Khodam dan Khodim: Dua Saudara, Satu Takdir
Di desa kecil di kaki gunung, Khodam selalu menjadi orang pertama yang bangun, bahkan sebelum matahari mulai muncul di ufuk timur. Setiap pagi, ia mengisi bak air desa, menyapu halaman rumah, dan mengajar anak-anak membaca dan menulis. Khodam dikenal sebagai pemuda yang rajin, selalu sibuk dan penuh semangat. Di balik senyumannya, Khodam menyimpan banyak kekhawatiran tentang masa depan—apakah yang ia lakukan hari ini akan memberi hasil yang baik di kemudian hari?
Di sisi lain, Khodim, saudara kembar Khodam, justru selalu bangun terlambat, bahkan sering kali terlelap kembali meski matahari sudah tinggi. Ketika Khodam sibuk merencanakan kegiatan seharian, Khodim justru duduk di bawah pohon rindang, menikmati kesejukan angin, dan memejamkan mata. Khodim tidak banyak bicara, tapi sekali ia berbicara, kata-katanya selalu mengandung makna yang dalam, meski sering kali sulit dipahami oleh orang lain.
Pada suatu hari, Khodam mendekati Khodim yang sedang bersandar di batang pohon, matanya setengah tertutup, seolah berada di ambang tidur.
“Khodim, kenapa kau selalu terlihat malas? Bukankah kita seharusnya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk masa depan yang lebih baik?” tanya Khodam dengan nada cemas, seperti biasa.
Khodim membuka matanya perlahan, menatap Khodam sejenak, lalu menjawab singkat, “Akhirnya sama.”
Khodam mengerutkan dahi, tak mengerti. “Apa maksudmu?”
Khodim menguap kecil sebelum menjawab, “Apa yang kau bangun, apa yang kau rencanakan, akhirnya akan tiba pada kesimpulan yang sudah ada. Tak perlu cemas.”
“Tapi, Khodim, jika kita tidak merencanakan segalanya dengan baik, kita bisa gagal!” Khodam berkata, suaranya semakin terdengar khawatir. “Bagaimana jika yang aku lakukan salah? Bagaimana jika semua ini sia-sia?”
Khodim hanya menggeleng perlahan, mengangkat bahu, dan berkata, “Hidup, tidur, bangun, dan lihatlah.”
Khodam merasa bingung, dan dalam kebingungannya, ia mulai merasa tidak nyaman. Sebagai seseorang yang selalu berpikir jauh ke depan, jawaban singkat dan misterius Khodim tidak memberinya rasa tenang. “Kenapa kau tidak pernah mengkhawatirkan apapun?” tanya Khodam lagi, suaranya nyaris memohon.
Khodim tersenyum tipis, sebuah senyum yang selalu penuh rahasia. Ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke langit. “Semua yang ada di sini,” katanya sambil menunjuk ke kepala Khodam, “adalah bagian dari apa yang sudah ada di sana.” Tangannya bergerak perlahan, menunjuk ke awan yang bergelayut malas di langit.
Khodam terdiam, mencoba mencerna maksud Khodim. Tetapi seperti biasa, Khodim tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Ia hanya menutup matanya kembali dan melanjutkan tidurnya di bawah pohon.
Hari-hari berlalu, Khodam tetap bekerja keras, mengkhawatirkan setiap langkah yang diambil, sementara Khodim terus hidup dengan cara yang sama—santai, tanpa cemas, dan selalu percaya bahwa setiap tindakan memiliki akhirnya sendiri yang sudah tertulis. Setiap kali Khodam mulai merasa tertekan oleh pikirannya sendiri, Khodim hanya akan berkata, “Tunggu saja. Lihatlah.”
Dan akhirnya, Khodam mulai mengerti. Meskipun jalan mereka berbeda—satu yang penuh dengan usaha dan rencana, dan satu lagi yang penuh dengan ketenangan dan penerimaan—tujuan mereka tetap sama. Mereka adalah dua sisi dari satu takdir yang sama. Khodam dengan segala kekhawatirannya dan Khodim dengan segala kebijaksanaannya yang tak terucapkan, adalah bagian dari keseimbangan alam yang sempurna. Di akhir cerita, Khodam akhirnya mengerti bahwa tak semua pertanyaan membutuhkan jawaban yang rumit. Terkadang, jawaban yang sederhana, seperti yang diberikan Khodim, adalah yang paling mendalam.