Kekeliruan di Tengah Kerumunan

Hari itu cuaca cukup hangat, dan suasana di desa terasa lebih ramai dari biasanya. Di salah satu sudut, Khodam dan Japrawisa sudah bersiap-siap. Keduanya mendengar kabar bahwa Abah dan Khodim akan menggelar acara besar. Tidak ingin ketinggalan, mereka memutuskan untuk menyusul. Namun, Khodam merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan acara ini, meskipun dia tidak bisa menyebutkannya dengan pasti.

“Japrawisa, kamu udah siap?” tanya Khodam sambil merapikan bajunya.

Japrawisa mengangguk sambil tersenyum tipis. “Siap, Dam. Tapi aku masih nggak yakin, acara Abah kali ini kok terdengar meragukan. Kenapa dia tiba-tiba manggung?”

Khodam menggeleng, masih merasa curiga. “Entahlah, tapi katanya Khodim juga terlibat. Mungkin ini cuma acara kecil. Kita datang saja, siapa tahu bisa kasih dukungan.”

Mereka akhirnya berangkat menuju tempat acara diadakan. Ketika mereka tiba di lokasi, suasana cukup meriah, lebih dari yang mereka duga. Kerumunan orang tampak ramai di beberapa titik, namun ada dua kelompok besar yang mencuri perhatian mereka.

Di satu sisi, ada sekumpulan perempuan cantik, semuanya mengenakan pakaian rapi, sepertinya calon guru. Khodam dan Japrawisa langsung terperangah melihat mereka. “Ini yang dimaksud acara Abah, ya?” tanya Japrawisa dengan tatapan bingung.

“Sepertinya… iya,” jawab Khodam, meskipun ada keraguan dalam suaranya. “Masa Abah bikin acara kayak gini? Tapi, mungkin aja dia terlibat dalam pelatihan calon guru atau semacamnya.”

Tanpa banyak berpikir, mereka memutuskan mendekat ke kerumunan perempuan tersebut. Namun, semakin dekat, mereka justru terjebak di tengah kerumunan yang padat. Japrawisa mulai merasa tidak nyaman, keringat mulai membasahi dahinya. Perempuan-perempuan itu terus berdatangan, mempersempit ruang gerak Khodam dan Japrawisa.

Baca Juga:  Gerobak Tahu dan Penunggu Malam

“Dam, kok makin sempit ya?” keluh Japrawisa sambil mencoba mencari ruang untuk bernapas. “Ini bukan acara yang aku bayangkan.”

Khodam mulai merasa situasinya tidak beres. Suara riuh perempuan-perempuan yang berbincang dan sesekali tertawa kecil di sekitar mereka mulai mengganggu. “Sabar, Pra. Mungkin Abah akan muncul sebentar lagi. Pasti dia ada di tengah-tengah kerumunan ini.”

Namun, seiring waktu berlalu, tidak ada tanda-tanda Abah atau Khodim di sekitar mereka. Mereka hanya terjebak di tengah kerumunan perempuan yang semakin padat, sementara hawa panas dan keringat mulai bercampur di udara.


Sementara itu, di sisi lain lokasi acara, suasana jauh berbeda. Di sana, Abah dan Khodim sedang tampil dalam sebuah pentas seni. Mereka bermain dengan warna-warna cerah diiringi musik tradisional, melukis di atas kanvas besar dengan gerakan dinamis dan penuh gaya. Penonton yang mengerumuni mereka tidak kalah menarik perhatian—sekelompok perempuan cantik yang dengan antusias mengagumi setiap gerakan mereka.

“Aku nggak nyangka bakal serame ini,” kata Khodim sambil tersenyum puas. “Perempuan-perempuan ini sepertinya suka banget sama cara kita main warna. Aku bahkan merasa seperti selebritas.”

Abah tertawa kecil, tetap tenang di tengah situasi itu. “Nah, ini seni yang tak hanya memikat hati, tapi juga mata. Lihat, semakin banyak yang datang untuk melihat kita.”

Memang benar, semakin lama, semakin banyak orang yang berkumpul mengelilingi Abah dan Khodim. Musik tradisional yang menghentak serta permainan warna yang mereka lakukan membuat acara itu terasa unik dan memikat. Perempuan-perempuan yang mengagumi mereka tampak antusias, mata mereka terpaku pada gerakan tangan Abah dan Khodim saat melukis dengan penuh semangat.

Baca Juga:  Pasar Kaget dan Sosok Tak Terlihat

Di tengah keriuhan tersebut, beberapa dari mereka mulai mengajak Abah dan Khodim berfoto, membuat suasana semakin meriah. Abah hanya tersenyum dan melayani setiap permintaan dengan ramah. Semakin banyak yang terkesima dengan aksi mereka, semakin banyak pula yang mendekat, hingga Abah dan Khodim mulai mendapat julukan baru: “Sang Pelukis Hati.”

Khodim semakin larut dalam suasana, dan sesekali ia menambah bumbu humor dengan lelucon-lelucon ringan. “Wah, setelah ini mungkin kita perlu tampil keliling desa, ya. Siapa tahu dapat penggemar lebih banyak,” katanya sambil tertawa. Para penonton pun ikut tertawa, semakin menikmati suasana santai namun meriah itu.


Sementara itu, di tempat lain, Khodam dan Japrawisa sudah mulai kelelahan. Mereka masih terjebak di antara kerumunan calon guru yang tampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan bubar. Keringat mereka semakin deras, dan napas semakin berat. Japrawisa bahkan sempat kehilangan sandal karena terinjak.

“Kita udah di sini cukup lama, tapi Abah nggak muncul-muncul. Ini pasti ada yang salah, Dam,” keluh Japrawisa dengan nada frustrasi.

Khodam, yang juga mulai merasa lelah, mengangguk. “Iya, aku mulai curiga ini bukan tempat acara yang seharusnya kita datangi. Kayaknya Abah dan Khodim bukan di sini.”

Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk keluar dari kerumunan itu. Dengan susah payah, mereka mendorong diri mereka ke pinggir, berusaha keluar dari kumpulan perempuan-perempuan tersebut. Begitu mereka akhirnya berhasil keluar, mereka berdiri terengah-engah, masih bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Baca Juga:  Riuh Ribut di Warung Pecel Lele Berhantu

“Aku nggak paham, kenapa kita terjebak di situ?” kata Japrawisa sambil menyeka keringat di dahinya.

Khodam menghela napas panjang. “Ini pasti ulah Abah dan Khodim. Mereka sengaja nggak bilang di mana mereka sebenarnya. Kita ditipu, Pra!”

Dan benar saja, saat mereka melihat ke arah kerumunan lain di sisi seberang, mereka menyaksikan Abah dan Khodim sedang dikelilingi oleh banyak perempuan, bermain warna dengan gaya yang memikat dan disertai musik tradisional. Penonton di sana tampak lebih terorganisir dan menikmati pertunjukan, jauh dari keramaian yang membingungkan seperti yang baru saja mereka alami.

Japrawisa menatap pemandangan itu dengan mulut setengah terbuka. “Jadi, mereka di situ?”

Khodam hanya bisa tertawa kecil, meskipun lelah. “Ya, mereka di situ, dengan segala kemewahan dan pesona. Sementara kita…”

“Kita terjebak di antara keringat dan keringat,” lanjut Japrawisa sambil ikut tertawa getir. “Lain kali, Dam, kita harus lebih hati-hati menerima informasi dari Abah dan Khodim.”

“Betul, jangan sampai kita dikelabui lagi,” kata Khodam, masih tersenyum.

Meski sedikit kecewa karena acara yang mereka bayangkan ternyata berbeda jauh dari kenyataan, Khodam dan Japrawisa akhirnya hanya bisa tertawa kecil. Mereka berjalan perlahan meninggalkan kerumunan itu, sambil terus mengingat betapa mereka telah jatuh ke dalam perangkap kecil yang tak terduga dari Abah dan Khodim.

Leave a Reply