Malam itu, awan gelap menggantung di langit dan angin dingin meniup pelan, menciptakan bunyi desahan di antara pepohonan yang rimbun di sekitar tembok penjara tua. Penjara Cipinang sudah menjadi legenda di kampung itu—bukan hanya karena sejarah kelamnya, tapi juga karena banyaknya cerita tentang arwah-arwah gentayangan yang menghuni tempat itu. Cerita-cerita ini sudah lama beredar di kalangan warga, namun bagi beberapa orang, cerita itu hanyalah omong kosong. Namun, tidak bagi Iwan.
Iwan, bocah sepuluh tahun yang sering bermain di sekitar penjara, mendengar banyak kisah seram dari tetangganya. Meski tubuhnya kurus dan terlihat lemah, nyalinya besar. Dia sering mengendap-endap di malam hari hanya untuk membuktikan bahwa cerita-cerita hantu itu tak lebih dari bualan orang dewasa.
Namun, malam ini berbeda.
Iwan tidak bermain sendirian. Bersama temannya, Udin, mereka nekat memutuskan untuk menjelajah lebih dalam di area dekat tembok penjara. Mereka telah mendengar cerita dari seorang penjaga malam tentang bayangan misterius yang sering muncul di balik tembok penjara. Rasa penasaran yang tak tertahankan membuat mereka berdua tak bisa diam. Dengan membawa senter kecil yang sudah lemah baterainya, mereka berdua berjalan menuju tembok besar yang memisahkan mereka dari dunia para tahanan.
“Lo yakin gak apa-apa, Wan?” tanya Udin dengan nada ragu sambil melirik tembok tinggi di hadapan mereka.
Iwan hanya terkekeh. “Apaan sih, Din? Gak usah penakut gitu. Mana ada hantu! Gue mau liat aja ada apa di balik tembok itu.”
Udin menelan ludah, mencoba menenangkan rasa takut yang mulai merayap di punggungnya. “Tapi katanya ada yang sering ngeliat bayangan hitam gede di sana, loh.”
“Alah, itu cuma angin kali,” balas Iwan, terus melangkah mendekati tembok.
Mereka berjalan perlahan, merasakan tanah yang lembab di bawah kaki mereka. Pohon-pohon tinggi di sekitar tembok penjara seakan memperhatikan mereka dalam kegelapan. Iwan tak peduli. Ia lebih tertarik untuk melihat apa yang sebenarnya ada di balik tembok penjara tua itu.
Saat mereka semakin mendekat, senter Iwan mulai berkedip-kedip, pertanda bahwa baterainya hampir habis. Ia memukul senter itu dua kali, berusaha membuatnya tetap menyala. Namun, tak lama kemudian, cahaya itu mati total.
“Kacau!” gumam Iwan kesal.
“Kita balik aja, Wan. Serius deh, gue gak enak perasaan,” Udin mulai terlihat sangat gelisah.
Namun, Iwan tak peduli. Ia melangkah semakin dekat ke tembok, hingga akhirnya menemukan celah kecil di antara bebatuan yang sudah mulai retak. “Liat nih, Din. Ada lubang. Gue bisa ngintip ke dalam.”
Iwan mendekatkan wajahnya ke lubang kecil itu. Awalnya, dia hanya melihat kegelapan, tapi tak lama, matanya mulai menyesuaikan diri dengan suasana redup di sekitarnya. Di balik tembok itu, terlihat sesuatu yang aneh. Sebuah bayangan besar berdiri, tak jauh dari tempat dia mengintip. Bayangan itu diam, tak bergerak.
Iwan menelan ludah. Meski tadi ia yakin hantu tidak ada, kini perasaannya berubah. Bayangan itu terlalu nyata, terlalu… menyeramkan. Ia mundur beberapa langkah dan menoleh ke arah Udin.
“Din… gue ngeliat sesuatu.”
Udin yang sejak tadi sudah ketakutan kini semakin panik. “Apa yang lo liat? Apa itu… beneran hantu?”
Sebelum Iwan sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki dari dalam tembok. Suara itu pelan tapi jelas, seperti seseorang yang sedang berjalan mendekat.
Mereka berdua membeku, saling pandang dengan wajah pucat pasi. Suara langkah itu semakin dekat, semakin keras, dan tiba-tiba… berhenti.
Tiba-tiba, terdengar suara seretan dari balik tembok. Sesuatu, entah apa, bergerak di dalam sana. Nafas Iwan tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang seiring dengan suara seretan yang semakin mendekat.
“Lari, Wan!” Udin berteriak ketakutan, namun kakinya seperti tertancap di tanah.