Pohon Beringin Penunggu Pasar Enjo
Langit mendung menggantung rendah di atas pasar. Suara hiruk pikuk para pedagang, motor yang mondar-mandir, dan langkah kaki pengunjung tak menyurutkan suasana yang tiba-tiba mencekam bagi Aryo. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya sejak pagi, namun ia tak bisa menjelaskan apa. Rutinitas hariannya yang biasa; pergi ke pasar untuk membeli sayur bagi ibunya, terasa janggal kali ini.
Ketika ia melewati sebuah pohon beringin tua di sudut pasar, langkahnya terhenti. Beringin itu menjulang tinggi, akarnya mencuat dari tanah dan membentuk simpul-simpul aneh di sekitar pangkal batang. Pasar mulai terasa berbeda, udara tiba-tiba menjadi lebih lembab, dan suara bising pasar perlahan mereda. Seolah-olah semua orang menghilang, meninggalkannya sendirian dengan pohon besar itu.
Aryo menatap pohon itu dengan dahi berkerut. Dulu, ia sering mendengar cerita dari teman-teman masa kecilnya bahwa pohon beringin itu punya penunggu. Namun, cerita-cerita itu hanya dianggap bualan oleh orang dewasa. “Jangan percaya cerita-cerita kampung begitu,” begitu kata ibunya setiap kali Aryo mulai bercerita tentang hantu penunggu pohon beringin.
Tapi, kenapa kali ini rasanya berbeda? Ada suara kecil di dalam kepalanya yang terus berbisik, memintanya untuk berhenti dan memperhatikan lebih saksama.
Ia melangkah lebih dekat, mencoba memahami apa yang membuatnya tidak nyaman. Angin tiba-tiba bertiup lebih kencang, dan daun-daun pohon beringin bergesekan, menciptakan suara gemerisik yang terdengar seperti bisikan. Aryo merapatkan jaketnya, meski udara tak terlalu dingin. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Dadanya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan.
“Ah, cemen banget gue,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba menenangkan diri. Namun, saat dia ingin melanjutkan langkah, dia melihatnya.
Di bawah beringin, di antara akar-akarnya yang terjalin, tampak sebuah kain putih kotor yang mencuat dari tanah. Aryo terdiam, perutnya mendadak mual. Kain itu… seperti kain kafan yang kotor oleh lumpur. Tubuhnya gemetar, namun rasa ingin tahunya jauh lebih besar dari ketakutan yang menggelayut di dadanya.
Dengan hati-hati, Aryo mendekati akar pohon itu. Semakin dekat, semakin jelas bentuk kain tersebut. Tapi, ada yang aneh. Kain itu bergerak… seperti tertiup angin, tapi tak ada hembusan angin yang cukup kuat untuk menggerakkannya. Aryo menelan ludah.
Ketika ia menunduk lebih dekat, sebuah suara memecah keheningan. “Aryo…”
Tubuhnya langsung tegak. Suara itu… suaranya serak dan berat, seperti berasal dari dalam tanah. Ia mengedarkan pandangannya, tapi tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Hanya dirinya, pohon beringin, dan… kain itu.
Suaranya terdengar lagi, kali ini lebih jelas, “Aryo…”
Aryo mundur perlahan, napasnya mulai tak teratur. Kakinya terasa berat, seolah menolak untuk melangkah pergi. Tapi tiba-tiba, secepat kilat, kain itu terbang ke atas, menghempas tanah dan berputar-putar di udara. Aryo menjerit, tetapi suaranya tertelan oleh gemerisik angin yang semakin kencang.
Sekarang, kain itu melayang di hadapannya, seperti sosok hantu yang sedang menari-nari di udara. Aryo jatuh terduduk, tak mampu menggerakkan tubuhnya. Kain itu berputar-putar, melayang semakin tinggi hingga menyentuh dahan pohon beringin.
Tiba-tiba, kain itu terjatuh kembali, menimpa tubuh Aryo yang membeku di tempatnya. Aryo merasakan dingin merambat dari ujung kaki hingga ke kepala. Tubuhnya gemetar, matanya tak bisa lepas dari kain putih itu yang kini tergeletak di atas tanah, tanpa lagi melayang atau bergerak. Suara gemerisik pohon kembali menjadi satu-satunya yang terdengar.
Aryo, yang ketakutan setengah mati, mencoba berdiri. Lututnya gemetar dan ia hampir saja terjatuh lagi. Tanpa pikir panjang, ia berlari sekuat tenaga menjauh dari pohon itu. Ia tak peduli lagi dengan apa yang baru saja terjadi, hanya satu yang ia pikirkan: pergi dari sana secepat mungkin.
Sampai di rumah, Aryo tak langsung masuk. Dia terhuyung-huyung menuju halaman belakang, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Jantungnya masih berdebar kencang, dan kakinya seperti tak sanggup menahan tubuhnya lebih lama.
Ibunya, yang sedang sibuk di dapur, muncul di pintu belakang, menatap anaknya dengan heran. “Dari mana aja kamu? Kok kayak dikejar setan?”