“Eh, Pak RT? Pak Udin? Ngapain di sini?”
Pak RT dan Pak Udin berbalik cepat, hampir tak percaya dengan suara manusia yang normal di malam mencekam ini. Dari balik sudut, muncullah Pak Karim, penjaga penjara yang tengah berpatroli malam itu. Di tangannya tergenggam seikat tali tambang.
Pak RT masih gemetar, suaranya serak. “Itu… itu… di sana!” Pak RT menunjuk dengan panik ke arah bayangan yang tadi mereka lihat.
Pak Karim menoleh, lalu tertawa terbahak-bahak. “Aduh, maaf ya, Pak RT, Pak Udin. Itu cuma kambing, kok! Kambing milik Pak Jumadi yang nyasar ke dalam penjara sejak sore tadi. Baru sekarang bisa saya tangkap lagi.”
Pak RT dan Pak Udin terdiam. Mereka saling pandang, lalu perlahan-lahan menyadari kebodohan mereka. Kambing hitam besar yang tadi mereka lihat melayang ternyata hanyalah hewan yang kebetulan tersangkut di tali dan tampak melayang saat sedang diangkut oleh Pak Karim.
Pak Udin tertawa kecil, mengusap keningnya yang basah oleh keringat dingin. “Kambing, ya? Astaga… Saya kira tadi itu hantu beneran!”
Pak RT, yang semula tegang, ikut tertawa meski masih merasa sedikit malu. Ia pun menggeleng-gelengkan kepala, merasa konyol sudah ketakutan setengah mati hanya karena kambing.
Pak Karim masih tertawa lepas. “Iya, kambing itu kan sering lari-lari di sekitar sini. Makanya saya sampai masuk ke penjara buat cari dia.”
Pak RT menyeka wajahnya dengan saputangan, lalu berkata sambil tertawa pelan, “Jadi ternyata kita ketakutan cuma gara-gara kambing nyasar. Aduh, Din, malu saya.” Malam itu, ketegangan yang semula menggantung berubah menjadi bahan candaan di antara mereka bertiga. Bayangan hantu yang mereka sangka sosok mengerikan ternyata hanya kambing yang tersesat.