Ruang Rahasia di Balik Warung Kopi

Warung kopi milik Pak Jafar selalu ramai dari pagi hingga larut malam. Terletak di pinggir jalan yang cukup sibuk di Cipinang Prumpung, warung itu menjadi tempat favorit banyak orang. Aroma kopi hitam yang pekat selalu tercium dari dapur, bercampur dengan suara tawa para pelanggan yang berbincang santai. Warung itu, meskipun sederhana dengan kursi-kursi kayu yang usang dan meja yang mulai mengelupas, memiliki daya tarik tersendiri.

Namun, di balik keramaian dan kehangatan yang terasa di siang hari, ada sesuatu yang tidak semua orang ketahui tentang warung kopi tersebut. Ada bisik-bisik di kalangan warga bahwa warung itu menyimpan rahasia gelap. Mereka yang tinggal di sekitar mengaku pernah mendengar suara-suara aneh saat lewat di malam hari. Beberapa bahkan mengatakan melihat bayangan di balik jendela meski warung sudah ditutup.

Ardi, seorang mahasiswa yang sering mengerjakan tugas kuliah di warung itu, tak pernah percaya pada cerita-cerita tersebut. Baginya, Pak Jafar hanyalah pria tua yang ramah dan baik hati. Tidak ada yang aneh dengan warung kopi itu. Tapi semuanya berubah ketika suatu malam, dia menemukan sesuatu yang tidak seharusnya.

Malam itu, seperti biasa, Ardi sedang duduk di meja favoritnya, dekat jendela yang menghadap ke jalan. Pak Jafar baru saja mengantarkan secangkir kopi hitam untuknya. “Ini, kopi pesananmu, Di,” kata Pak Jafar sambil tersenyum.

“Terima kasih, Pak,” jawab Ardi sambil menutup laptopnya sejenak. Warung sedang sepi malam itu, hanya ada dua pelanggan lain yang duduk di meja seberang, berbicara pelan sambil menyeruput kopi mereka.

Ardi mengambil cangkirnya dan menghirup aroma kopi hangat itu. Namun, baru saja dia akan meneguk kopinya, dia melihat sesuatu yang aneh di dinding belakang warung. Ada pintu kecil, hampir tersembunyi di antara rak-rak kayu yang penuh dengan kaleng kopi dan bumbu dapur.

Baca Juga:  Karnaval Malam Tanpa Tawa

Dia belum pernah memperhatikan pintu itu sebelumnya. Mungkin karena biasanya dinding itu tertutup tirai, tapi malam itu tirai tersebut entah kenapa ditarik ke samping. Pintu itu tampak tua, terbuat dari kayu dengan warna kusam dan gagang pintu yang sudah berkarat.

Rasa penasaran mulai merayap dalam benaknya. Ardi melirik ke arah Pak Jafar yang sedang sibuk merapikan meja di ujung lain warung. Dia berpikir, mungkin pintu itu hanya menuju gudang atau tempat penyimpanan barang-barang yang tidak penting. Tapi entah kenapa, malam itu dia merasa ada sesuatu yang memanggilnya untuk mendekat.

Setelah memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikannya, Ardi bangkit dari tempat duduknya dan berjalan pelan ke arah pintu itu. Tangan kanannya meraba gagang pintu yang dingin. Dengan hati-hati, dia memutarnya, dan pintu itu terbuka dengan suara berderit pelan.

Di balik pintu itu, ada tangga yang turun ke bawah tanah. Suasana gelap dan lembap menyeruak dari sana. “Apa ini?” bisik Ardi pada dirinya sendiri. Ia merasa aneh, namun rasa penasarannya lebih kuat daripada ketakutannya.

Dia menyalakan lampu senter di ponselnya dan mulai menuruni tangga satu per satu. Tangga itu sempit dan licin, seperti jarang digunakan. Bau apek memenuhi hidungnya, dan suara gemerisik kecil terdengar dari sudut ruangan yang gelap.

Setelah beberapa saat, dia sampai di dasar tangga. Di depannya terbentang ruangan kecil yang tak lebih besar dari kamar tidur sederhana. Dindingnya dari batu bata yang mulai berlumut, dan di tengah ruangan terdapat meja kayu tua yang penuh dengan benda-benda aneh. Ada lilin-lilin yang sudah meleleh, botol-botol berisi cairan keruh, dan beberapa kertas usang yang berserakan.

Baca Juga:  Di Balik Seriusnya Upacara

Ardi mendekat dan mengambil salah satu kertas yang tergeletak di atas meja. Tulisan di atasnya tampak acak-acakan, seperti catatan tangan yang ditulis terburu-buru. Dia membaca beberapa kalimat, tapi semuanya tidak masuk akal. Kata-kata seperti “ritual”, “pengorbanan”, dan “roh penjaga” muncul berkali-kali di kertas-kertas itu.

Jantung Ardi berdegup kencang. Dia merasa seperti menemukan sesuatu yang tidak seharusnya dilihat. Namun, sebelum dia sempat mencerna lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar dari atas. Seseorang sedang turun tangga.

Dengan panik, Ardi mematikan lampu ponselnya dan mencari tempat untuk bersembunyi. Dia merangkak ke sudut ruangan di balik tumpukan kotak kayu yang berdebu, mencoba menahan napas.

Langkah kaki semakin mendekat, dan akhirnya sosok yang dikenalnya dengan baik muncul di ambang pintu. Itu Pak Jafar. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari pria tua itu malam ini. Wajahnya terlihat lebih keras, dengan tatapan mata yang tajam dan penuh amarah. Dia tidak membawa senyum ramah yang biasa, melainkan aura dingin yang membuat Ardi merinding.

Pak Jafar berjalan ke meja kayu itu dan mulai merapikan kertas-kertas di atasnya. Sesekali, dia berbisik pelan dalam bahasa yang tidak dimengerti Ardi. Suara bisikan itu seperti mantra, dan lilin yang tadi padam tiba-tiba menyala kembali.

Ardi hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia ingin segera kabur, tapi tubuhnya seolah membeku di tempat. Hanya bisa mengintip dari balik kotak, ia menyaksikan Pak Jafar memulai ritual aneh di depan meja.

Beberapa menit berlalu, dan Pak Jafar tampak semakin tenggelam dalam ritualnya. Ardi akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk melangkah mundur, berusaha sepelan mungkin agar tidak menarik perhatian. Tapi saat kakinya menyentuh lantai, terdengar suara pelan dari bawah sepatunya yang menginjak sepotong kaca kecil.

Baca Juga:  Pasar Kaget dan Sosok Tak Terlihat

Pak Jafar berhenti seketika, suaranya terhenti. Ia berdiri tegak, dan dengan cepat memutar tubuhnya ke arah Ardi.

“Siapa di sana?” suaranya tajam dan penuh kemarahan. Ardi menahan napas, mencoba mengecilkan dirinya di balik kotak-kotak, namun percuma. Pak Jafar melangkah mendekat dengan tatapan tajam, matanya langsung menembus kegelapan tempat Ardi bersembunyi.

Ardi tahu dia tak bisa lagi bersembunyi. Dengan cepat, ia bangkit dan berlari ke arah tangga. Pak Jafar berteriak, “Berhenti!” tapi Ardi tidak peduli. Kakinya berlari secepat mungkin menaiki tangga, hampir tergelincir beberapa kali.

Saat mencapai atas, ia segera keluar dari pintu rahasia itu dan menutupnya rapat. Suara langkah Pak Jafar semakin dekat, dan dengan tangan gemetar, Ardi menyeret rak kayu di dekatnya untuk menutupi pintu. Seketika itu juga, Pak Jafar menghantam pintu dari dalam, tapi tertahan oleh rak yang berat.

Ardi, dengan napas terengah-engah, menoleh ke arah pintu warung yang masih terbuka. Tak berpikir panjang, ia segera melarikan diri ke luar, meninggalkan warung kopi yang kini terasa jauh lebih mencekam daripada sebelumnya.

Keesokan harinya, warung kopi Pak Jafar tetap buka seperti biasa. Warga datang dan pergi, tak ada yang mencurigai apa pun. Pak Jafar kembali dengan senyum ramahnya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Namun, Ardi tak pernah kembali ke warung kopi itu. Dia tahu, ada sesuatu yang lebih gelap di balik senyum ramah Pak Jafar. Sesuatu yang tak seharusnya dilihat siapa pun.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Ardi menerima pesan singkat dari nomor tak dikenal. Pesannya hanya berisi satu kalimat yang membuat bulu kuduknya meremang: “Pintu sudah dibuka, dan sekarang mereka mencarimu.”

Leave a Reply