Malam itu, langit hitam pekat menutupi desa kecil yang sudah lama tertidur dalam keheningan. Hanya suara jangkrik dan anjing yang sesekali menggonggong yang memecah sunyi. Warung kopi di sudut jalan masih menyala dengan lampu kuning temaram, menyisakan seorang pedagang tahu keliling yang baru saja mengakhiri dagangannya. Gerobaknya bergoyang perlahan di sepanjang gang sempit, rodanya berderit setiap kali menyentuh jalanan yang tak rata. Udara dingin menyelimutinya, dan meskipun malam sudah larut, Bayu, sang pedagang tahu, tetap mendorong gerobaknya dengan tekad bulat.
Di sekitar gang itu, selalu ada cerita tentang penunggu malam, makhluk tak kasatmata yang dipercaya warga setempat sering mengusili orang yang lewat. Namun, bagi Bayu, cerita itu tak lebih dari dongeng belaka, sekadar bumbu dalam obrolan warga ketika berkumpul di warung kopi. Ia sudah bertahun-tahun menjalani rute yang sama, dan tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya saja, malam itu terasa sedikit berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal.
Bayu mendorong gerobaknya lebih cepat, ingin segera sampai di rumah. Namun, entah mengapa, malam itu gerobaknya terasa lebih berat dari biasanya. Roda kayu yang sudah mulai usang seperti menolak untuk berputar dengan mulus. “Mungkin karena beban barang dagangan yang tersisa,” pikirnya. Tapi perasaan ganjil tetap tak bisa ia hilangkan.
Langkahnya melambat ketika ia tiba di tikungan yang biasanya ia lewati dengan cepat. Kali ini, ada bayangan aneh yang berdiri di ujung gang. Bayangan itu tak bergerak, hanya berdiri diam di tengah jalan, membuat Bayu mengerutkan dahi. Sekilas terlihat seperti seseorang yang tengah berdiri membelakanginya, namun malam yang gelap membuat sosok itu tampak tak jelas.
Bayu mencoba mengabaikannya. “Ah, pasti cuma bayangan pohon atau tiang listrik,” gumamnya dalam hati, sembari melanjutkan langkah. Namun, semakin ia mendekat, bayangan itu tampak semakin nyata, dan perlahan-lahan mulai bergerak. Jantung Bayu berdetak lebih cepat. “Siapa di sana?” tanyanya dengan nada cemas, namun tak ada jawaban.
Sosok itu tetap diam, seolah menunggu sesuatu. Bayu kini berdiri tepat di depan bayangan tersebut. Ketika ia mencoba memeriksa lebih dekat, sosok itu mendadak lenyap. Hilang begitu saja, seolah ditelan oleh kegelapan. Bayu tertegun, terdiam sejenak, dan mencoba mengatur napasnya yang mulai tersengal.
Tanpa banyak berpikir, ia kembali mendorong gerobaknya, kali ini dengan kecepatan lebih. Namun, saat ia hendak berbelok di tikungan berikutnya, roda gerobaknya tiba-tiba terkunci. Gerobak itu tak mau bergerak. Bayu memaksakan tenaganya, namun sia-sia. Roda seakan-akan tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia melangkah ke belakang untuk memeriksa, tapi tak ada apapun yang menghalangi.
Ketika ia kembali ke depan, pemandangan yang ia lihat membuat darahnya membeku. Sosok bayangan yang tadi sempat hilang, kini berdiri tepat di depan gerobaknya. Kali ini, lebih jelas. Seorang perempuan tua dengan wajah pucat, matanya tajam menatap Bayu. Pakaian lusuhnya menjuntai hingga menyentuh tanah, dan rambut panjangnya yang kotor menjuntai ke depan.
Bayu tersentak mundur, tubuhnya gemetar hebat. “Apa yang kau inginkan?” teriaknya, meski suaranya terdengar parau. Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya diam, tetap memandanginya dengan sorot mata kosong yang mengerikan. Bayu mundur beberapa langkah, tapi sosok itu mendekat. Setiap kali Bayu melangkah mundur, perempuan itu semakin mendekat, perlahan namun pasti.
Ketika jaraknya tinggal beberapa meter, perempuan itu mengangkat tangannya yang kurus dan menunjuk ke arah gerobak Bayu. “Gerobak… tahu…” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas terdengar di tengah kesunyian malam.
Bayu terdiam, tak mengerti maksudnya. “Apa maksudmu?” tanyanya, kini dengan nada yang lebih rendah, mencoba untuk tidak panik. Namun perempuan itu hanya mengulang kalimatnya. “Gerobak… tahu… pulangkan…”
Bayu tak tahu harus berbuat apa. Kepanikan membuat pikirannya buntu. Ia berusaha mendorong gerobaknya lagi, namun roda itu masih terkunci, seakan-akan menolak untuk bergerak. “Pulangkan…” suara itu kembali bergema di telinganya, kali ini lebih jelas.
Tiba-tiba, Bayu teringat sesuatu. Gerobak yang ia gunakan adalah peninggalan almarhum kakeknya, yang juga seorang pedagang tahu keliling. Setelah kakeknya meninggal, tak ada yang menggunakan gerobak itu hingga akhirnya Bayu memutuskan untuk melanjutkan usahanya. Namun, sejak ia mengambil gerobak itu, beberapa tetua di kampung sempat memperingatkan bahwa gerobak tersebut memiliki “penunggu.”
Bayu tak pernah mempedulikan cerita itu, menganggapnya hanya sebagai takhayul belaka. Namun malam ini, ia mulai merasakan bahwa mungkin ada sesuatu yang benar dari cerita-cerita itu. Dengan tangan gemetar, ia menunduk, mencoba mencari tanda-tanda di gerobaknya. Di bagian bawah, ada sebuah nama yang tertulis dengan pudar: “Mbah Suro.”
Bayu menelan ludah. “Apakah kau Mbah Suro?” tanyanya perlahan, berharap sosok itu memberikan jawaban. Perempuan itu mengangguk pelan, lalu melangkah mendekat. Bayu merasa napasnya semakin berat. “Aku… aku akan memulangkan gerobak ini,” ucapnya cepat, berharap itu adalah solusi untuk menghentikan gangguan ini.
Seketika, sosok perempuan itu berhenti, dan wajahnya perlahan-lahan memudar. Bayu memejamkan matanya, berharap ketika ia membukanya kembali, semuanya akan kembali normal. Dan benar saja, ketika ia membuka mata, sosok perempuan itu sudah lenyap. Roda gerobaknya yang tadinya terkunci, kini bisa digerakkan lagi.
Bayu menarik napas panjang dan mulai berjalan pelan, meski tubuhnya masih gemetar. Malam itu, tanpa banyak berpikir, ia memutuskan untuk mengembalikan gerobak itu ke rumah tua Mbah Suro di ujung desa, yang sudah lama tak ditinggali. Bayu tidak ingin tahu lebih jauh tentang gerobak itu, tapi satu hal yang ia yakini: ada beberapa hal yang sebaiknya tidak dilanjutkan begitu saja tanpa memahami sejarahnya. Malam itu, suara gerobak berderit mengiringi langkah Bayu yang terburu-buru menuju rumah tua tersebut, berharap bahwa dengan memulangkan gerobak itu, segala hal yang menghantuinya akan berhenti. Namun, di kejauhan, terdengar suara pelan—suara yang seakan-akan mengikuti setiap langkahnya—dan Bayu tahu, ia mungkin belum sepenuhnya bebas dari sosok penunggu malam yang selalu mengintai.