Ketika Arman bangkit untuk mengambilnya, suara berat, seperti desahan panjang, terdengar dari arah tembok. Arman menoleh, dan sosok itu masih ada di sana—tetap menggantung di udara, memandangnya dengan tatapan kosong yang mengerikan.
Tanpa pikir panjang, Arman berlari. Napasnya terengah-engah, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Jalan yang ia lewati begitu sepi, hanya ada lampu jalan yang berkedip-kedip, membuat suasana semakin horor. Ia bisa merasakan bayangan sosok itu mengikutinya dari balik tembok, seolah ingin menariknya ke dalam kegelapan.
Arman tahu cerita-cerita yang beredar di kampungnya. Tentang tahanan yang dihukum mati secara brutal di dalam penjara Cipinang, tentang roh-roh yang tidak tenang. Tapi semua itu hanya dongeng bagi Arman, sampai malam ini.
Ketika akhirnya ia melihat gerbang kecil rumahnya di ujung jalan, Arman merasa sedikit lega. Namun, sebelum ia bisa meraih pegangan pintu, suara gemerisik dari belakang membuatnya berhenti. Perlahan, ia menoleh dan melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Bayangan hitam itu kini berada di luar tembok, berdiri di tengah jalan dengan rantai yang masih melilit tubuhnya. Wajahnya lebih jelas kali ini, dengan mata kosong yang terbelalak lebar, seolah-olah mencari seseorang.
Tubuh Arman gemetar hebat. Ia tidak bisa bergerak, tubuhnya kaku, seolah ditarik oleh tatapan tajam sosok itu. Suara rantai yang ditarik di atas aspal semakin jelas, dan setiap langkah sosok itu mendekat, udara terasa semakin berat.
Sosok itu berhenti tepat di depan Arman, hanya beberapa meter dari pintu gerbang rumahnya. Dari jarak dekat, Arman bisa melihat dengan jelas luka-luka di tubuhnya, luka-luka yang tidak mungkin dialami manusia biasa. Bau amis menyeruak dari tubuhnya, membuat Arman ingin muntah.
Sosok itu mengangkat tangannya perlahan, menunjukkan luka sayatan yang membelah telapak tangannya. Rantai yang melilit lengannya berderak, seolah-olah ada beban berat yang tak terlihat menariknya ke bawah.
“Kenapa… kau…” Suara itu tiba-tiba terdengar, lemah, namun sangat jelas. Arman merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Sosok itu berbicara.
“Apa yang kau inginkan?” teriak Arman dalam kepanikan, suaranya pecah. Namun, sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya terus mengangkat tangannya yang terluka, menunjuk sesuatu di belakang Arman.
Dengan gemetar, Arman menoleh. Di belakangnya, tembok rumahnya tampak seperti biasa, tapi di atasnya—di sana, tergantung satu sosok lain. Sosok dengan mata yang tak kalah kosong, menggantung seperti layangan putus, namun kali ini wajahnya sangat familiar. Itu wajah seorang teman lamanya, Budi, yang dikabarkan hilang tanpa jejak beberapa bulan lalu.
“Astaga…” Arman tersentak mundur. Pikirannya kacau balau. Temannya? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi pada Budi?
Seketika, rantai di tangan sosok di depan Arman bergerak. Arman memejamkan mata, mencoba lari, namun tubuhnya masih kaku. Ketika ia membuka mata lagi, sosok itu sudah lenyap, hanya meninggalkan bau amis dan suara rantai yang samar-samar terdengar di kejauhan.
Dengan seluruh tenaga yang tersisa, Arman berlari masuk ke rumahnya dan menutup pintu rapat-rapat. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar tak karuan. Dari dalam rumah, ia bisa mendengar suara rantai yang terus menyeret di luar, semakin menjauh hingga akhirnya hilang di kejauhan.
Sejak malam itu, Arman tidak pernah lagi berjalan melewati tembok penjara Cipinang sendirian. Dia tahu, apa pun yang dia lihat malam itu bukanlah sekadar cerita kosong. Penjara itu, dengan semua sejarah kelamnya, menyimpan rahasia yang jauh lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan.
Seminggu setelah kejadian itu, tubuh Budi ditemukan—terjerat rantai, tak jauh dari tembok penjara Cipinang.
Kenapa budi meninggal?,, sangat menggantung ceritanya
use english pleass