Jalanan Jakarta malam itu lengang. Hujan yang baru saja reda meninggalkan sisa-sisa genangan di sepanjang jalan raya, menciptakan kilauan di bawah lampu-lampu jalan yang suram. Fajar, seorang pemuda yang baru pulang kerja, menunggu angkot di halte pinggir jalan. Udara malam dingin menyelinap ke dalam jaket tipisnya, membuat tubuhnya menggigil pelan.
“Aduh, lama banget nih angkot!” gumamnya sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya, berharap kehangatan datang.
Tidak lama kemudian, sebuah angkot dengan lampu depan yang berkelap-kelip melintas pelan, seperti mengisyaratkan sesuatu. Angkot itu tampak tua, berkarat di beberapa bagian bodinya, dengan cat yang mulai mengelupas. Meski merasa ragu, Fajar tetap melambaikan tangannya. Bagaimanapun, ia ingin cepat sampai di rumah.
Angkot itu berhenti mendadak di depannya dengan suara deritan keras. Pintu belakang terbuka sedikit dan Fajar melangkah masuk. Hanya ada satu penumpang di dalamnya—seorang nenek tua dengan kerudung lusuh, duduk di pojok belakang. Wajahnya tertunduk, rambutnya yang putih dan berantakan sedikit menutupi wajahnya.
“Permisi, Nek,” sapa Fajar, berusaha sopan. Nenek itu tidak merespons, hanya diam di tempatnya, masih menunduk.
Fajar merasa ada sesuatu yang aneh, tapi ia mengabaikannya. Ia duduk di sebelah jendela, berharap perjalanan ini cepat berakhir. Suara mesin angkot terdengar berat, berderum pelan, dan mulai bergerak lagi menyusuri jalanan yang sepi.
Setelah beberapa menit, Fajar merasa suasana dalam angkot semakin dingin. Udara dingin merayap seperti kabut tipis di sekelilingnya. Ia melirik ke arah nenek tua itu. Nenek tersebut masih duduk diam, namun kini ia melihat tangan nenek itu bergetar halus. Tidak nyaman dengan suasana yang makin mencekam, Fajar mencoba mengalihkan perhatiannya ke luar jendela.
Tetapi anehnya, jalanan di luar tampak tak berubah. Pemandangan yang sama terus berulang—rumah-rumah yang sama, lampu jalan yang sama. Seperti angkot itu berputar di tempat.
Fajar mulai gelisah. Ia menoleh ke arah sopir, hendak menanyakan tujuannya, tapi suara nenek tua tiba-tiba terdengar pelan dan serak, “Jangan lihat ke depan.”
Deg. Jantung Fajar berdetak kencang. Ia menelan ludah, merasa darahnya dingin. “Kenapa, Nek?” tanya Fajar sambil mengerahkan seluruh keberaniannya. Tapi nenek itu tidak menjawab, hanya menatap kosong ke luar jendela, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Fajar tidak tahan lagi. Ia menoleh ke depan untuk memastikan, dan saat itulah ia menyadari sesuatu yang mengejutkan—tidak ada sopir di balik kemudi. Kemudi angkot bergerak sendiri, memutar jalan dengan halus, sementara pedal gas dan rem seperti dioperasikan oleh kekuatan tak kasat mata.
Seketika, rasa panik menjalari tubuhnya. Fajar ingin berteriak, tapi suaranya tercekik di tenggorokan. Ia berusaha bangkit, namun kakinya terasa lemah. Ketakutan menjalar dari ujung kaki ke ujung rambut.
Angkot terus berjalan, lebih cepat dari sebelumnya. Suasana semakin mencekam saat Fajar menyadari bahwa jalan yang mereka lalui kini diselimuti kabut tebal. Tidak ada lampu jalan, tidak ada rumah, hanya jalanan panjang yang tak berujung.
“Turunlah, Nak. Sebelum terlambat…” suara nenek itu kembali terdengar. Kali ini, nadanya lebih dalam dan menggema, seperti suara yang berasal dari tempat yang sangat jauh.
Fajar langsung menghambur ke pintu belakang, mencoba membukanya. Namun, pintu angkot terkunci rapat. Ia menendang dan mendorong dengan sekuat tenaga, tetapi pintu itu tak bergeming.
Sementara itu, nenek tua di belakangnya perlahan berdiri. Tubuhnya yang kurus tampak menggigil, sementara kepalanya menunduk semakin dalam. Fajar bisa merasakan kehadirannya semakin mendekat, semakin mencekam.
“Nek… Bantu saya keluar…” suara Fajar tercekat saat ia merasa nenek itu mendekatkan wajahnya ke arah punggungnya. Bau busuk menyengat hidungnya, membuat mual.
“Tak ada yang bisa keluar dari sini,” bisik nenek itu tepat di belakang telinganya. Suara itu begitu dingin, seperti es yang merayap di kulit.
Dengan panik, Fajar menoleh, namun yang dilihatnya adalah wajah nenek itu yang sangat dekat dengan wajahnya—wajah pucat dengan mata hitam yang kosong. Bibir nenek itu bergerak pelan, namun suara yang keluar darinya terdengar menyeramkan, seperti teriakan ribuan jiwa yang terjebak.
Dalam kepanikan yang semakin menjadi, Fajar memukul-mukul pintu angkot dengan sisa-sisa tenaganya. Pikirannya kacau balau, seolah tak ada jalan keluar dari situasi ini. Ia memejamkan mata, berdoa dalam hati agar semua ini hanyalah mimpi buruk.
Tiba-tiba, angkot berhenti dengan keras, membuat tubuh Fajar terdorong ke depan. Pintu angkot terbuka sendiri, dan tanpa berpikir panjang, Fajar segera melompat keluar. Kakinya mendarat di atas aspal dingin, tubuhnya terhuyung beberapa langkah sebelum jatuh terduduk.
Dengan napas yang terengah-engah, Fajar menoleh ke belakang, mencoba melihat angkot yang baru saja ditinggalkannya. Tapi, angkot itu menghilang. Tidak ada jejak ban, tidak ada suara mesin, hanya jalanan kosong yang sunyi.
Fajar berdiri perlahan, masih tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Jalanan di sekelilingnya kini kembali normal—ada lampu-lampu jalan, dan beberapa kendaraan lain melintas seperti biasa. Udara dingin yang tadi menyelimutinya pun perlahan menghilang, digantikan oleh kehangatan malam Jakarta.
Dengan gemetar, Fajar merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel, dan melihat jam di layar. Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Ia tidak tahu berapa lama ia berada di dalam angkot itu, tapi rasanya seperti sudah berjam-jam.
Fajar berjalan pelan menuju arah rumahnya, masih merasa lemas. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah kengerian dari angkot itu masih mengikutinya.
Sesampainya di rumah, Fajar langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi, sebelum ia sempat memejamkan mata, terdengar suara dering dari ponselnya. Fajar mengangkatnya dengan tangan gemetar.
Suara di seberang sana adalah suara perempuan tua yang sama.
“Kau tidak pernah benar-benar keluar, Nak. Kami selalu menunggu…”