Gerbong Ke-13 di Stasiun Duri

0
(0)
Gerbong ke 13 di Stasiun Duri

Malam itu, suasana Stasiun Duri terasa lengang. Hanya ada segelintir penumpang yang terlihat menunggu kereta terakhir. Angin malam berhembus lembut, membawa bau khas besi karat dan oli yang bercampur dengan sisa hujan sore tadi.

Dina, seorang karyawan yang lembur hingga malam, berdiri di peron. Tangannya memegang ponsel, mencoba mencari hiburan sembari menunggu. Namun, sinyal buruk di stasiun membuatnya frustrasi.

“Kereta kok lama banget, ya?” gumamnya sambil melirik ke arah papan jadwal elektronik.

Seorang pria paruh baya dengan seragam petugas stasiun mendekatinya. “Nunggu kereta mana, Mbak?” tanyanya dengan nada ramah.

“Yang arah Tanah Abang, Pak. Kok belum datang juga, ya?”

Petugas itu mengangguk pelan. “Kereta terakhir biasanya suka telat. Tapi hati-hati, Mbak. Kalau keretanya lewat dengan gerbong ke-13, jangan naik.”

Dina tertawa kecil, mengira pria itu bercanda. “Gerbong ke-13? Memangnya ada?”

Pria itu menatap Dina serius. “Ada. Tapi cuma muncul di waktu-waktu tertentu. Kalau kebetulan Mbak lihat, mending tunggu kereta berikutnya aja.”

Dina hendak bertanya lebih jauh, tetapi pria itu sudah berlalu, meninggalkannya dengan rasa penasaran.

Beberapa menit kemudian, suara gemuruh kereta mulai terdengar dari kejauhan. Lampu depannya menyinari rel, dan Dina bersiap. Kereta melambat saat mendekati peron, dan Dina memperhatikan nomor gerbong yang tertera di pintu.

Baca Juga:  Nenek Tua Naik Angkot Setan

1… 2… 3…

Saat kereta berhenti, Dina melihat sesuatu yang aneh. Tepat di ujung rangkaian, ada sebuah gerbong tambahan yang tidak biasa. Gerbong itu terlihat tua, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang buram.

“Gerbong ke-13,” gumam Dina, teringat peringatan petugas tadi.

Beberapa penumpang lain tampaknya tidak menyadari keanehan itu. Mereka masuk ke gerbong-gerbong depan tanpa ragu. Dina berdiri terpaku, matanya tertuju pada gerbong misterius itu.

Tiba-tiba, pintu gerbong ke-13 terbuka dengan sendirinya. Di dalamnya, terlihat remang-remang dengan lampu kuning yang berkedip-kedip. Tidak ada satu pun penumpang di dalamnya.

Perasaan takut dan penasaran bercampur di hati Dina. Dia melangkah maju, mendekati pintu gerbong itu. Sebuah suara lirih terdengar, seperti ada yang memanggil namanya dari dalam.

“Dina…”

Dina tertegun. “Siapa itu?”

Tidak ada jawaban. Hanya suara angin yang berhembus melalui celah pintu.

Seolah-olah terhipnotis, Dina melangkah masuk. Pintu gerbong menutup dengan keras di belakangnya, dan suasana di dalam menjadi sunyi.

Di dalam gerbong, bangku-bangku tua berjajar rapi, tapi semuanya kosong. Lampu di langit-langit berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di sepanjang lorong.

“Hallo? Ada orang di sini?” panggil Dina, suaranya menggema.

Tiba-tiba, sebuah suara tawa kecil terdengar dari ujung gerbong. Dina membeku. Matanya menatap ke arah suara itu, tapi tidak ada siapa-siapa.

Baca Juga:  One Outs #25

“Ini nggak lucu,” katanya, mencoba memberanikan diri.

Dina berjalan perlahan menyusuri lorong. Di salah satu bangku, dia melihat sesuatu tergeletak. Sebuah tas kecil, yang tampak usang dan berdebu. Dengan ragu, dia membuka tas itu. Di dalamnya ada selembar foto hitam-putih.

Foto itu menunjukkan sekelompok orang yang sedang duduk di dalam gerbong kereta. Mereka semua tersenyum, kecuali satu orang di pojok kanan, yang matanya menatap lurus ke arah kamera, seolah memperhatikan Dina.

Dina menjatuhkan foto itu dan berlari ke pintu gerbong. Tapi pintu tidak mau terbuka. Dia mengetuk-ngetuknya, berteriak meminta tolong, tetapi suara gemuruh kereta menenggelamkan teriakannya.

Saat dia berbalik, sosok seseorang berdiri di ujung gerbong. Sosok itu mengenakan pakaian kuno, wajahnya pucat dengan senyum yang tidak wajar.

“Selamat datang di gerbong kami,” kata sosok itu dengan suara dingin.

Dina menjerit, menutup matanya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.

Ketika dia membuka mata lagi, dia sudah berada di peron stasiun. Tidak ada tanda-tanda kereta atau gerbong ke-13. Hanya ada keheningan, dan beberapa penumpang lain yang menatapnya dengan bingung.

Petugas stasiun paruh baya itu mendekatinya lagi.

“Mbak nggak apa-apa?” tanyanya.

Dina mengangguk pelan, masih gemetar. “Gerbong ke-13… itu nyata, Pak.”

Petugas itu tersenyum tipis. “Saya udah bilang, kalau lihat, jangan naik. Untung Mbak masih bisa balik.”

Baca Juga:  Purnama di Gang Berhantu

Malam itu, Dina pulang dengan taksi, bersumpah tidak akan naik kereta malam lagi.

Selesai.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply