Hujan deras mengguyur jalanan malam itu. Di tengah kegelapan, Rudi berdiri di pos jaga, memandangi rintik hujan yang menari di bawah cahaya lampu jalan. Udara malam terasa dingin, dan suara rintik hujan menjadi satu-satunya teman yang ia punya. Biasanya, ia suka suasana sepi seperti ini. Namun, malam ini terasa berbeda. Seolah ada sesuatu yang menunggu di balik hujan, siap menerkam kapan saja.
Rudi menyesap kopi hitam dari termos yang ia bawa, mencoba menghangatkan tubuhnya. Sekilas, semuanya tampak normal. Namun, di kejauhan, terdengar sirene penjara meraung. Suara itu biasanya mengindikasikan sesuatu yang darurat—mungkin pelarian, mungkin juga hanya kesalahan teknis.
“Sial, kenapa harus sekarang?” Rudi bergumam pada dirinya sendiri. Ia mengangkat walkie-talkie dan mencoba menghubungi Iwan, rekannya yang berjaga di belakang.
“Iwan, kamu dengar sirene itu? Ada apa?”
Tak ada jawaban, hanya desisan hujan yang terekam di alat komunikasi itu. Rudi mencoba sekali lagi, “Iwan? Jawab, Wan!”
Namun, tetap tak ada balasan. Ini aneh. Iwan bukan tipe yang meninggalkan pos tanpa alasan. Rudi mulai merasa gelisah. Ia memutuskan untuk memeriksa sendiri apa yang terjadi. Dengan jaket hujan melindungi tubuhnya, ia melangkah ke luar pos jaga, mengikuti jalan setapak yang berlumpur menuju pintu belakang pabrik.
Hujan semakin deras. Genangan air bercampur lumpur membuat langkah Rudi berat. Di kejauhan, sirene penjara masih meraung-raung, seolah menuntut perhatian. Rudi terus berjalan, dan semakin dekat ke pintu belakang, firasat buruk mulai menguat. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan menggelayuti pikirannya.
Ketika ia tiba di pintu belakang, pintu itu sudah sedikit terbuka, berderit pelan tertiup angin. Di tanah basah, ia melihat jejak kaki yang tertinggal di lumpur. Namun, jejak itu tidak hanya milik satu orang—ada lebih dari satu pasang jejak yang mengarah ke tembok penjara. Rudi berhenti, matanya menyapu sekitar, mencoba memahami situasi.
“Iwan?” panggilnya, namun tak ada suara yang menjawab, hanya hujan deras yang terus turun. Napasnya mulai terasa berat.
Langkah Rudi berhenti tepat di depan tembok. Jejak-jejak kaki itu berakhir di sana, di bawah tembok batu tua yang menjulang tinggi. Tapi tidak ada tanda-tanda orang lain di sekitarnya, tak ada celah, tak ada lubang. Hanya batu yang kokoh dan dingin. Ia melirik ke arah atas, mencoba mencari apapun yang bisa menjelaskan jejak tersebut.
Tiba-tiba, sebuah suara aneh terdengar. Suara napas berat, seolah seseorang sedang terengah-engah. Rudi mundur selangkah, jantungnya berdegup cepat. Napas itu semakin keras, semakin mendekat. Lalu, tanpa peringatan, sesuatu yang besar dan hitam jatuh dari atas tembok, menghantam tanah di depannya.
Rudi terkejut, terpaku sejenak. Ia ingin lari, namun tubuhnya kaku. Sosok yang jatuh itu tampak manusia, tapi tidak bergerak. Di sekeliling tubuhnya, rantai besi melilit erat, mengeluarkan suara gemerisik saat tertarik oleh hujan.
Rudi menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, sosok itu mulai bergerak. Perlahan, kepala sosok tersebut mengangkat, dan sepasang mata kosong menatap Rudi dengan tajam. Mata itu penuh luka, dengan darah mengalir dari setiap celah di kulitnya.
Rudi tersentak mundur, kakinya tersandung, membuatnya jatuh ke tanah. Sosok itu berdiri, rantai yang melilit tubuhnya bergemeretak. Sosok itu membuka mulut, mengeluarkan suara jeritan yang tidak manusiawi, seakan sirene penjara itu berbicara melalui tenggorokan makhluk tersebut.