Malam tahun baru selalu jadi ajang perayaan bagi warga Cilebut. Lapangan Tugu Lonceng, yang biasanya sepi hanya dihiasi gerimis dedaunan pohon trembesi, malam itu ramai dengan sorak dan tawa. Lampu-lampu warna-warni dipasang asal-asalan di sepanjang jalan setapak menuju tugu. Aroma jagung bakar, sate, dan bakso bercampur, membentuk kabut asap tipis yang melingkupi keramaian.
Di antara penjual lainnya, ada satu gerobak jagung bakar yang menarik perhatian. Letaknya di sudut lapangan, tepat di bawah pohon trembesi terbesar, yang tampak lebih gelap dibandingkan sudut lain karena lampu tak sampai ke sana. Penjualnya seorang pria tua berkulit keriput, mengenakan topi lusuh dengan kemeja kusam. Dia tak berteriak menawarkan dagangan seperti pedagang lain. Dia hanya berdiri diam, memandangi bara api yang menyala redup di panggangan.
“Aneh banget, itu dagang kok gak nawarin barangnya?” bisik Dina pada Rudi, temannya yang berdiri di sampingnya.
“Mungkin capek. Lagian, jagung bakar tuh banyak banget yang jual. Siapa juga yang bakal mampir ke situ?” Rudi menjawab sambil tertawa kecil.
Tapi, seolah membantah ucapan Rudi, seorang pria muda menghampiri gerobak itu. Dia mengenakan jaket kulit hitam, dengan ekspresi wajah penasaran. Dina dan Rudi memperhatikan dari kejauhan. Sang penjual menyambut pria itu tanpa bicara, hanya mengangguk kecil dan mulai memanggang jagung dengan gerakan lambat. Bara api di panggangan tampak berkedip-kedip, seperti api lilin yang hendak padam.
Beberapa menit kemudian, pria muda itu menerima jagung bakar dan menyerahkan uang tanpa sepatah kata pun. Tapi ada yang aneh. Saat pria itu berbalik untuk pergi, Dina dan Rudi melihat sesuatu yang membuat bulu kuduk mereka meremang—bayangan pria itu di tanah tidak bergerak. Bayangan itu tetap diam, meskipun pria itu berjalan menjauh.
“Mungkin cuma salah lihat,” bisik Dina, berusaha menenangkan diri.
Namun rasa penasaran lebih kuat dari ketakutan. Dina menarik tangan Rudi, mengajaknya mendekati gerobak itu. “Sekali aja, kita lihat apa yang sebenarnya terjadi.”
Rudi ragu. “Kalau ada apa-apa gimana?”
“Tuh orang cuma pedagang jagung, Rud. Nggak mungkin serem-serem banget,” jawab Dina sambil terus menariknya.
Sampai di depan gerobak, pria tua itu menyambut mereka dengan senyuman kecil yang nyaris tak terlihat. Mata keriputnya menatap mereka, seperti menembus ke dalam kepala mereka. “Mau jagung bakar?”
Suara pria itu serak, namun halus, seperti desiran angin di sela-sela dedaunan. Dina mengangguk, meski tangannya sedikit gemetar. “Satu aja, Pak.”
Penjual itu mengambil satu tongkol jagung dari keranjang, lalu meletakkannya di atas bara. Saat tongkol itu berputar, aroma manis yang menyengat mulai tercium. Anehnya, bara api yang sebelumnya redup tiba-tiba menyala terang, menciptakan bayangan panjang di sekeliling mereka. Rudi menelan ludah, mencoba tidak menunjukkan rasa takut.
“Tahun baru ini spesial,” gumam penjual itu, tanpa diminta. “Jagung bakar ini bisa kasih kalian apa yang kalian cari.”
Dina dan Rudi saling pandang. Kata-kata pria itu terdengar seperti teka-teki. Dina mencoba menanggapi dengan nada bercanda, “Apa yang kami cari? Diskon lima puluh persen?”
Pria tua itu tertawa kecil, namun tawa itu lebih mirip gumaman yang bergema. “Bukan. Sesuatu yang jauh lebih dalam dari itu.”
Selesai memanggang, pria itu menyerahkan jagung bakar pada Dina. Dina merogoh dompet untuk membayar, tapi pria itu melambaikan tangan. “Gratis. Anggap saja hadiah malam tahun baru.”
“Gratis?” Rudi mendekat, alisnya mengernyit. “Tapi kok kayaknya… ada syaratnya, ya?”
Pria tua itu tak menjawab. Dia hanya tersenyum, lalu menyalakan panggangan lagi. Dina dan Rudi akhirnya pergi, membawa jagung itu. Mereka berjalan menuju kerumunan, mencoba melupakan kejadian aneh tadi.
Namun, saat Dina menggigit jagung itu, rasa manis yang menyengat membuat lidahnya kaku. Dia memandang Rudi dengan tatapan panik. “Rud, ini aneh banget. Rasanya… kayak ada yang salah.”
Rudi mengambil jagung itu dan mencobanya. Dalam hitungan detik, tubuhnya mendadak menggigil. “Ya ampun, Dina… ini bukan rasa jagung biasa. Ini… ini rasa… jagung bakar ajaib!”
Mereka berdua terdiam, lalu tertawa lepas. Entah kenapa, semua ketegangan tadi hilang begitu saja. Dina teringat satu kutipan yang pernah dia baca: “Kadang-kadang, apa yang kita takutkan hanyalah bayangan dari imajinasi kita sendiri.”
Saat mereka kembali menoleh ke arah gerobak, penjual itu sudah tak ada. Lapangan itu hanya dipenuhi suara tawa dan kembang api. Tidak ada bekas gerobak, tidak ada aroma jagung bakar.
“Mungkin dia cuma pedagang yang tahu cara bikin suasana jadi seru,” kata Rudi akhirnya. Dina mengangguk setuju. Malam itu, mereka menghabiskan jagung bakar dengan tawa, mengakhiri ketakutan yang ternyata hanya kelucuan yang mereka buat sendiri.