Hujan Deras, Suara Lain yang Turut Menyusul
Malam itu, hujan turun dengan derasnya, menutup langit dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Rudi duduk di depan jendela kamarnya, memandang jalanan yang tergenang air dengan perasaan yang campur aduk. Semakin lama, suara rintik hujan yang menghantam genteng rumah terasa seperti irama yang mengganggu, bukan menenangkan.
Di luar, tak ada satu pun orang yang berani keluar rumah. Jalanan kosong, gelap, dan dingin. Rudi menggigil sedikit, meskipun kamarnya cukup hangat. Entah kenapa, sejak tadi perasaan tak enak merayap di punggungnya. Bukan hanya karena hujan, tapi ada sesuatu yang tak biasa malam ini.
Di sela-sela suara derasnya hujan, ada suara lain yang seolah mengikuti, menyerupai gemuruh, namun tak persis sama. Suara itu datang dari kejauhan, memantul di antara bangunan tua di sekitarnya.
“Bruk… bruk…” suara itu terdengar seperti sesuatu yang berat sedang diseret di sepanjang jalan.
Rudi menyipitkan mata, mencoba fokus mendengar di balik suara hujan. Suara itu tidak konstan, seperti datang mendekat, lalu menghilang sesaat, kemudian muncul lagi. Perutnya bergejolak aneh. Dia ingin mengabaikannya, namun semakin dia mencoba, semakin jelas suara itu terdengar.
“Ah, mungkin hanya suara hujan,” gumam Rudi pada dirinya sendiri. Tapi suara berat yang misterius itu tak kunjung berhenti. Malahan, sekarang sepertinya semakin mendekat.
Dia memutuskan untuk membuka pintu depan rumah. Begitu keluar, hawa dingin langsung menyergap tubuhnya, dan hujan lebat membasahi undakan teras. Meski begitu, suara misterius tadi semakin jelas. Suara berat yang diseret, seolah ada sesuatu di luar sana yang bergerak melalui banjir kecil yang menggenangi jalanan. Rudi menggigil, lebih karena rasa takut yang mulai menyelimutinya daripada karena hujan.
Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam terlihat di ujung jalan. Bentuknya samar, tak jelas, tertutup kabut hujan, namun bayangan itu bergerak lambat, terseret-seret. Rudi mengernyitkan mata, mencoba memahami apa yang dia lihat.
Bayangan itu makin mendekat. Dari jarak yang lebih dekat, terlihat bahwa bayangan itu adalah seseorang—seorang lelaki yang berjalan sambil memegang sesuatu di tangannya. Bukan sekadar berjalan, dia menyeret benda itu di belakangnya. Sesuatu yang besar, panjang, dan berat.
Rudi merasakan jantungnya berdegup kencang. Adrenalin mulai mengalir di tubuhnya. “Apa yang sedang terjadi?” batinnya bertanya-tanya.
Lelaki itu mendekat. Di bawah cahaya lampu jalan yang berkedip-kedip, Rudi melihat wajahnya. Wajah itu pucat, matanya kosong, seolah-olah lelaki itu tak sadar dengan apa yang sedang dia lakukan. Dengan langkah lambat dan terpatah-patah, lelaki itu terus menyeret benda yang ternyata… karung. Sebuah karung besar dan basah yang penuh dengan sesuatu.
Rudi ingin berteriak, namun suaranya terjebak di tenggorokannya. Rasa takut mencengkeram dirinya erat-erat. Karung itu terhempas ke aspal, menciptakan suara “brug” yang berat. Lelaki itu tidak memperhatikan Rudi yang berdiri di depan rumahnya. Dia hanya terus berjalan, menyeret karung itu seolah-olah tidak ada beban apa pun.
“Apa yang ada di dalam karung itu?” pikiran Rudi mulai berlarian liar.
Tiba-tiba, suara guntur menyambar di langit, menggetarkan tanah di bawah kakinya. Saat itu juga, pria yang menyeret karung berhenti. Dia diam sejenak, menoleh pelan ke arah Rudi. Mata mereka bertemu. Mata kosong pria itu menatap langsung ke arahnya. Dada Rudi terasa semakin berat, napasnya tersengal. Dalam kebisuan yang menghantui, pria itu tersenyum tipis—senyuman yang sama sekali tidak menenangkan.
Rudi terperangah, tubuhnya kaku tak bisa bergerak. Kilatan petir kembali menyambar langit, menerangi seluruh jalan untuk sepersekian detik. Saat kilat itu memudar, sosok pria itu… lenyap.
Rudi berkedip beberapa kali, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Jalanan kosong lagi, hanya ada suara hujan deras dan gelegar guntur. Tapi suara berat yang diseret tadi, masih terdengar samar, seakan-akan lelaki itu masih ada di sana, menyeret karungnya di balik hujan.
Dengan napas yang terengah-engah, Rudi bergegas masuk ke dalam rumah, mengunci pintu dengan cepat. Dia bersandar pada pintu, tangannya gemetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Apa yang baru saja dia lihat? Apa itu hanya imajinasinya?
Namun suara itu tidak hilang. Suara “brug” yang berat itu masih terdengar. Rudi mengintip dari balik jendela. Tak ada siapa-siapa di luar, namun suara itu terus ada, semakin mendekat. Seolah-olah sesuatu—atau seseorang—sedang mendekati rumahnya.
Hatinya mulai berpacu lebih cepat. “Tidak mungkin, tidak mungkin!” bisiknya.
Dan tiba-tiba, terdengar ketukan keras di pintu depan. Rudi membeku. Suara itu bukan dari hujan. Ketukan itu datang dari luar rumahnya, tepat di depan pintu.
Ketukan itu semakin keras, seakan ada seseorang atau sesuatu yang memaksa masuk. Suara berat menyeret karung kembali terdengar di dekat pintu. Sesuatu yang basah dan berat sedang berdiri di sana, di balik pintu, hanya beberapa inci dari tempat Rudi berdiri.
Jantungnya serasa hendak meledak, napasnya semakin memburu. Dia tidak berani membuka pintu. Dia hanya bisa berdiri terpaku, berharap apa pun yang berada di luar sana tidak masuk ke dalam.
Lalu, suara itu berhenti. Keheningan mendadak. Tak ada ketukan lagi, tak ada suara karung diseret. Hanya hujan yang terus mengalir deras di luar sana.
Rudi mencoba menarik napas dalam-dalam. Mungkin apa pun itu sudah pergi. Mungkin ini semua hanya ilusi. Dengan langkah perlahan, dia mencoba mengumpulkan keberanian, mendekati pintu lagi. Telinganya ditempelkan ke pintu, mendengarkan.
Tiba-tiba, terdengar bisikan pelan dari balik pintu, suara serak yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Jangan biarkan aku menunggumu terlalu lama, Rudi…”
Rudi tersentak mundur, terhuyung-huyung. Matanya terbuka lebar. Bagaimana… bagaimana suara itu tahu namanya?
Dengan tangan gemetar, dia mengunci semua jendela dan pintu rumah, berharap apapun yang ada di luar sana tidak akan masuk. Tapi suara itu, bisikan itu, masih terngiang di kepalanya. Sosok pria dengan karung basah itu, dan senyuman dinginnya yang menghantui, seolah masih berdiri di luar, menunggu waktu yang tepat untuk masuk. Dan di tengah gemuruh hujan yang tak kunjung reda, suara berat itu masih ada, seakan tak pernah benar-benar pergi.
Great Article bro, situs togel resmi daftar sekarang
Daftar Resmi Sekarang Juga situs togel resmi Terpercaya
Daftar Resmi Sekarang Juga situs toto Terpercaya