Rara mematikan mesin motornya tepat di depan warung kecil yang biasa ia kunjungi setiap siang. Matahari siang itu terasa lebih terik dari biasanya, membuat dedaunan di pepohonan di sekitar Jalan Raya Pondok Gede bergoyang malas diterpa angin. Sebagai mahasiswi yang kuliah sambil kerja di sebuah perusahaan jasa fotokopi, Rara punya jadwal harian yang cukup sederhana: pagi sampai sore kerja, sore kuliah, dan malam pulang. Hari-hari berlalu begitu saja. Sampai hari itu—hari di mana siang yang tenang itu berubah menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah ia bayangkan.
Setelah meneguk es teh manis pesanannya, mata Rara terpaku pada sesuatu yang tampak aneh di seberang jalan. Warung di sana tampak berbeda, padahal biasanya ramai oleh tukang ojek dan anak-anak sekolah. Ada kain putih tergantung di depannya, melambai-lambai pelan seperti diseret angin.
Rara mengernyitkan dahi, merasa ada yang janggal. “Tumben sepi,” gumamnya pelan.
Sambil menghabiskan minumannya, Rara mulai mendengar cerita dari Ibu Wati, pemilik warung tempat ia biasa makan siang.
“Rara, kamu nggak denger kabar ya? Warung di seberang itu ditutup karena kejadian semalam,” ujar Ibu Wati sambil menyapu bagian depan warungnya. Rara menaikkan alis, penasaran.
“Kejadian apa, Bu?”
“Katanya, semalam ada yang lihat… apa ya, mungkin itu yang namanya hantu,” bisik Ibu Wati, seraya melihat ke arah seberang dengan wajah serius.
Rara tertawa kecil. “Hantu, Bu? Masa sih?” Namun, rasa penasaran itu terus mengusik pikirannya. Ia menghabiskan makanannya dengan cepat, lalu pamit pada Ibu Wati untuk pulang ke tempat kerja.
Siang itu berlalu biasa, namun saat sore menjelang, perasaan ganjil mulai muncul. Jalan yang biasa ia lalui terasa lebih sunyi. Pohon-pohon yang biasanya terasa ramah kini tampak seperti mengintai. Saat matahari mulai tenggelam, hawa di sekitarnya terasa semakin berat. Jakarta Timur di tahun 90-an memang belum seramai sekarang, tapi kali ini, keheningannya mengganggu.
Rara sampai di tempat fotokopi dengan pikiran yang masih terseret oleh percakapan tadi siang. Jam menunjukkan pukul sembilan malam ketika ia memutuskan untuk pulang lebih awal. Jalan yang biasa ia lewati terasa jauh lebih sepi. Lampu jalan berkelap-kelip, seakan enggan menyala penuh. Rara mulai mempercepat langkahnya. Tapi langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara samar dari belakang.
“Kriiit… kriiit…”
Suara itu seperti roda gerobak kayu yang sedang bergerak. Dengan jantung berdebar, Rara menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya gelap dan bayang-bayang yang tertimpa lampu jalan.
Rara menarik napas panjang dan melanjutkan langkah, kali ini lebih cepat. Namun suara itu muncul lagi. Kali ini lebih jelas, seperti lebih dekat.
“Kriiit… kriiit…”
Rara berhenti lagi, menoleh. Bayangan di bawah lampu jalan tampak berbeda. Ada sosok yang menyerupai manusia—atau lebih tepatnya, menyerupai tubuh manusia yang ditutupi kain putih. Sosok itu berdiri di seberang jalan, tepat di depan warung yang ditutup itu. Rara menelan ludah. Sosok itu tidak bergerak. Hanya berdiri, diam, seperti menunggu.
Tak ingin terjebak dalam rasa takut yang tak beralasan, Rara mencoba membuang jauh-jauh pikiran tentang hantu. Tapi setiap langkahnya, suara “kriiit” itu terus mengikutinya. Kaki Rara semakin cepat melangkah, hingga akhirnya ia hampir berlari. Ia tahu itu bukan halusinasi. Tapi apa yang ia lihat, sosok itu tetap diam, tidak bergerak mendekat. Sampai pada satu titik, Rara berhenti total dan dengan berani memutuskan untuk menghadapi rasa takutnya. Ia berbalik dan berjalan ke arah sosok itu.
Mendekat lebih dekat, sampai hanya beberapa langkah dari warung. Sosok itu masih diam. Kain putih yang membungkusnya bergoyang sedikit oleh angin. Tapi ada yang janggal—bau aneh tercium dari sosok itu, bau kayu basah dan sedikit anyir. Dengan perlahan, Rara mendekati sosok itu dan meraih sudut kainnya.
“Kriiit…”
Terdengar sekali lagi suara itu. Rara memutar kepalanya ke sumber suara yang sebenarnya—gerobak kayu kecil di belakang warung, yang ditarik oleh seorang pria tua. Pria itu menoleh padanya, seolah bertanya tanpa suara kenapa Rara memperhatikan gerobaknya.
Dengan jantung yang berdebar, Rara perlahan menarik kain putih itu. Kain itu terlepas, memperlihatkan… manekin. Manekin berbalut kain kafan, dengan bagian kepala yang ditutupi kantong plastik hitam.
Rara terpaku. Mulutnya setengah terbuka dalam kebingungan. “Apa-apaan ini…” desisnya pelan. Kemudian suara tawa kecil terdengar dari balik warung. Seorang pria muda muncul dengan ekspresi malu-malu.
“Maaf, Mbak. Saya yang naruh ini. Mau ngerjain teman saya, tapi malah Mbak yang kena…” katanya sambil menggaruk kepala.
Rara menghela napas panjang. Seketika rasa takutnya hilang, berganti dengan perasaan kesal. “Bodoh banget,” gerutunya, tetapi kemudian ikut tertawa. Ia merasa lega, meski sekaligus geli dengan situasi aneh itu.
Namun, saat ia berbalik untuk pergi, ada sesuatu yang aneh. Di belakangnya, warung itu kembali tampak gelap. Lampu yang tadi menyala sudah padam. Angin berhembus dingin, dan dari arah gerobak, suara itu muncul lagi, kali ini lebih berat dan seram. “Kriiit… kriiit…”
selamat datang di situs slot terbaik, link gacor daftar
Daftar sekarang resmi situs disitus toto Terpercaya
Daftar sekarang resmi situs dihttps://balebengong.id/file/ Terpercaya
Přijetí hypoteční platby může být nebezpečné pokud nemáte rádi čekání v dlouhých řadách , vyplnění závažné
formuláře , a odmítnutí úvěru na základě vašeho
úvěrového skóre . Přijímání hypoteční platby může
být problematické, pokud nemáte rádi čekání v dlouhých řadách , podávání extrémních formulářů
, a odmítnutí úvěru na základě vašeho úvěrového skóre
. Přijímání hypoteční platby může být problematické , pokud nemáte rádi čekání v dlouhých řadách ,
vyplnění extrémních formulářů a odmítnutí úvěrových rozhodnutí založených na úvěrových skóre .
Nyní můžete svou hypotéku zaplatit rychle a efektivně v České republice. https://groups.google.com/g/sheasjkdcdjksaksda/c/QAbZyXFyVwk