Angin malam meliuk di antara rumah-rumah rapat yang memenuhi kawasan kumuh kota. Lampu-lampu jalan yang temaram menciptakan bayangan panjang di gang-gang sempit yang seakan tidak pernah tidur. Irfan berdiri di ujung gang itu, menatap ke dalam gelap yang menantinya di seberang. Setiap langkah terasa berat, seakan kaki yang ingin melangkah sudah tahu apa yang ada di depannya: bahaya, ketakutan, dan rahasia yang akan mencengkeramnya tanpa ampun.
Ia tidak punya pilihan lain. Setelah kejadian sore tadi, satu-satunya jalan keluar adalah berlari. Segala harapannya hancur dalam sekejap ketika orang-orang yang dikecewakannya datang menagih janji. Dan janji itu, sudah pasti, tak bisa ia penuhi. Langkahnya pelan namun pasti, mencari-cari jalan pintas menuju tempat yang lebih aman. Namun, di balik tembok dan sudut-sudut gelap, ia merasakan sesuatu yang mengintai.
Entah sejak kapan, tapi rasa itu hadir. Perasaan bahwa ia tidak sendirian. Setiap kali ia melirik ke belakang, ia melihat bayangannya sendiri, bergerak mengikuti. Namun, setiap kali matanya terarah kembali ke depan, ia merasakan bayangan itu semakin dekat, seolah mendekatinya dengan kecepatan yang tidak masuk akal.
Di tengah gang sempit itu, Irfan berhenti. Dadanya berdebar keras. Ada suara di belakangnya, samar, seperti langkah kaki yang berusaha ditutupi oleh malam. Ia mencoba mempercepat langkah, tapi bayangan itu terus menghantuinya. Tidak ada satu pun orang yang keluar dari rumah di sekitar, seakan dunia telah menyepakati untuk meninggalkan Irfan sendirian dalam ketakutannya.
Langkah kaki itu semakin keras. Tidak lagi samar.
“Tidak… ini hanya perasaanku,” gumam Irfan meyakinkan diri, namun keringat dingin di punggungnya tidak bisa dibohongi.
Di tengah-tengah kebingungannya, bayangan hitam melesat dari sudut jalan. Seketika, Irfan tersentak. Sesuatu baru saja melompat di depannya! Ia jatuh tersungkur, lututnya menghantam keras permukaan jalan. Napasnya terengah, matanya berputar mencari sosok itu, tapi tak ada apa-apa di sana. Cuma gelap yang semakin menelan dirinya.
“Bayangan… itu… bayangan tadi…,” bisiknya sendiri, mencoba menyusun kembali logikanya yang tercerai-berai.
Dengan lutut yang gemetar, ia bangkit dan mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Tanpa menoleh lagi, ia berlari secepat yang ia bisa. Kakinya menghantam jalanan berlumpur, langkahnya bergema di sepanjang gang sempit itu. Terdengar suara pintu terbuka sedikit di kejauhan, lalu tertutup kembali. Mungkin ada yang mengintip, tapi tak ada yang mau terlibat dengan masalah yang mungkin sedang ia bawa.
Semakin jauh ia berlari, semakin tajam rasa pengejaran itu. Suara langkah kakinya seakan dipantulkan oleh tembok-tembok yang berjejer di sampingnya, memantul kembali sebagai gema yang menakutkan.
Kemudian, di tengah pelariannya, ia melihat sebuah pintu kecil, separuh terbuka. Tanpa pikir panjang, Irfan menerobos masuk, menutup pintu di belakangnya dengan cepat. Ia terduduk, membenamkan wajah di antara lutut, berusaha mengatur napas yang tak beraturan. Tempat itu gelap, lembab, dan penuh dengan tumpukan barang yang berdebu. Sepertinya sebuah gudang yang sudah lama ditinggalkan.
Samar-samar, ia mendengar suara langkah kaki dari luar. Bayangan itu… ia tahu bayangan itu sedang mencarinya. Ia menahan napas, memaksakan diri untuk diam sejenak. Jantungnya berdetak keras, seolah bisa terdengar oleh siapapun yang ada di luar sana. Setiap detik terasa seperti sejam, menanti apakah bayangan itu akan menemukan pintu tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba, pintu gudang itu bergeser sedikit, seolah ada yang menyentuhnya dari luar. Irfan merapatkan diri ke sudut ruangan, berharap ia benar-benar tidak terlihat. Langkah kaki mendekat, perlahan namun pasti.
Suara gemerisik terdengar di belakang tumpukan barang. Ia membeku. Kegelapan ruangan itu terlalu pekat, namun ia bisa merasakan ada sesuatu di sana. Dengan mata terpejam, ia berdoa dalam hati, berharap kali ini ia bisa lolos.