Malam itu, hujan deras mengguyur Stasiun Bekasi Timur. Gerimis yang tadinya tipis berubah menjadi hujan deras, menutupi peron dengan air yang mengalir deras dari atap stasiun. Kereta yang ditunggu-tunggu sudah lewat sejak setengah jam lalu, namun Bagas masih berdiri di sana, menatap layar ponselnya dengan penuh frustasi.
“Ah, sinyalnya hilang lagi!” rutuknya, memukul-mukul layar ponsel yang tak kunjung menangkap sinyal.
Dia baru pulang dari kantor di Jakarta, dan sudah hampir dua jam berada di stasiun, menunggu hujan reda. Tapi selain hujan yang semakin lebat, ponselnya justru ikut bermasalah. Sinyal yang tadi stabil tiba-tiba menghilang begitu saja, padahal ini Bekasi Timur, bukannya pelosok hutan. Bagas mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, berharap sinyal muncul lagi, namun yang terlihat hanya ikon ‘x’ yang menandakan tak ada jaringan sama sekali.
Bagas mendesah panjang, lalu menurunkan ponselnya. Dia melirik jam di peron, sudah hampir pukul sembilan malam. Hanya ada beberapa penumpang yang masih menunggu di stasiun. Rasa lelah mulai menyerangnya, tapi dia tidak punya pilihan selain menunggu hujan reda. Angkutan umum sudah jarang lewat, dan memesan ojek online pun tak mungkin, mengingat sinyal ponselnya menghilang entah ke mana.
Ketika Bagas sedang sibuk dengan kegelisahannya, terdengar suara derit keras dari arah peron sebelah. Dia menoleh, melihat sebuah kereta yang seharusnya sudah tidak beroperasi berhenti di jalur 3. Itu bukan kereta biasa, tampaknya seperti kereta lama yang usang, dengan cat yang mengelupas dan kaca jendela yang kusam. “Kereta apa lagi ini?” pikirnya.
Penumpang lain tampak tak memedulikannya. Mereka tetap sibuk dengan urusan masing-masing, beberapa di antaranya bahkan sudah tertidur di bangku stasiun. Bagas merasa aneh. Bukankah jadwal kereta terakhir sudah lewat? Tapi kereta tua itu tiba-tiba muncul entah dari mana, berhenti begitu saja di jalur yang sepi.
Pintu kereta terbuka perlahan, mengeluarkan bunyi berderit yang menyeramkan. Dari dalam, seorang pria tua berpakaian rapi melangkah keluar, membawa sebuah koper kulit besar. Wajahnya pucat, dan matanya tampak kosong. Dia berjalan dengan langkah lambat, tanpa sedikit pun menoleh ke arah siapa pun, termasuk Bagas yang memandangnya dengan tatapan penuh tanya.
Setelah pria tua itu berlalu, Bagas melihat bahwa kereta tersebut masih terbuka, namun tak ada satu pun penumpang yang turun atau naik. Pintu-pintu kereta yang terbuka menganga seakan menantang siapa saja untuk masuk, namun kesunyian yang mencekam membuat Bagas enggan mendekat. Bagas menoleh ke sekelilingnya, berharap ada yang lain yang juga melihat keanehan itu, namun orang-orang tampak acuh tak acuh, seperti kereta tersebut tidak benar-benar ada.
“Jangan-jangan aku cuma ngelihat halu,” pikir Bagas sambil mengusap wajahnya yang sedikit basah oleh air hujan.
Namun rasa penasaran mulai merayap di benaknya. Dengan langkah hati-hati, dia mendekati kereta itu. Deru hujan dan gemuruh petir semakin mempertegas keheningan yang melingkupi peron Bekasi Timur. Ketika Bagas hampir sampai di depan pintu kereta, dia bisa merasakan hawa dingin yang berbeda. Tidak hanya dingin karena hujan, tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Pintu kereta yang terbuka mengeluarkan suara seret yang menyeramkan saat Bagas mendekat. Dengan ragu, dia melangkah masuk. Ruangan di dalam kereta terlihat usang, dengan bangku-bangku kayu yang penuh debu. Lampu di dalamnya redup, menyoroti sudut-sudut yang gelap dan penuh bayangan. Tidak ada seorang pun di dalam. Kosong.
Bagas melangkah lebih jauh, mencoba menenangkan dirinya meskipun rasa takut mulai menguasai pikirannya. “Apa ini?” gumamnya, sambil memperhatikan setiap detail kereta itu. Rasanya seperti kereta yang keluar dari masa lalu, tertinggal di zaman yang salah.
Saat dia berada di tengah gerbong, ponselnya tiba-tiba bergetar di saku celananya. Sinyal! Dengan cepat, dia mengeluarkan ponsel dan melihat layarnya. Namun, bukan ikon sinyal yang muncul, melainkan sebuah pesan masuk. Tanpa berpikir panjang, Bagas membukanya.
“Keluar dari kereta sekarang juga.”
Jantung Bagas berdetak kencang. Siapa yang mengirim pesan ini? Dan bagaimana caranya ponselnya bisa menangkap sinyal di dalam kereta aneh ini? Jari-jarinya mulai gemetar saat dia menutup pesan tersebut. Namun sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, pintu kereta yang tadi terbuka perlahan tertutup sendiri dengan suara keras.
“Brak!”
Bagas melompat kaget, tubuhnya langsung tegang. Dia berlari menuju pintu, berusaha membukanya, tapi pintu itu terkunci rapat. Dia mulai panik. Gerbong yang tadi kosong kini terasa semakin sempit, udara di dalamnya semakin dingin dan mencekik.
“Hei! Buka pintunya!” Bagas berteriak, berharap ada yang mendengarnya dari luar. Namun, tak ada jawaban.
Tiba-tiba, kereta mulai bergerak. Perlahan pada awalnya, kemudian semakin cepat. Bagas terhuyung ke belakang, hampir terjatuh saat gerbong berguncang. Dia melihat ke luar jendela, stasiun Bekasi Timur mulai menjauh. Namun, yang membuatnya semakin bingung, pemandangan di luar bukanlah Bekasi yang biasa ia kenal. Gelap, hanya pohon-pohon tua yang tinggi menjulang dan jalan setapak yang penuh lumpur.
Bagas kembali melihat ponselnya, mencoba mencari sinyal, namun layar ponselnya kini berubah. Di sana, hanya ada satu kata terpampang besar di layar: “TERLAMBAT.”
Napasnya semakin berat. Bagas merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia mencoba mencari cara lain untuk keluar, namun semua pintu terkunci, dan gerbong itu semakin terasa asing.
Kereta terus melaju dalam gelap, membawa Bagas entah ke mana.
süpürge tamir tavsiye Çok özenli bir servis hizmeti sundular. https://cl-system.jp/question/elektrikli-supurge-tamircisi/