Malam mulai merangkak masuk, langit gelap tanpa bintang, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan yang temaram. Dodi, sopir angkot biru muda nomor 44 jurusan Kalimalang–Karet, mengemudi santai, menikmati sepinya jalanan yang mulai ditinggalkan kendaraan lain. Angkotnya berderak pelan, menyusuri pinggiran jalan Kalimalang yang sepi.
Di perempatan sebelum jembatan besar, Dodi menginjak rem. Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari kaca belakang angkotnya. Seorang pria berdiri di sana, melambai meminta tumpangan. Dodi melirik jam di dashboard—hampir pukul 11 malam. Seharusnya ia sudah selesai beroperasi, tapi perasaan penasaran membuatnya menghentikan angkot.
Pria itu mengenakan jaket tebal dan celana panjang, wajahnya tidak terlalu jelas terlihat dalam kegelapan. Ia masuk tanpa banyak bicara, duduk di bangku paling belakang.
“Ke arah mana, Bang?” tanya Dodi sambil melihat ke kaca spion.
“Terus aja, Bang. Saya turun di Kp. Melayu,” jawab pria itu singkat, suaranya dalam dan agak parau.
Dodi mengangguk dan kembali menjalankan angkotnya. Angin malam yang dingin mulai menyusup lewat jendela-jendela terbuka. Suasana di dalam angkot terasa hening, hanya suara mesin yang memecah keheningan. Dodi merasa ada sesuatu yang aneh dengan penumpang ini, tapi ia tidak mau terlalu memikirkannya.
Ketika angkotnya mulai melewati tikungan tajam menuju daerah yang lebih gelap, perasaan tidak enak semakin menguat. Setiap kali ia melirik kaca spion, pria itu tampak duduk diam, tanpa bergerak sedikit pun. Matanya tetap terarah lurus ke depan, tanpa menatap keluar jendela seperti penumpang pada umumnya.
Saat mendekati pasar malam yang masih ramai, angkot berhenti karena lampu merah. Beberapa orang menunggu di pinggir jalan, dan salah satunya melambaikan tangan untuk naik. Seorang wanita muda dengan wajah lesu masuk ke dalam angkot, duduk di dekat pintu. Ia menghela napas panjang, menandakan kelelahan setelah seharian bekerja di pasar.
Tanpa banyak bicara, Dodi kembali menjalankan angkotnya. Jalanan mulai kembali lengang, hanya sesekali mobil lewat. Wanita itu memandang keluar, sementara penumpang misterius di bangku belakang tetap diam. Namun, yang membuat Dodi merasa tidak nyaman adalah perubahan suasana di dalam angkot. Meski dua penumpang berada di dalam, suasana terasa sepi dan mencekam.
Dodi tidak bisa menghilangkan perasaan aneh itu. Matanya kembali melirik kaca spion, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan perasaannya. Namun, yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat, pria misterius itu tidak lagi terlihat di kaca spion.
Dodi langsung mengerem angkotnya. Ia menoleh ke bangku belakang, namun tak ada siapa-siapa. Bangku itu kosong, seolah tak pernah ada yang duduk di sana.
“Wah, kemana perginya orang tadi?” gumamnya panik.
Wanita muda yang duduk di depan ikut menoleh ke belakang, bingung melihat reaksi Dodi. “Kenapa, Bang? Ada apa?”
Dodi menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Nggak, nggak apa-apa. Tadi ada penumpang di belakang… tapi sekarang hilang.”
Wanita itu terdiam sesaat, matanya mengarah ke bangku belakang yang kosong. “Bang, dari tadi saya naik… nggak ada siapa-siapa selain kita berdua.”
Ucapan itu membuat Dodi merinding. Ia yakin pria itu tadi ada di bangku belakang. Tapi, sekarang semuanya tampak tidak masuk akal. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
Setelah peristiwa itu, Dodi berusaha tetap tenang dan melanjutkan perjalanan. Namun, sepanjang jalan, pikirannya terus berputar, mencoba mencari penjelasan logis. Ia memandang wanita yang duduk di depannya melalui kaca spion, tapi entah kenapa perasaannya semakin aneh. Wanita itu, sejak naik, tidak pernah menatapnya langsung.
Akhirnya, mereka tiba di terminal Kp. Melayu. Wanita itu turun tanpa bicara, meninggalkan Dodi yang masih terdiam di kursi kemudi. Namun sebelum Dodi sempat berpikir lebih jauh, wanita itu menoleh ke arahnya dan mengucapkan sesuatu yang membuat darahnya membeku.
“Bang, hati-hati kalau lewat daerah Cipinang tengah malam. Sudah sering ada yang bilang angkot 44 suka ada penumpang yang nggak pernah sampai tujuan.”
Dodi hanya bisa tertegun, sementara wanita itu menghilang di balik kerumunan orang. Tiba-tiba, ingatan akan pria misterius di bangku belakang kembali menghantam pikirannya. Malam semakin larut, dan suasana terminal semakin sunyi.
Tanpa berpikir panjang, Dodi memutuskan untuk segera pulang. Ia menjalankan angkotnya dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya, ingin cepat sampai rumah. Namun saat memasuki jalur balik ke Kalimalang, suara ketukan terdengar lagi dari kaca belakang.
Kali ini, Dodi tidak berani menoleh. Jantungnya berdetak kencang, dan tangannya gemetar memegang kemudi. Suara ketukan itu semakin keras, seolah ada seseorang yang mendesak ingin masuk. Tapi Dodi tetap fokus pada jalanan di depannya, tidak berani melihat ke kaca spion.
Ketika akhirnya ia sampai di rumahnya, Dodi memarkir angkot dengan cepat dan keluar tanpa menengok ke belakang. Ia berlari ke dalam rumah, menutup pintu dengan keras dan mengunci semua jendela.
Esok paginya, Dodi menceritakan pengalaman malam itu kepada teman-temannya sesama sopir angkot. Sebagian besar dari mereka hanya tertawa, menganggap Dodi terlalu lelah dan mulai berhalusinasi. Namun, ada seorang sopir tua yang mendengarkan dengan serius, lalu berkata dengan nada pelan.
“Kalau yang Bang Dodi ceritain itu benar, berarti kita semua harus lebih hati-hati. Beberapa tahun lalu, ada kecelakaan di jalur Cipinang Muara. Satu angkot nomor 44 terperosok ke kali, dan sopirnya nggak pernah ditemukan.”
Dodi hanya bisa terdiam mendengar cerita itu. Seketika, ia teringat wajah pria misterius yang tadi malam naik di bangku belakang. Pria yang kini ia sadari, mungkin tidak pernah benar-benar ada… atau justru sudah terlalu lama ada di sana.
Meski demikian, satu hal yang membuatnya tertawa kecil di akhir cerita, saat ia membuka dompet semalam dan melihat uang yang ditinggalkan pria misterius itu. Sebuah uang kertas lusuh, dengan tulisan “mainan anak-anak.”