Malam itu, sekelompok bocah sedang bermain galasin di tanah lapang yang terhimpit di antara rumah-rumah padat. Permainan berlangsung riuh seperti biasa, penuh tawa dan teriakan. Namun, mendadak suasana berubah saat Darto, yang tengah mengejar lawan, berhenti di tengah lapangan. Ia mendengar suara aneh. Pelan, seolah memanggil dari kejauhan.
Semua bocah ikut berhenti. Tawa yang semula menggema di udara langsung lenyap, digantikan keheningan yang menggantung. Mereka semua menatap ke arah Darto, yang tampak kebingungan, lalu saling pandang dengan raut wajah bertanya-tanya. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih dekat, seperti ada yang mengintai dari balik kegelapan.
“Eh, lo denger gak?” tanya Darto dengan suara gemetar.
“Apaan sih, To? Jangan bercanda!” ujar Dimas, berusaha menenangkan suasana. Tapi, di wajahnya sendiri terpancar kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.
Suara itu datang lagi, kali ini terdengar lebih jelas. Seperti suara langkah kaki yang menghampiri, memecah keheningan malam. Semua anak menoleh ke arah semak-semak di pinggir lapangan, tempat suara itu sepertinya berasal. Angin malam tiba-tiba terasa lebih dingin, merambat naik ke tengkuk mereka.
“Udah, udah, bubar aja yuk,” ucap Ucok sambil mundur perlahan. Rasa takut mulai menjalar di antara mereka, meskipun tak ada yang mau mengakuinya.
Namun, sebelum mereka sempat benar-benar membubarkan diri, suara aneh itu berubah. Kini, terdengar seperti derap langkah kaki yang berat, disertai suara napas yang terengah-engah. Semuanya mendadak kaku, tak ada yang berani bergerak, apalagi menoleh. Jantung mereka seolah berlomba-lomba untuk berdetak paling cepat.
“Jangan-jangan… itu penunggu lapangan ini?” bisik Andi, salah satu bocah paling kecil di kelompok itu. Suaranya bergetar.
Belum sempat yang lain menanggapi, tiba-tiba dari arah semak-semak muncul sosok hitam besar. Tak ada yang berani berteriak, hanya mata yang terbelalak lebar. Sosok itu berdiri tegap, menghadap mereka tanpa suara, seolah menanti sesuatu.
“Lariii!” teriak Ucok tiba-tiba, memecah ketegangan. Seketika itu juga, semua bocah berhamburan ke segala arah, berlari menyelamatkan diri masing-masing. Suasana mendadak kacau, tak ada yang peduli ke mana mereka melangkah, yang penting menjauh dari sosok itu.
Darto, yang dari tadi masih berdiri di tengah lapangan, tersadar terakhir. Ia melihat teman-temannya sudah lari semua, tapi tubuhnya terasa seperti tak bisa digerakkan. Sosok itu makin dekat, langkahnya pelan namun pasti. Mata Darto tak bisa lepas dari sosok yang semakin jelas, dan akhirnya ia melihat dengan jelas wajahnya yang kelam.
Sosok itu tiba-tiba menghilang begitu saja di balik pohon besar. Darto terengah-engah, merasa kakinya lemas. Ia berusaha mengendalikan napas, mencoba berpikir dengan jernih. “Apa tadi itu?” pikirnya, bingung.
Dimas, yang akhirnya berhenti setelah berlari cukup jauh, melihat ke belakang. “Mana Darto?” tanyanya panik. Teman-temannya yang lain juga ikut berhenti, namun tak ada yang tahu di mana Darto berada. Mereka hanya saling pandang dengan cemas.
“Jangan-jangan dia diganggu hantu beneran?” tanya Ucok, suaranya rendah dan penuh kecemasan.
Mereka tak punya pilihan lain selain kembali ke lapangan. Dengan langkah ragu, mereka berjalan pelan, menyusuri jalan setapak di antara rumah-rumah yang sunyi. Di kejauhan, suara anjing menggonggong memecah kesunyian malam, menambah suasana mencekam.