Di Balik Seriusnya Upacara

Pagi itu, di tengah lapangan yang penuh dengan barisan rapi peserta upacara HUT RI, Khodam berdiri tegak, wajahnya mencerminkan keseriusan yang mendalam. Baginya, upacara ini adalah ritual sakral yang harus dijalani dengan penuh hormat. Setiap gerakan, setiap kata dalam upacara, memiliki makna mendalam yang tak boleh diabaikan.

Di sisi lain, Khodim muncul dari kerumunan, langkahnya santai dan ekspresi wajahnya setengah mengantuk. Ia mengenakan pakaian adat Betawi yang nyentrik—baju merah mencolok, peci merah dengan sarung melilit, dan kacamata hitam besar menutupi sebagian besar wajahnya. Di tangannya, tergantung tas kamera yang terlihat sangat profesional, meskipun ia lupa membawa kameranya.

“Kenapa kau berpakaian seperti itu?” tanya Khodam dengan nada khawatir. “Ini adalah upacara yang khidmat. Kita harus menunjukkan rasa hormat.”

Khodim hanya mengangkat bahunya, tanpa banyak bicara. Ia menyadari bahwa tanpa kamera, niatnya untuk mendokumentasikan upacara akan sia-sia. Namun, Khodim, dengan kecerdasannya yang khas, segera menemukan cara untuk mengatasi masalah ini.

Sambil berdiri di tengah barisan peserta, Khodim mulai memposisikan dirinya seolah-olah siap mengambil gambar. Ia mengangkat tangan, meniru gerakan mengambil foto dengan kamera yang tak ada di tangannya. Para peserta, yang awalnya bingung melihat Khodim, kini mulai tersenyum. Ada yang mencoba menahan tawa, ada pula yang berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Baca Juga:  Khodam Apache si Helikopter Malam

Khodam, yang menyaksikan dari dekat, mengernyitkan dahi. “Apa yang sedang kau lakukan, Khodim? Kau bahkan tidak membawa kamera!”

Khodim hanya tersenyum, lalu menjawab singkat, “Mendokumentasikan momen.”

“Apa? Dengan tangan kosong?” Khodam bertanya heran.

Khodim mengangguk. “Yang penting adalah ingatan, bukan kameranya,” jawabnya singkat, sambil terus berpura-pura mengambil gambar.

Para peserta upacara mulai tertawa melihat aksi Khodim. Bahkan komandan upacara yang biasanya tegas pun tak mampu menahan senyum. Di tengah kekhidmatan upacara, Khodim berhasil mengubah suasana menjadi lebih ringan dan penuh kehangatan.

Setelah upacara selesai, Khodim mendekati Khodam, yang masih terlihat bingung. “Kau lihat? Terkadang, yang kita butuhkan bukanlah alat, tapi momen itu sendiri. Semua orang akan mengingat hari ini bukan karena fotonya, tapi karena tawa dan kebersamaan yang kita ciptakan.”

Khodam terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Mungkin kau benar, Khodim. Mungkin, kebersamaan dan keceriaan itulah yang membuat momen ini lebih berarti.”

Khodim hanya mengangguk, kali ini tanpa kata-kata. Ia tahu, meskipun tanpa kamera, ia telah berhasil “mendokumentasikan” momen ini dalam ingatan semua orang yang hadir—dengan cara yang tak terduga, namun penuh makna.

khodam khodim ambil foto
khodam khodim ambil foto