Di ujung gang sempit di kawasan Cipinang Prumpung, berdiri sebuah pabrik tahu yang sudah beroperasi selama puluhan tahun. Bagi warga setempat, pabrik tahu itu bukan sekadar tempat produksi, melainkan simbol keakraban. Setiap pagi, asap putih mengepul dari cerobongnya, membaur dengan aroma fermentasi kedelai yang khas. Tapi ada sesuatu yang aneh tentang tempat itu. Sesuatu yang tidak pernah diceritakan secara terbuka, namun beredar sebagai bisik-bisik di kalangan tetangga.
Eko, seorang remaja berusia 17 tahun, lahir dan besar di kawasan itu. Sejak kecil, ia sering lewat di depan pabrik saat berangkat sekolah, bahkan sesekali membantu Haji Ripit, pemilik pabrik, mengantarkan tahu ke warung-warung. Namun, ada satu aturan yang selalu ditegakkan Haji Ripit dengan ketat: tak seorang pun boleh memasuki pabrik setelah matahari terbenam. Alasannya selalu terdengar sederhana. Pekerjaan sudah selesai, dan tidak ada yang perlu dikerjakan di malam hari.
Namun, desas-desus mulai berkembang. Ada yang mengatakan bahwa Haji Ripit pernah kehilangan pekerja di malam hari, ada pula yang percaya bahwa suara-suara aneh bisa terdengar dari dalam pabrik setiap kali malam tiba. Eko sendiri tak pernah peduli. Baginya, itu hanya mitos untuk menakut-nakuti anak-anak. Sampai suatu hari, rasa penasaran mulai mengusiknya.
Sore itu, Eko sedang duduk di teras rumah bersama temannya, Reza. Angin sore membawa aroma khas tahu dari pabrik. Reza memutar tubuhnya dan melirik ke arah pabrik yang hanya berjarak beberapa rumah dari tempat mereka duduk. “Lu pernah denger cerita aneh soal pabrik itu, Ko?” tanya Reza sambil memungut sebutir kerikil dan melemparkannya ke jalan.
Eko mengangguk pelan. “Iya, sering denger dari orang-orang sini. Katanya, ada yang pernah lihat bayangan aneh di dalam pabrik kalau lewat malem-malem.”
Reza tertawa kecil, tapi tak ada kehangatan dalam tawanya. “Gua penasaran. Gimana kalau kita ke sana malem ini?”
Eko menatap Reza dengan serius. “Jangan bercanda, Za. Haji Ripit pasti marah kalau tahu ada yang masuk tanpa izin.”
Tapi Reza hanya tersenyum tipis. “Kita nggak bakal ketahuan, santai aja.”
Malamnya, saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas, Eko dan Reza beringsut dari rumah mereka. Jalanan sepi, hanya diterangi lampu jalan yang redup. Mereka menyelinap di balik dinding rumah-rumah, menghindari sorot lampu yang mungkin saja menandakan ada orang lewat. Pabrik tahu itu tampak sunyi, tapi samar-samar terdengar suara air yang menetes dari kran yang lupa dimatikan. Pintu depan pabrik terkunci rapat, tapi ada celah kecil di samping dindingnya yang cukup untuk mereka lalui satu per satu.
Setelah berhasil masuk, suasana dalam pabrik terasa berbeda. Gelap, lembab, dan penuh dengan peralatan yang tertata rapi. Mata Eko mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan, sementara jantungnya berdetak cepat. “Lu yakin mau ngelakuin ini, Za?” bisik Eko.
Reza hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Mereka melangkah lebih dalam, melewati deretan tungku besar dan ember-ember berisi kedelai yang dibiarkan tergeletak begitu saja. Namun, di sudut ruangan, ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.
Di salah satu pojok pabrik, ada pintu kecil yang terbuat dari kayu tua. Pintu itu tampak tidak pernah digunakan, ditutupi oleh jaring laba-laba dan debu tebal. Reza langsung mendekatinya, tanpa ragu mencoba gagang pintu tersebut.
“Jangan, Za,” Eko memperingatkan, namun sudah terlambat. Pintu itu berderit terbuka.
Di balik pintu itu, mereka menemukan tangga yang mengarah ke bawah tanah. Eko merinding, merasa ada sesuatu yang salah. “Kita nggak seharusnya ke sini,” bisiknya.
Tapi Reza, penuh dengan rasa ingin tahu, mulai menuruni tangga. Dengan enggan, Eko mengikutinya. Semakin dalam mereka turun, semakin dingin udara di sekitar mereka. Cahaya dari lampu ponsel Reza menari di dinding batu yang lembab, hingga akhirnya mereka sampai di dasar tangga. Di depan mereka terbentang sebuah ruangan besar yang gelap gulita, namun di salah satu sudutnya, terdapat sebuah meja kayu tua dengan benda-benda aneh di atasnya.
Reza mendekat, dan matanya terbelalak. Di atas meja itu, ada beberapa buku catatan, lilin-lilin yang sudah meleleh, serta beberapa botol kaca berisi cairan keruh. Salah satu buku catatan itu terbuka, dan di dalamnya terdapat tulisan tangan yang tampak acak-acakan.
“Baca ini, Ko,” kata Reza, sambil menyerahkan buku itu kepada Eko.
Eko mengambilnya dengan tangan gemetar dan mulai membaca. Isinya adalah catatan tentang proses pembuatan tahu, namun ada bagian yang terasa ganjil. Di bagian akhir, terdapat tulisan yang lebih menyerupai mantra atau doa. Kata-katanya sulit dimengerti, tapi satu hal yang jelas: ada sesuatu yang dikorbankan dalam pembuatan tahu di pabrik ini.
Saat Eko selesai membaca, terdengar suara langkah kaki di belakang mereka. Kedua remaja itu membeku. Perlahan, mereka berbalik, dan melihat sosok tinggi berambut putih berdiri di ujung ruangan. Mata sosok itu menyala redup, penuh dengan kemarahan.
Eko dan Reza mundur dengan cepat, tapi sosok itu berjalan mendekat. Tanpa pikir panjang, mereka berlari menaiki tangga, napas mereka tersengal. Saat mencapai permukaan, mereka mendengar suara pintu kayu di bawah yang tertutup dengan keras, diiringi suara tertawa yang mengerikan.
Mereka berlari keluar dari pabrik, melewati celah yang tadi mereka masuki, dan terus berlari hingga jauh dari pabrik tahu. Setelah mereka merasa cukup jauh, mereka berhenti untuk mengatur napas. “Apa… itu…?” Eko terengah-engah, wajahnya pucat.
Reza, yang biasanya penuh keberanian, kini tak bisa berkata apa-apa. Matanya terbelalak, dan tubuhnya gemetar hebat.
Setelah malam itu, Eko dan Reza tak pernah kembali ke pabrik tahu. Mereka tak pernah berbicara tentang kejadian itu kepada siapa pun. Namun, mereka tahu satu hal: rahasia gelap di pabrik tahu itu lebih dari sekadar mitos. Ada sesuatu yang bersemayam di sana, dan tidak seharusnya ada yang berani mengusik kedamaiannya.
-oo0oo-
Keesokan harinya, Haji Ripit mendatangi rumah Eko. Senyumnya ramah seperti biasa, tapi ada sesuatu yang aneh dalam tatapan matanya. “Terima kasih sudah berkunjung ke pabrik tadi malam, Eko. Mungkin kapan-kapan bisa bantu lebih lama di sana, ya?” katanya sambil berbisik.
Eko hanya bisa diam.