Bayangan di Pinggir Kali Cipinang

5
(1)

Suara berisik dari tukang bakso yang berteriak-teriak memecah suasana senja. Gang-gang kecil mulai dipenuhi anak-anak yang bersorak kegirangan. Namun, di sisi lain kota, tepat di pinggir Kali Cipinang, ada suasana yang berbeda. Angin sore membawa aroma lembap air kali yang bercampur dengan bau busuk entah dari mana asalnya. Sesekali, suara jangkrik terdengar nyaring, menambah kesan sepi dan misterius.

Pak Juki, seorang tukang becak yang sering mangkal di sekitar kali, tampak duduk termenung sambil menghisap rokok kreteknya. Wajahnya penuh dengan tanda kelelahan. Setiap hari, rutinitasnya selalu sama—mengantar orang dari pasar ke rumah-rumah sekitar. Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda di matanya. Ada kengerian tersirat, meski mulutnya tertutup rapat, seperti enggan menceritakan apa yang telah dilihatnya.

“Eh, Pak Juki. Kenapa ngelamun di sini?” tanya Bu Rini, pemilik warung kopi yang terletak tak jauh dari tempat Pak Juki duduk.

Pak Juki hanya mengangkat bahu. Ia menatap Bu Rini sebentar, lalu kembali menatap sungai yang mengalir pelan.

“Saya denger tadi ada yang ketawa di kali, Bu,” katanya dengan suara serak. “Padahal kali sepi. Gak ada orang.”

Bu Rini mendekat, alisnya terangkat heran. “Ketawa? Mungkin anak-anak lagi main di situ?”

Pak Juki menggeleng, ekspresi wajahnya berubah serius. “Enggak. Itu suara lain. Suara yang… aneh. Gak kayak suara orang. Gimana ya, Bu… kayak bukan dari dunia ini.”

Baca Juga:  Kage no Jitsuryokusha ni Naritakute #07

Seketika, suasana berubah sunyi. Bu Rini hanya menelan ludah. Ia memang sering mendengar cerita serupa dari para pelanggan yang datang ke warungnya. Banyak yang mengaku melihat bayangan aneh di sekitar kali, terutama saat malam mulai larut. Namun, mereka selalu menganggap itu hanya cerita untuk menakut-nakuti.


Malam itu, di rumah kecilnya yang terletak tak jauh dari kali, Pak Juki tak bisa tidur. Suara ketawa yang ia dengar tadi sore terus menghantui pikirannya. Ia mencoba mengingat kembali, kapan terakhir kali ia merasa setakut ini. Sudah lama sekali sejak kejadian aneh itu menimpa dirinya.

Beberapa tahun lalu, saat ia masih muda dan kali Cipinang belum seramai sekarang, ia pernah melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Malam itu, ia sedang melintas di pinggir kali untuk pulang ke rumah. Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat bayangan hitam besar bergerak pelan di tengah kali. Bayangan itu tidak berbentuk manusia, lebih seperti makhluk tak dikenal, melayang-layang tanpa arah.

Kali ini, kenangan itu muncul kembali, semakin mempertegas perasaannya bahwa kali tersebut menyimpan sesuatu yang tidak normal.

“Besok aku harus cari tahu,” pikirnya.


Keesokan harinya, suasana di kali Cipinang kembali seperti biasa. Anak-anak bermain di pinggir kali, sedangkan para ibu duduk mengobrol di depan rumah mereka. Namun, Pak Juki tetap merasa ada yang tidak beres. Ia duduk di bangku panjang di depan warung kopi Bu Rini, memperhatikan gerak-gerik di sekitar kali.

Baca Juga:  Kereta Terakhir dari Stasiun Ancol

Sore menjelang malam, angin semakin kencang bertiup. Pak Juki mengernyitkan dahi saat melihat sesuatu di kejauhan. Sebuah bayangan samar terlihat melayang-layang di atas kali. Jantungnya berdetak kencang. Sekilas, bayangan itu tampak seperti manusia, tapi tubuhnya terlalu besar dan bentuknya kabur.

“Eh, Bu Rini!” Pak Juki memanggil dengan panik. Bu Rini yang sedang melayani pelanggan segera menghampiri.

“Ada apa lagi, Pak?” tanya Bu Rini dengan nada cemas.

“Tuh, lihat di kali. Ada yang melayang-layang di sana!” Pak Juki menunjuk dengan jarinya yang gemetar.

Bu Rini memandang ke arah yang ditunjuk. Matanya menyipit, mencoba fokus pada bayangan yang samar-samar terlihat di kejauhan. Namun, setelah beberapa detik, ia tak melihat apa-apa.

“Pak Juki, bapak beneran gak sehat kali ya? Gak ada apa-apa tuh,” ujar Bu Rini sambil terkekeh.

Pak Juki menelan ludah, merasa ragu dengan penglihatannya sendiri. “Tapi saya beneran lihat tadi, Bu.”

Bu Rini hanya mengangguk sambil kembali ke warungnya, meninggalkan Pak Juki yang masih terpaku di tempat. Ia mulai meragukan kewarasannya sendiri. Tapi perasaan tidak enak itu tidak hilang. Semakin malam, ia semakin yakin bahwa sesuatu sedang mengawasi mereka semua dari dalam kegelapan.

Leave a Reply