Sepatu Hantu di Rel Citayam

0
(0)
Sepatu Hantu di Rel Citayam

Malam itu, hujan gerimis turun tipis-tipis di sekitar Stasiun Citayam. Udara dingin menyelimutinya, dan hanya ada beberapa orang yang duduk di peron menunggu kereta terakhir. Stasiun kecil itu dikenal dengan suasananya yang tenang, tetapi malam ini ada yang terasa berbeda.

Sinta, seorang mahasiswi yang baru pulang dari kampus, duduk sendirian di bangku panjang peron. Earphone terpasang di telinganya, memutar lagu untuk mengusir rasa lelah. Sesekali, dia melirik ke layar ponselnya, memastikan waktu. Kereta yang dia tunggu sudah terlambat lima belas menit.

Di sebelahnya, ada seorang pria muda mengenakan jaket hitam, membawa tas ransel besar. Pria itu tampak gelisah, menatap ke arah rel sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

“Kereta malam suka begini, ya?” tanya pria itu tiba-tiba, mencoba memecah kesunyian.

Sinta melepas satu earphone dan tersenyum tipis. “Iya, sering telat. Apalagi kalau sudah lewat jam sembilan.”

Pria itu mengangguk, lalu kembali memandang ke arah rel.

Tak lama kemudian, sesuatu menarik perhatian Sinta. Di tengah rel yang basah oleh hujan, dia melihat sepasang sepatu kets putih tergeletak.

Anehnya, sepatu itu terlihat sangat bersih, seperti baru saja dibeli. Padahal, rel itu pasti kotor karena sering dilalui kereta.

“Lihat itu,” kata Sinta sambil menunjuk ke arah sepatu.

Pria di sebelahnya menoleh, mengikuti arah jarinya. Dia memiringkan kepala, tampak bingung.

Baca Juga:  Penjaga Pintu yang Menghilang di Gambir

“Sepatu di tengah rel? Kok bisa?” tanyanya.

Mereka berdua terdiam, memandangi sepatu itu. Ada sesuatu yang aneh, tetapi sulit dijelaskan. Sepatu itu seolah memancarkan aura yang tidak biasa.

“Tunggu di sini,” kata pria itu tiba-tiba. Dia berdiri dan berjalan ke arah rel.

“Eh, mau ngapain?” tanya Sinta, sedikit panik.

“Mau lihat. Mungkin ada yang lupa naruh,” jawab pria itu tanpa menoleh.

Pria itu turun ke rel, melangkah mendekati sepatu. Saat dia hampir mencapainya, tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat dedaunan beterbangan di sekitar stasiun.

Sinta merasakan bulu kuduknya berdiri. Hujan gerimis berubah menjadi tetes-tetes yang lebih deras.

“Cepetan, balik lagi!” teriak Sinta, merasa ada yang tidak beres.

Pria itu memungut sepatu, memegangnya di tangan. Tapi anehnya, sepatu itu terasa dingin, seperti baru saja dikeluarkan dari freezer.

“Ini… berat banget,” katanya sambil mengerutkan kening.

Belum sempat dia berkata lebih banyak, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah kejauhan. Suara kereta.

Pria itu panik, mencoba melepaskan sepatu itu, tetapi tangannya seperti menempel. Sepatu itu tidak mau dilepaskan!

“Lepasin! Lepasin!” teriaknya sambil berusaha sekuat tenaga.

Kereta semakin mendekat, lampu depannya mulai terlihat di ujung rel. Sinta berdiri di peron, berteriak sekuat tenaga, “Cepat naik! Kereta datang!”

Dengan sekali hentakan, pria itu akhirnya berhasil melepaskan sepatu tersebut dan berlari naik ke peron. Dia terjatuh di dekat bangku, napasnya memburu.

Baca Juga:  Langit Merah, Pertanda Malapetaka

Kereta melintas dengan kecepatan penuh, dan saat itu juga, sepatu yang tadi ada di rel lenyap begitu saja. Tidak ada jejaknya, seperti menguap ke udara.

Mereka berdua terdiam, hanya suara hujan dan gemuruh kereta yang terdengar.

“Barusan itu apa?” tanya Sinta dengan suara gemetar.

Pria itu tidak menjawab. Wajahnya pucat, matanya terus menatap ke arah rel yang kosong.

Beberapa saat kemudian, seorang petugas stasiun yang sudah tua mendekati mereka. Wajahnya serius, seperti sudah tahu apa yang terjadi.

“Kalian ngeliat sepatu putih di rel, ya?” tanya petugas itu.

Mereka berdua mengangguk pelan.

Petugas itu menarik napas panjang, lalu duduk di bangku. “Itu sepatu bukan sembarang sepatu. Ada cerita lama tentang orang yang kehilangan nyawa di sini. Katanya, dia seorang pelari yang tertabrak kereta waktu mau ngejar jadwal. Sejak itu, sepatunya kadang muncul di rel, nyari orang buat nemenin.”

Sinta menatap pria di sebelahnya, lalu kembali ke petugas itu. “Maksudnya, nemenin gimana?”

Petugas itu tidak menjawab. Dia hanya berdiri, menepuk bahu mereka, lalu berjalan pergi sambil berkata, “Lain kali, kalau lihat sepatu itu lagi, jangan pernah disentuh.”

Malam itu, Sinta dan pria itu hanya duduk diam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.Selesai.

Leave a Reply