Jalan kecil di kawasan Prumpung sudah mulai gelap ketika Reno selesai memarkir motornya di depan warung kecil di ujung rel kereta. Ia biasa mampir di sini untuk sekadar ngopi setelah pulang kerja. Jalan itu selalu ramai di siang hari, tapi di malam hari, keramaian hilang, digantikan oleh suara kereta yang sesekali melintas, dan hembusan angin dingin yang membawa bau khas pabrik tahu dari kejauhan.
Reno tidak pernah terlalu memikirkan bau itu—sudah biasa bagi mereka yang tinggal di sini. Tapi malam ini ada yang berbeda. Hawa di sekitarnya terasa lebih berat, ditambah asap putih dari pabrik tahu yang bergulung-gulung seperti kabut misterius, membuat pandangannya terasa samar.
Dari balik asap, Reno tiba-tiba melihat sesuatu. Sesuatu yang… bergerak. Siluet seorang wanita berdiri di pinggir rel, diam seperti menunggu sesuatu. Tubuhnya tidak terlalu jelas, terhalang oleh gumpalan asap yang semakin tebal. Reno mendadak terpaku.
“Bang Reno!” suara ibu warung membuyarkan lamunannya. Reno menggeleng, berusaha mengembalikan kesadarannya. “Mau ngopi apa teh, Bang?”
“Ngopi aja, Bu,” jawab Reno, tapi matanya masih sesekali melirik ke arah rel. Wanita itu sudah menghilang, tapi Reno masih bisa merasakan keberadaannya. Rasanya aneh, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik asap.
“Keliatannya capek banget, Bang. Hati-hati ya kalau balik. Malam-malam begini rel suka ada yang gangguin,” kata Ibu warung sambil menuangkan kopi hitam ke dalam cangkir kecil. Reno hanya tersenyum tipis. Ia sudah sering dengar cerita soal ‘penghuni’ di sekitar rel kereta, tapi baginya semua itu hanya takhayul. Sampai sekarang.
Setelah meneguk kopinya, Reno berusaha tidak memikirkan sosok tadi. Tapi perasaan tidak nyaman itu terus menggelayut di pikirannya, seperti asap yang tak mau hilang. Setelah membayar, ia pamit pada Ibu warung dan mulai melangkah menuju motornya. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti. Asap dari pabrik tahu semakin tebal, menutupi pandangannya, dan dalam pekatnya kabut putih itu, ia kembali melihatnya.
Siluet wanita yang tadi. Berdiri diam di dekat rel, menunduk seakan memperhatikan sesuatu di bawah kakinya.
Hening. Jalan di sekitarnya sunyi, seolah dunia menghilang bersama asap. Jantung Reno berdegup kencang, tapi ada dorongan yang membuatnya maju. Perlahan, ia mendekati sosok itu, dan semakin dekat, semakin jelas penampakan sosok tersebut. Rambut panjang menutupi sebagian wajahnya, pakaian lusuh, dan kaki telanjang yang menginjak kerikil rel.
Dan di antara denting sunyi, terdengar suara seret. Pelan, tapi jelas. Kaki wanita itu bergerak sedikit. Dan tiba-tiba, suara dari arah rel memecah kesunyian.
“Tiiiit… tiiiit…”
Kereta! Reno tersentak dan langsung menoleh ke arah suara klakson kereta yang semakin mendekat. Saat ia kembali melihat ke depan, wanita itu sudah tidak ada. Hanya ada rel yang kosong, serta asap pabrik yang terus mengepul tanpa henti.
Reno terdiam. Matanya memandang ke kiri dan kanan, mencari tanda-tanda keberadaan wanita itu, tapi nihil. Yang tersisa hanyalah bayangan samar, seolah kehadirannya tadi hanya ilusi.
Ia menghela napas panjang dan melangkah mundur ke arah motornya. Tapi kali ini, langkahnya terasa berat, seakan ada yang menahannya untuk pergi. Saat ia mencoba menyalakan motor, telinganya menangkap sesuatu—suara yang berbeda dari tadi. Bukan suara kereta, tapi suara pelan, seperti bisikan.
“Bang…”
Reno menoleh lagi. Hatinya tercekam. Di balik asap, wanita itu kembali muncul, kali ini lebih dekat, tepat di depan gerbang pabrik tahu yang terbuka sedikit. Matanya menatap kosong, namun ada sesuatu yang mengundang dalam tatapan itu. Panggilan untuk mendekat, untuk tidak berpaling.
Reno mendekat tanpa sadar, langkahnya terhenti di depan pintu pabrik. Bau menyengat dari proses produksi tahu membuatnya mual, tapi yang lebih menusuk adalah kehadiran wanita itu. Wajahnya masih tidak jelas, tertutup asap yang semakin pekat.
Dan kali ini, wanita itu berbicara.
“Kenapa lari, Bang? Semua orang selalu lari…”
Reno terdiam. Jantungnya berdegup keras, tapi ia tidak bisa bergerak. Di antara ketakutannya, ada sesuatu yang mengusik. Wanita itu bukan sekadar siluet atau hantu yang ingin menakut-nakuti. Ada beban dalam ucapannya, seolah ada luka lama yang belum sembuh.
Ia berusaha membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Sekali lagi, ia mendengar bisikan itu.
“Semua orang selalu lari dari masa lalu, Bang… padahal, kita semua terikat dengan apa yang kita tinggalkan.”
Seketika, Reno merasa darahnya membeku. Ada kebenaran dalam kalimat itu. Sesuatu yang membuatnya merenung, tapi juga menimbulkan rasa takut. Reno tersadar, wanita ini mungkin bukan hanya sekadar hantu, tapi sebuah bayangan yang mewakili kegelisahan masa lalunya sendiri. Masa lalu yang ia lari dari, yang selalu membayangi langkahnya.
Dengan susah payah, Reno akhirnya berhasil memaksa dirinya mundur. Ia menoleh sekali lagi ke arah wanita itu, tapi kali ini, sosoknya memudar perlahan bersama asap pabrik yang tertiup angin malam.
Tanpa banyak pikir, Reno menyalakan motornya dan segera pergi. Namun, di sepanjang jalan, suara itu terus terngiang di telinganya—suara wanita yang mengingatkannya bahwa tak peduli seberapa cepat ia melangkah, bayang-bayang masa lalu selalu menunggu di ujung jalan.
LinkedIn takipçi SEO hizmetleri, Google’da üst sıralarda yer almamıza yardımcı oldu. http://www.royalelektrik.com/beylikduzu-elektrikci/