Wajah di Jendela Stasiun Cikini

0
(0)
Wajah di Jendela Stasiun Cikini
Wajah di Jendela Stasiun Cikini

Stasiun Cikini selalu punya pesona tersendiri di malam hari. Gedung tua dengan gaya arsitektur kolonial itu terlihat gagah, meski usia dan waktu telah meninggalkan bekas di dinding-dindingnya yang mulai kusam. Malam itu, hujan rintik-rintik membasahi peron, menciptakan suasana yang sendu dan dingin.

Laras, seorang mahasiswi seni rupa, baru saja selesai menghadiri diskusi buku di sebuah kafe di bilangan Menteng. Dia memutuskan untuk pulang menggunakan kereta terakhir. Waktu menunjukkan pukul 10.45 malam saat dia tiba di peron. Hanya ada segelintir orang yang menunggu, kebanyakan terlihat sibuk dengan ponsel mereka atau terkantuk-kantuk di bangku panjang.

Laras duduk di ujung peron, menghadap ke arah rel. Tas kain berisi buku-buku diletakkannya di sebelah. Hujan tipis membuat kaca mata bulatnya sedikit berembun, dan dia menyeka lensa dengan ujung syalnya. Malam terasa begitu sunyi, hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi kereta jauh di lintasan lain atau suara roda koper yang menyeret di lantai.

Saat itulah dia merasakan sesuatu.

Bukan suara atau gerakan, melainkan perasaan. Seperti ada yang memperhatikannya dari kejauhan. Laras mengangkat kepala, matanya menyapu area peron. Tak ada yang aneh. Hanya beberapa penumpang yang duduk berjauhan, dan satu petugas stasiun yang sedang berbicara dengan walkie-talkie.

Dia mengalihkan pandangannya ke rel, lalu ke arah jendela besar stasiun yang menghadap ke luar. Angin malam membuat tirai tipis di balik kaca itu sedikit berkibar, menampilkan bayangan samar pohon-pohon besar di luar. Namun, saat matanya tertuju pada satu jendela di ujung ruangan, dia tertegun.

Baca Juga:  Kaifuku Jutsushi no Yarinaoshi #07

Ada seseorang.

Wajah pucat seorang pria tampak menempel di kaca, menatap lurus ke arahnya. Rambutnya basah kuyup, wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi. Mata pria itu gelap, nyaris seperti tidak memiliki bola mata.

Laras terdiam, napasnya tercekat. Jantungnya mulai berdebar kencang, tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu yang aneh dari cara pria itu berdiri. Tubuhnya tampak terlalu dekat dengan kaca, seperti tidak ada ruang di antara keduanya.

Ketika dia akhirnya bisa mengalihkan pandangan untuk memastikan apakah orang lain juga melihatnya, wajah itu menghilang. Tidak ada siapa pun di balik jendela.

Laras mencoba berpikir rasional. Mungkin itu hanya pantulan bayangan, pikirnya. Atau bisa saja seseorang sedang bercanda. Namun, perasaan itu tidak hilang—perasaan seperti ada sesuatu yang terus mengawasinya.

Beberapa menit berlalu. Kereta yang ditunggu-tunggu Laras akhirnya tiba, meluncur perlahan di rel dengan suara gemuruh yang khas. Penumpang mulai bergerak mendekati gerbong. Laras ikut berdiri, mengambil tasnya, dan melangkah masuk ke dalam gerbong yang agak sepi.

Dia memilih duduk di dekat jendela, berharap perjalanan ke rumahnya di kawasan Depok bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari insiden aneh tadi. Namun, saat kereta mulai bergerak, bayangan wajah di jendela itu terus terngiang di benaknya.

Ketika kereta berhenti di Stasiun Manggarai, suasana semakin lengang. Penumpang di gerbong Laras hanya tersisa tiga orang. Dia melirik ke jendela di seberang, dan apa yang dilihatnya membuat tubuhnya gemetar.

Baca Juga:  Kaifuku Jutsushi no Yarinaoshi #04

Wajah yang sama.

Kali ini, pria itu menempelkan wajahnya di kaca luar jendela gerbong, seolah-olah sedang ikut menumpang kereta dari luar. Laras merasa tubuhnya kaku, seperti ada beban berat yang menahan napasnya.

“Enggak mungkin…” gumamnya pelan.

Dia memberanikan diri untuk berdiri, berjalan mendekati jendela untuk memastikan bahwa itu hanya pantulan. Namun, saat dia sampai di depan jendela, wajah itu tiba-tiba menghilang, digantikan oleh pemandangan rel yang gelap.

Seketika, lampu gerbong berkedip-kedip, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Dua penumpang lain di gerbong terlihat cemas, namun tidak ada yang berani berbicara. Laras kembali ke kursinya dengan napas tersengal, menggenggam tasnya erat-erat.

Kereta terus melaju, dan perlahan lampu kembali normal. Laras mencoba menenangkan dirinya, namun matanya tak bisa lepas dari jendela. Dia takut wajah itu akan muncul lagi.

Saat kereta memasuki Stasiun Depok Baru, Laras akhirnya merasa sedikit lega. Dia segera berdiri dan berjalan keluar dari gerbong. Udara malam yang segar sedikit membantu menghilangkan ketegangannya.

Namun, saat dia melewati kaca besar di pintu keluar stasiun, dia berhenti sejenak. Kaca itu memantulkan bayangan dirinya, dan sesuatu yang lain.

Di belakangnya, wajah pria itu muncul lagi. Kali ini, dia tersenyum.Selesai.

Leave a Reply