Pagi itu, udara segar menyelimuti area sekitar hotel tempat Abah menginap. Meskipun usianya sudah tak muda lagi, Abah tetap menjaga semangat muda dengan rutin jogging setiap pagi. Namun, kali ini ada motivasi khusus yang membuat langkah Abah semakin cepat dan semangatnya kian membara: seorang mamah muda yang selalu jogging di sekitar hotel itu. Cantik dan penuh pesona, mamah muda ini tak luput dari lirikan mata Abah setiap kali mereka kebetulan bertemu di jalur jogging.
Khodam, yang sering ikut jogging dengan Abah, sudah hafal dengan kebiasaan Abah yang selalu mencari kesempatan untuk berdekatan dengan mamah muda tersebut. Namun, pagi ini Khodam memilih untuk tidak ikut, membiarkan Abah beraksi sendirian. Sementara itu, Khodim, seperti biasanya, hanya mendengar cerita Abah nanti sepulangnya dari jogging.
Saat sedang jogging dan melihat mamah muda melintas, Abah berpikir keras untuk membuat kesan. Ide brilian pun muncul di benaknya: “Aku akan mengambil uang dari ATM, biar kelihatan mapan dan terurus,” pikir Abah sambil meraba dompetnya. Uangnya masih ada, tapi Abah ingin menunjukkan seolah-olah ia punya banyak uang.
Namun, ada satu masalah kecil. Abah adalah pemilik rekening bank Mandi. Tapi, entah mengapa, karena ingin membuat kesan lebih pada mamah muda yang berjalan tak jauh darinya, Abah memilih untuk menyebrang ke ATM bank ABC yang tidak jauh dari tempat berdiri mamah muda.
Dengan langkah mantap, Abah menyusuri trotoar, menunggu celah di tengah lalu lintas yang padat. Setelah memastikan mamah muda melihat aksinya, Abah menyeberang jalan dengan hati-hati, melewati deru kendaraan yang berseliweran. Sampai di ATM bank ABC, Abah segera memasukkan kartunya, mengambil uang sebesar dua juta rupiah, tak peduli bahwa ia akan dikenakan biaya admin dua kali lipat karena transaksi di luar bank sendiri dan dua kali pengambilan.
Abah kemudian menyelipkan uang tersebut dengan rapi ke dalam dompetnya dan bergegas menyebrang kembali ke jalur jogging. Ia merasa berhasil dalam pencitraan ini, membayangkan mamah muda terkesan melihat betapa mapannya dirinya.
Namun, sesampainya di trotoar, sesuatu menarik perhatian Abah. Ketika menoleh ke belakang, ia melihat ATM bank Mandi, tepat di belakang tempatnya berdiri sebelum menyeberang tadi. Abah tersenyum kecut, menyadari betapa bodohnya ia telah mengambil rute yang lebih sulit hanya demi pencitraan.
Setibanya di rumah, Abah tak sabar menceritakan kisah tersebut kepada Khodim, yang seperti biasa, hanya mendengarkan dengan penuh perhatian sambil menikmati secangkir teh.“Jadi, Abah tadi sengaja ambil uang di ATM jauh, biar mamah muda itu lihat Abah keren!” kata Abah sambil tertawa. “Eh, tapi ternyata ATM bank Mandi ada di belakang Abah waktu itu!” Setelah mendengar cerita Abah yang penuh dengan kebanggaan, Khodim mengangkat alisnya sedikit dan berkata singkat, “Dua kali rugi.”
Abah terdiam, mencoba mencerna kata-kata Khodim yang singkat namun dalam. “Dua kali rugi?” tanya Abah, tak mengerti maksud Khodim.
Khodim tersenyum kecil dan melanjutkan, “Biaya admin dua kali, plus malu dua kali kalau mamah muda tahu. Abah mengomentari balik sambil tertawa. “Iya! Dua kali rugi, tapi seru! Mamanya senyum, Abah jadi ‘dong-dong’, lupa ATM deket!” Abah tersentak, baru menyadari bahwa langkahnya tadi bukan hanya membuang-buang uang, tapi juga berpotensi membuatnya tampak bodoh jika mamah muda itu tahu yang sebenarnya. Namun, bukannya menyesal, Abah malah tertawa keras, mengakui kebodohannya.
“Ah, Khodim, kau memang selalu tahu cara menaruh cermin di depan wajah Abah,” katanya sambil menepuk pundak Khodim. Mereka tertawa bersama, sementara Khodam yang baru selesai menulis hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar cerita konyol itu.