Malam itu, Stasiun Ancol tampak sepi. Hanya ada satu lampu di peron yang berkedip-kedip seperti memberi isyarat akan sesuatu yang tak beres. Jam di dinding menunjukkan pukul 11:45 malam, dan seperti biasa, kereta terakhir akan tiba dalam lima belas menit.
Budi, seorang petugas penjaga stasiun yang sudah bekerja selama hampir lima tahun, duduk di bangku kayu, menatap lurus ke arah rel. Selama bertahun-tahun bekerja, ia sudah terbiasa dengan kesunyian yang datang setelah jam operasional kereta hampir selesai. Tapi malam itu, ada yang berbeda. Suasana terasa lebih mencekam dari biasanya. Angin dingin yang berhembus dari arah laut membawa bau asin, bercampur aroma lembab dari peron yang sudah tua.
Sebuah suara mendengung dari pengeras suara di sudut stasiun, “Perhatian, kereta terakhir dari Stasiun Ancol akan segera tiba. Mohon berhati-hati.” Suara itu terdengar serak, seperti rekaman lama yang sudah jarang dipakai.
Budi mengerutkan alisnya, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal aneh yang terjadi belakangan ini. Seminggu terakhir, ada laporan dari para penumpang yang mengaku melihat sosok misterius di gerbong terakhir kereta. Mereka bilang, sosok itu duduk diam, mengenakan jas panjang dengan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya. Sosok itu tak pernah berbicara atau bergerak, hanya duduk diam, menatap ke arah rel dengan tatapan kosong.
Budi mengabaikan laporan-laporan itu. “Ah, paling-paling cuma orang iseng,” pikirnya. Tapi malam ini, ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Kereta terakhir itu akhirnya tiba. Suara roda logam yang beradu dengan rel menggema di antara gedung-gedung tua di sekitar stasiun. Pintu-pintu gerbong terbuka otomatis, dan hanya ada satu penumpang yang turun. Seorang pria tua, dengan tongkat kayu yang sudah terlihat usang. Dia berjalan pelan-pelan, kakinya diseret dengan bunyi “krek… krek…” yang terasa lebih nyaring di tengah sunyi malam.
Budi memperhatikan pria itu dari jauh, tapi anehnya, setiap kali pria itu melangkah, bayangannya tidak pernah tampak. Seolah-olah cahaya lampu yang ada di peron tak pernah menyentuhnya.
Pria itu menghampiri Budi, tersenyum samar. “Kereta malam ini… sepi ya?” tanyanya dengan suara rendah.
Budi hanya mengangguk, tidak berani bertanya lebih lanjut. Ada sesuatu yang tidak beres dari pria itu, tapi dia tidak bisa memastikan apa.
“Terima kasih sudah bekerja keras, Nak. Jangan pernah tinggalkan stasiun ini, ya… Setidaknya, sampai kamu tahu apa yang terjadi,” kata pria itu sambil berlalu, langkahnya semakin menjauh, tenggelam dalam kegelapan di luar stasiun.
Budi mengernyit, mencoba memahami apa maksud ucapan pria itu. Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara dari dalam kereta. Pintu-pintu gerbong masih terbuka, tapi dari luar, dia tidak melihat ada siapa-siapa di dalam. Budi mendekati gerbong terakhir, penasaran sekaligus cemas. Ketika dia melangkah ke pintu gerbong itu, hawa dingin langsung menyergapnya.
Di sudut belakang gerbong, duduklah sosok yang dikabarkan penumpang-penumpang sebelumnya. Sosok itu mengenakan jas hitam panjang dan topi. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup bayang-bayang, tapi tatapan matanya yang gelap, kosong, langsung tertuju pada Budi.
“Selamat malam,” sosok itu berkata pelan, suaranya dalam dan berat, seakan berasal dari tempat yang jauh.
Budi merasakan dadanya sesak. Dia mundur beberapa langkah, jantungnya berdebar kencang. “Si… siapa Anda?” tanyanya dengan suara bergetar.
Sosok itu hanya tersenyum, dan tanpa ada tanda-tanda lebih lanjut, dia berdiri dan berjalan ke arah pintu gerbong. Anehnya, ketika kakinya menyentuh lantai peron, tubuhnya perlahan memudar, seperti kabut yang hilang ditelan malam.
Budi tertegun. “Apa… apa tadi?” gumamnya. Tubuhnya gemetar, dan dia merasa seperti baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya dia saksikan.
Dia cepat-cepat keluar dari kereta, mengunci pintu gerbong dengan tangan yang gemetar. Malam semakin larut, dan hawa dingin semakin menusuk. Budi kembali ke ruang tunggu petugas, tapi sebelum dia bisa duduk, ponselnya berbunyi. Suara dari supervisor terdengar dari seberang.
“Budi, besok malam kamu nggak perlu masuk. Ada penggantian shift. Kamu istirahat dulu, ya.”
Budi terdiam, merasa ada yang tidak beres. “Kenapa, Pak? Ada masalah?”
Supervisor menghela napas panjang. “Cuma mau kasih tahu, ternyata laporan soal kereta terakhir di Ancol sudah masuk sejak beberapa tahun lalu. Kereta yang kamu jaga tadi… sudah seharusnya tidak ada. Itu adalah kereta yang sudah tidak beroperasi sejak kecelakaan besar di rel Ancol tahun 1995. Mungkin kamu harus berhenti bekerja malam-malam dulu.”
Budi merasa perutnya mual. Dia meletakkan ponselnya dengan tangan bergetar. Di dalam pikirannya, terngiang-ngiang ucapan pria tua tadi, “Jangan tinggalkan stasiun ini, ya…”
Malam berikutnya, Budi memutuskan untuk tidak kembali ke Stasiun Ancol. Tapi ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Setiap kali dia melihat ke arah peron stasiun dari kejauhan, dia merasa masih bisa melihat sosok pria dengan jas panjang dan topi, duduk di gerbong terakhir, menunggu. Menunggu kereta yang seharusnya tidak pernah ada.
Keesokan harinya, kabar tentang Budi yang berhenti kerja tiba-tiba menyebar di kalangan rekan-rekannya. Saat ditanya, dia hanya bisa tertawa kecil, “Kalian percaya nggak percaya, tapi kadang… hal-hal aneh itu nyata. Dan kalau kalian lihat kereta terakhir dari Stasiun Ancol, jangan pernah naik. Percaya sama gue, deh.”
Dan sejak hari itu, tidak ada lagi yang berani menunggu di peron stasiun Ancol menjelang tengah malam.