Kenapa Muslim Kesulitan Jadikan Nabi Muhammad Saw sebagai Teladan?

Bagi yang Muslim ngumpul sini bentar, ya! Mumpung hari ini peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Tinggalkan dulu kisah PON, Pilkada, apalagi Fufufafa. Mari kita bahasa teladan nabi di era AI saat ini.

Kenapa Muslim Kesulitan Jadikan Nabi Muhammad Saw sebagai Teladan?

Anggap saja ini seperti bincang-bincang ringan di teras masjid bersama kiyai kampung. Kita bisa bercanda sedikit sambil tetap berpikir mendalam. Sebuah pertanyaan, kenapa banyak Muslim kesulitan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai panutan? Mari kita cek alasan-alasan klasiknya.

Peetama, kurangnya pemahaman? Oh, jadi ini kayak malas baca panduan manual. Serius nih, ini seperti orang beli TV baru, tapi malah enggak pernah buka buku panduannya. Mereka tahu TV-nya keren, tahu manfaatnya, tapi ya itu… malas buka buku panduan. Apa nggak lucu kalau kita bicara tentang agama dan hidup kita seolah kayak beli barang elektronik? Nabi Muhammad Saw udah kasih panduan hidup yang lengkap, dari cara makan sampai memimpin negara, tapi eh, kita masih suka “skip tutorial.” Mau sempurna, tapi “males buka manual” katanya. Ajaib, kan?

Kedua, pengaruh budaya? Yah, biar gaul sikit, wak. Yang ini klise, tapi tetap aja menarik. Budaya lokal katanya lebih penting. Kalau budaya lokal bilang “pakai celana sempit biar kekinian,” ya sudah, ajaran Nabi Muhammad SAW soal kesederhanaan dilupakan. Seolah-olah budaya lokal itu sakral banget, sampai-sampai sunnah dianggap cuma “opsional” kalau udah masuk lingkaran pergaulan. Ya, Rasulullah memang bilang untuk menghormati budaya lokal, tapi bukan berarti kita bisa menukar prinsip dengan tren sesaat. Ibaratnya, mau hidup kayak Rasulullah tapi enggak mau kelihatan “kuno.” Alhasil, jadilah hybrid antara tradisi dan “mau tetap gaul.”

Baca Juga:  Mengapa Mata Pelajaran Seni di SD Lebih Penting dari yang Anda Pikirkan

Ketiga, kehidupan modern? Sibuk, wak, Sibuk! “Hidup di zaman sekarang itu ribet, beda sama zaman Nabi.” Eits, tunggu dulu, ini lucu tapi sedikit menyedihkan juga. Zaman Rasulullah mungkin enggak ada Instagram atau TikTok, tapi tantangan zaman dulu juga nggak kalah ribet. Mereka berperang, berdagang lintas negara, berdakwah, dan membangun masyarakat yang harmonis. Tapi, anehnya, alasan “sibuk” zaman sekarang dipakai buat menjustifikasi kenapa enggak bisa ikut teladan Nabi. Woy, kita cuma sibuk buka HP, scrolling tanpa henti, sambil bilang, “Aduh, hidup modern capek banget!”

Keempat, kurangnya keteladanan dari pemimpin, pemimpin atau komedian? Nah, ini bagian favorit kita semua. Kadang-kadang, pemimpin agama atau masyarakat tampil kayak stand-up comedian di depan kita, ngomongnya bijak, praktiknya bikin kita ngakak (atau nangis). Nggak jarang, kita lebih fokus ke “kejenakaan” mereka dari pada esensi ajaran yang disampaikan. Padahal, Nabi adalah pemimpin yang tanpa cela, yang hidupnya adalah contoh nyata. Sayangnya, keteladanan modern kadang lebih mirip parodi dari pada praktik nyata.

Kelima, pengaruh media, menambah drama kehidupan. Media sosial, oh media sosial. Ini medan perang baru. Kalau Nabi zaman sekarang punya akun TikTok, mungkin konten beliau nggak akan viral. Karena apa? Lebih seru lihat prank, gosip, dan challenge aneh-aneh. Serius, gaya hidup yang dipromosikan media sosial seolah bilang, “Kalau nggak ikut tren, kamu bakal ketinggalan.” Tapi kan… Nabi Muhammad Saw bilang kebahagiaan itu sederhana, bukan dari jumlah followers. Cuma ya itu, susah rasanya kalau FOMO (fear of missing out) jadi lebih penting daripada FOSO (fear of sinning out).

Leave a Reply