Malam sudah larut, namun Khodam masih sibuk di depan laptopnya, menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Mata sudah mulai terasa berat, tetapi ia terus memaksa diri untuk menyelesaikan satu tugas lagi. Di sisi lain, Khodim sudah tertidur lelap di kamarnya, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk kerja Khodam.
Tepat pukul dua dini hari, Khodam akhirnya menyerah pada kantuk. Matanya tertutup, tubuhnya perlahan jatuh ke sandaran kursi, dan laptopnya masih menyala dengan layar yang dipenuhi angka-angka dan grafik. Tak lama kemudian, terdengar suara dengkuran keras yang menyerupai helikopter. “Hrrr… Hrrr… Rrrrrr…”
Abah, yang tidur di kamar sebelah, terbangun oleh suara itu. Ia mengernyitkan dahi, mengira ada helikopter yang mendarat di halaman rumah. Setelah memastikan bahwa suara itu berasal dari dalam rumah, Abah pun bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju sumber suara. Ia menemukan Khodam tertidur di depan laptopnya, dengan mulut terbuka lebar dan suara ngorok yang semakin menjadi-jadi.
“Woi, Khodam!” panggil Abah sambil menepuk pundak Khodam, membuatnya terbangun dengan kaget. Khodam mengucek-ngucek matanya dan menatap Abah yang berdiri dengan wajah setengah jengkel. “Kau tahu, ngorokmu itu seperti helikopter! ‘Hrrr… hrrr… rrrr!’ bikin Abah ga bisa tidur!”
Khodam yang masih setengah sadar mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud Abah. “Ngorok kayak helikopter?” gumamnya sambil menahan tawa.
“Iya! Dengar nih: ‘Hrrr… hrrr… rrrr!’ persis kayak suara baling-baling yang muter-muter,” jelas Abah sambil menirukan suara dengkuran Khodam dengan gaya onomatopeia khasnya. “Kalau kau terus begitu, Abah bisa-bisa ikut terbang.”
Mendengar kegaduhan itu, Khodim yang sedang tidur pun terbangun. Ia berjalan keluar kamar dengan mata setengah terpejam dan melihat Abah dan Khodam di ruang tengah. Tanpa banyak kata, Khodim menatap Khodam lalu berkata singkat, “Khodam Apache.”
Khodam bingung. “Apache? Apa itu?”
Khodim menjawab singkat, “Helikopter dari luar negeri.”
Alih-alih merasa malu karena dengkuran kerasnya, Khodam justru tersenyum lebar. “Wah, keren juga! Kalau begitu, aku bangga jadi Khodam Apache.”
Abah hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil. “Ngoroknya saja sudah kayak helikopter, jangan-jangan sebentar lagi kau benar-benar mau terbang, ya, Khodam?”
Semua tertawa bersama, dan suasana rumah yang tadinya sunyi kini penuh dengan kehangatan. Khodam, yang tadi kelelahan, kini merasa segar kembali, meskipun harus mendengarkan ceramah Abah yang penuh dengan suara onomatopeia.
Khodim, dengan sifatnya yang sederhana, kembali ke kamarnya dan tidur lagi, meninggalkan Khodam yang tersenyum bangga dengan gelar barunya: Khodam Apache, si helikopter malam.