Hujan baru saja reda malam itu, menyisakan gemerlap air yang memantulkan lampu jalan di sekitar Stasiun Gondangdia. Jam di dinding menunjukkan pukul 22:45, waktu di mana kebanyakan orang sudah bergegas pulang atau memutuskan untuk menunggu hingga pagi.
Tapi tidak untuk Rian, petugas keamanan stasiun. Sebagai penjaga malam, tugasnya memastikan semuanya berjalan lancar, terutama menjelang waktu tutup. Ia menyusuri peron yang kini kosong, hanya ditemani suara tetesan air dari atap yang bocor.
Namun, malam itu terasa berbeda.
Saat Rian memeriksa salah satu sudut stasiun, dia merasa seperti sedang diawasi. Dia menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa. Hanya ada bayangan tiang listrik yang terlihat samar di lantai.
“Ah, mungkin cuma capek,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Rian melanjutkan tugasnya, memeriksa pintu masuk dan memastikan tidak ada penumpang yang tertinggal. Tapi ketika dia sampai di ujung peron, dia mendengar suara aneh—seperti langkah kaki kecil di atas atap stasiun.
“Tok… tok… tok…”
Ia menghentikan langkahnya, menajamkan telinga. Langkah itu berhenti sesaat, lalu terdengar lagi, semakin cepat, seolah seseorang sedang berlari.
“Siapa di atas?!” seru Rian, suaranya menggema di stasiun kosong.
Tidak ada jawaban. Hanya suara langkah itu yang kini terdengar makin mendekat, seperti melingkari atap.
Rian menyalakan senter dan mencoba mencari sumber suara, tetapi atap terlalu gelap untuk dilihat dengan jelas. Ketika dia mengarahkan cahaya ke salah satu sudut, dia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri: bayangan hitam melesat cepat, melompati jarak antara dua bagian atap.
“Ini nggak masuk akal…” bisiknya.
Rian memutuskan untuk kembali ke ruang kontrol, berharap bisa memantau situasi dari kamera keamanan. Sesampainya di sana, dia segera memeriksa layar monitor.
Awalnya, semuanya tampak normal—peron kosong, lorong bersih, pintu terkunci. Tapi ketika dia memperbesar salah satu kamera yang mengarah ke atap, dia melihatnya.
Sebuah bayangan hitam berdiri diam di tepi atap, tampak mengintip ke bawah.
Bayangan itu tidak memiliki bentuk yang jelas, seperti kabut gelap yang terus bergerak pelan. Rian mencoba menghubungi rekan kerjanya melalui radio, tetapi tidak ada jawaban.
“Ini nggak bisa didiamkan,” pikirnya.
Ia mengambil keberanian dan berjalan keluar lagi, kali ini menuju tangga darurat yang mengarah ke atap. Tangannya gemetar saat memegang senter, dan langkahnya terasa berat.
Saat mencapai atap, suasana sunyi. Hanya terdengar angin malam yang membawa aroma sisa hujan.
“Siapa di sini?!” teriak Rian, mencoba terlihat berani.
Tiba-tiba, sesuatu bergerak di sudut matanya. Dia mengarahkan senter ke arah itu, tetapi yang dia temukan hanya genteng basah.
Namun, ketika dia menoleh ke belakang, bayangan itu sudah berdiri tepat di depannya.
Bayangan itu tidak memiliki wajah, tetapi ada sesuatu yang terasa mencekam darinya. Rian mundur selangkah, hampir terpeleset.
“Apa… apa yang kau mau?” tanyanya dengan suara parau.
Bayangan itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia bergerak perlahan mendekati Rian, membuat udara di sekitarnya terasa dingin dan berat.
Rian mencoba berlari, tetapi kakinya seperti terpaku di tempat. Bayangan itu kini hanya berjarak beberapa inci darinya.
Ketika dia sudah hampir menyerah, suara derit pintu terdengar dari bawah. Tiba-tiba, bayangan itu berhenti dan menoleh. Seolah-olah suara itu telah mengalihkan perhatiannya.
Dalam sekejap, bayangan itu lenyap, meninggalkan Rian yang terduduk lemas di atap.
Keesokan harinya, Rian menceritakan kejadian itu kepada kepala stasiun. Namun, tidak ada yang percaya padanya. Kamera keamanan juga tidak menunjukkan apa-apa.
“Ah, mungkin cuma kecapekan, Ri,” kata salah satu rekannya sambil menepuk bahunya.
Namun, Rian tahu apa yang dia lihat. Dan setiap kali hujan turun di malam hari, ia tidak bisa berhenti memikirkan bayangan itu, yang sepertinya masih mengintai dari atas Stasiun Gondangdia.
Selesai.