Malam itu, Stasiun Cawang terlihat lebih lengang dari biasanya. Angin malam berembus lembut, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Lampu-lampu di sepanjang peron berkedip samar, seolah mencoba melawan kegelapan yang semakin pekat. Hanya beberapa orang terlihat duduk di bangku peron, menunggu kereta terakhir yang dijadwalkan tiba sebentar lagi.
Di sudut peron, seorang pria bernama Dimas berdiri sendirian. Jaket denimnya basah terkena gerimis, tapi dia tak peduli. Pikirannya melayang-layang, memikirkan hari kerja yang panjang dan berat di kantornya di bilangan Sudirman. Dia hanya ingin cepat sampai rumah, menutup mata, dan melupakan semua penat.
Namun, ada sesuatu yang aneh malam itu. Dari sudut matanya, Dimas menangkap sosok seorang penumpang di ujung peron, seorang pria yang berdiri diam sambil menatap rel. Wajahnya tertutup bayangan, karena lampu di atasnya tampak lebih redup dibandingkan dengan tempat lain. Dimas merasa tak nyaman, namun berusaha mengabaikan perasaan itu.
Tapi, seaneh apa pun, rasa ingin tahunya tak bisa ditahan. Dimas terus memandangi sosok pria itu dari jauh. Ada yang ganjil—entah apa, tapi dia merasa seperti pernah melihatnya di tempat ini. Beberapa kali pria itu tampak menggerakkan kepala, seolah memperhatikan sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
Suasana makin mencekam ketika Dimas menyadari satu hal: tidak ada orang lain yang memperhatikan pria itu. Para penumpang lain tetap asyik dengan ponsel atau melamun, seolah keberadaan pria itu tak berarti apa-apa.
“Kok kayaknya gue doang yang ngeliat dia?” gumam Dimas pelan, merasa bulu kuduknya meremang.
Tak lama, kereta yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Suara roda besi yang menggerus rel terdengar semakin mendekat, dan lampu kepala kereta mulai terlihat dari kejauhan. Semua penumpang bersiap-siap, termasuk Dimas, yang mulai berjalan mendekat ke arah gerbong terdekat.
Namun, sebelum Dimas benar-benar menaiki kereta, dia melihat sosok pria misterius itu kembali. Kali ini, pria itu tidak berdiri di ujung peron, melainkan di depan pintu gerbong yang sama dengan yang akan dinaiki Dimas. Wajah pria itu masih tertutup bayangan, tapi yang membuat Dimas merinding adalah… tatapan kosong pria itu.
Dimas berhenti sejenak. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia berusaha merasionalisasi semuanya. “Mungkin gue cuma capek… halusinasi,” pikirnya. Dengan sedikit ragu, dia melangkah ke dalam gerbong, memilih duduk di dekat pintu.
Gerbong itu tidak terlalu penuh, hanya ada beberapa orang yang duduk terpencar. Dimas mencoba menenangkan dirinya, menatap keluar jendela untuk mengusir pikiran aneh tadi. Namun, dari sudut matanya, ia melihat pria misterius itu masuk ke dalam gerbong yang sama. Sosok pria itu berjalan dengan langkah pelan, duduk di sudut gerbong, jauh dari penumpang lain. Lagi-lagi, tak ada satu pun yang memperhatikannya, hanya Dimas yang sepertinya merasa ganjil dengan kehadiran pria itu.
Kereta mulai bergerak perlahan, meninggalkan Stasiun Cawang menuju stasiun-stasiun berikutnya. Dimas mencoba untuk tetap tenang, meskipun ada rasa takut yang terus menghantui pikirannya.
Beberapa menit berlalu. Gerbong mulai lebih sepi saat penumpang turun satu per satu di stasiun-stasiun berikutnya. Dimas terus memandangi pria misterius itu dari jauh, bertanya-tanya dalam hati siapa sebenarnya dia. Sosok pria itu tak bergerak, hanya duduk diam dengan wajah tertunduk, seolah-olah menunggu sesuatu.
Kereta akhirnya berhenti di Stasiun Tebet, dan beberapa penumpang lagi turun. Gerbong kini hampir kosong. Dimas berharap pria itu juga akan turun, namun dia tetap di tempatnya, tak bergerak sedikit pun.
Ketika kereta kembali melaju, rasa tidak nyaman semakin memuncak. Dimas memutuskan untuk bertindak. Dia berdiri, berjalan mendekati pria itu dengan hati-hati. Dia harus tahu siapa sebenarnya orang ini dan mengapa dia tampak begitu aneh.
“Mas, maaf, mau turun di stasiun mana?” Dimas akhirnya memberanikan diri bertanya saat ia mendekati pria itu.
Pria itu tetap diam, tak menoleh sedikit pun.
Dimas merasa makin tak enak, tapi dia tak ingin menyerah. “Mas? Masih jauh, ya?”
Tak ada respon. Namun, tiba-tiba, saat Dimas hendak melangkah mundur, pria itu perlahan mengangkat kepalanya. Wajahnya mulai terlihat dalam cahaya redup gerbong—pucat, dengan mata kosong yang menatap lurus ke arah Dimas. Hawa dingin menyergap Dimas, membuat seluruh tubuhnya gemetar.
Dan saat itulah, pria itu berbicara.
“Bukan aku yang turun,” suaranya terdengar berat dan bergetar. “Kau yang akan turun.”
Dimas membeku, napasnya tercekat. Jantungnya berdegup kencang dan rasa takut menjalar ke seluruh tubuh.
Namun tiba-tiba, pintu gerbong terbuka lebar. Kereta berhenti di Stasiun Manggarai. Tanpa berpikir panjang, Dimas langsung berlari keluar dari gerbong. Udara dingin malam menyambutnya saat dia menginjak peron. Napasnya terengah-engah, tapi dia merasa lega bisa keluar dari kereta itu.
Sambil berjalan cepat menuju pintu keluar stasiun, Dimas memalingkan pandangannya ke arah kereta yang masih berhenti. Pria misterius itu masih ada di dalam gerbong, duduk di tempat yang sama. Wajahnya tetap pucat, tapi kini dia menatap Dimas dari balik jendela dengan senyuman tipis yang aneh.
Kereta mulai bergerak lagi, perlahan meninggalkan Stasiun Manggarai. Dimas terus menatap kereta itu sampai akhirnya menghilang di balik kegelapan malam.
Dalam hati, Dimas bersumpah, dia tidak akan pernah naik kereta malam dari Stasiun Cawang lagi.
Selesai.