kegelapan.
“Kita harus pergi dari sini,” bisik Sandi sambil menarik lengan Bimo.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara langkah kaki terdengar mendekat. Langkah-langkah itu tak beraturan, seperti seseorang yang sedang menyeret kakinya. Sosok yang mereka lihat tadi perlahan mendekat ke arah mereka. Tubuhnya diselimuti kabut tipis yang membuatnya terlihat semakin menyeramkan.
Agus, yang tadi paling berani, kini tak bisa berkata-kata. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin mengucur dari pelipisnya. “Lari… lari sekarang!” serunya, memecah kebekuan.
Tanpa pikir panjang, mereka semua berlari sekuat tenaga meninggalkan jembatan itu. Langkah mereka beradu cepat dengan detak jantung yang semakin kencang. Namun, seberapa jauh mereka berlari, suara langkah kaki dari belakang tetap terdengar, seolah sosok itu tak pernah jauh dari mereka.
“Dia ngikutin kita!” teriak Bimo sambil menoleh ke belakang.
“Sial, dia masih di sana!” Sandi berteriak panik.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah rumah kosong di dekat rel. Nafas mereka tersengal-sengal. Di dalam rumah itu, mereka mencoba menenangkan diri, meski masih bisa mendengar suara kereta dari kejauhan.
“Ngapain kita ke sini?” tanya Agus, masih gemetar.
“Lebih baik di sini daripada di luar,” jawab Bimo, meski jelas terlihat dia sama takutnya.
Namun, saat mereka mencoba menenangkan diri, terdengar suara kereta lagi. Kali ini, suaranya semakin mendekat, semakin keras. Bimo melongok ke jendela kecil yang ada di rumah itu, tapi tak ada yang bisa dia lihat selain gelap gulita.
“Kereta lagi,” bisik Sandi. “Tapi… kenapa suaranya makin dekat?”
Agus menoleh, wajahnya pucat pasi. “Kereta itu nggak mungkin lewat dua kali dalam waktu singkat… kan?”
Namun, suara itu semakin keras, hingga mereka bisa merasakan getaran di tanah di bawah mereka. Mereka semua mulai panik, sadar bahwa sesuatu yang lebih aneh sedang terjadi.
“Ini bukan suara kereta biasa,” kata Bimo dengan suara serak. “Ada yang nggak beres.”
Tiba-tiba, pintu rumah itu berderit terbuka. Mereka semua menoleh, melihat ke arah pintu dengan mata terbelalak. Di luar, sosok yang tadi mereka lihat berdiri di ambang pintu. Wajahnya tak terlihat jelas, hanya bayangan yang bergerak dalam kabut, tapi auranya mencekam.
Sosok itu perlahan-lahan mendekati mereka, langkahnya pelan tapi pasti.
“Tutup pintunya!” teriak Sandi, tapi tak ada yang bergerak.
Mereka semua terdiam, tubuh mereka membeku oleh ketakutan. Sosok itu terus mendekat, hingga akhirnya berhenti tepat di depan mereka. Detik-detik berlalu dalam keheningan yang mencekam.
Namun, tiba-tiba, sosok itu menghilang begitu saja, seperti asap yang tersapu angin. Hanya suara kereta yang terus bergema di kejauhan, seolah-olah tak ada yang terjadi.
Bimo menatap teman-temannya dengan tatapan bingung. “Apa yang barusan kita lihat?”
Sandi menggelengkan kepala, masih tak percaya. “Gue nggak tahu… tapi gue nggak mau ada di sini lagi.”
Dengan perasaan campur aduk antara takut dan bingung, mereka semua bergegas keluar dari rumah itu, meninggalkan tempat tersebut dengan langkah cepat. Saat mereka berjalan pergi, suara kereta terdengar lagi, tapi kali ini, tak ada yang menoleh ke belakang.
Ketika mereka tiba di rumah masing-masing, semuanya berusaha melupakan kejadian malam itu. Namun, suara kereta yang lewat tengah malam kini membawa makna baru bagi mereka—bukan sekadar suara biasa, melainkan pengingat bahwa sesuatu yang tak terlihat mungkin selalu mengintai di balik rel.
selamat datang di situs slot terbaik, situs toto slot daftar
selamat datang di situs slot terbaik, situs toto 4d daftar