Malam itu, sekitar jam 10 malam, Pak Juki memutuskan untuk kembali menyusuri pinggir kali. Meski hatinya dipenuhi rasa takut, ia merasa perlu memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Berbekal senter kecil, ia melangkah perlahan menyusuri tepi kali yang sepi. Suara gemericik air kali terdengar semakin nyaring di telinganya, ditambah suara aneh yang seperti bisikan.
Saat tiba di salah satu sudut gelap di tepi kali, langkahnya terhenti. Di depannya, tampak jelas bayangan besar melayang-layang di atas permukaan air. Kali ini, ia tidak salah lihat. Bayangan itu lebih nyata dari sebelumnya. Bentuknya kabur, tapi terlihat seperti seseorang yang berdiri dengan kaki terendam air.
Pak Juki mundur beberapa langkah, jantungnya berdegup kencang. Kakinya gemetar, tapi ia tak bisa berbalik. Matanya terpaku pada bayangan tersebut, berharap itu hanya ilusi mata. Tapi semakin lama ia memandang, semakin jelas bahwa makhluk itu bukanlah ilusi. Makhluk itu tampak melayang ke arahnya perlahan, membuat Pak Juki tersentak mundur.
Seketika, terdengar suara aneh. Suara ketawa, seperti yang ia dengar sore sebelumnya. Tapi kali ini, suaranya jauh lebih jelas dan lebih menyeramkan. Pak Juki tak sanggup lagi menahan diri. Ia berbalik dan berlari secepat mungkin, meninggalkan pinggir kali dan suara mengerikan itu.
Saat ia sampai di ujung gang, napasnya tersengal-sengal. Ia melihat Bu Rini berdiri di depan warungnya, menatap ke arah kali dengan wajah pucat. “Pak Juki! Bapak gak apa-apa?”
Pak Juki terdiam, mengatur napasnya. “Saya… saya lihat lagi, Bu. Kali ini lebih jelas.”
Bu Rini menelan ludah. “Saya denger ketawa juga tadi.”
Keduanya saling pandang, tak tahu harus berbuat apa. Namun, di antara kepanikan itu, tiba-tiba terdengar suara dari balik gang.
“Pak Juki! Bu Rini!” Teriakan itu datang dari seorang pemuda yang berlari menghampiri mereka. “Tadi ada orang jatuh dari jembatan bambu, ternyata cuma sarung yang ngelilit di besi tiang, ngira ada orang melayang!”