Cipinang: Suara dari Gudang Tua

0
(0)
Suara dari Gudang Tua

Hujan deras mengguyur kawasan Cipinang malam itu, membuat suasana di Stasiun Cipinang semakin sepi. Stasiun kecil yang dikelilingi oleh deretan gudang tua itu hanya diterangi beberapa lampu kuning yang temaram. Sisa genangan air di lantai peron memantulkan cahaya lampu, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak setiap kali angin bertiup.

Tomi, seorang porter yang baru sebulan bekerja di stasiun itu, sedang duduk di bangku panjang sambil menunggu jadwal kereta barang terakhir lewat. Jam menunjukkan pukul 11 malam, dan stasiun sudah hampir kosong. Hanya ada dua penumpang di ujung peron, tampak asyik bermain ponsel sambil menunggu kereta malam.

Di sisi lain rel, berdiri deretan gudang tua yang sudah lama tidak digunakan. Bangunan itu terlihat menyeramkan, dengan dinding yang mengelupas dan jendela-jendela yang pecah. Gudang-gudang itu menjadi bahan cerita horor bagi banyak pegawai stasiun.

“Kamu pernah dengar soal suara dari gudang itu?” tanya Pak Herman, petugas senior yang duduk di sebelah Tomi.

Tomi menggeleng, penasaran. “Suara apa, Pak?”

Pak Herman tersenyum tipis, wajahnya tampak serius. “Kadang, kalau malam-malam begini, ada suara orang memanggil dari sana. Kayak minta tolong. Tapi waktu dicek, nggak ada siapa-siapa.”

Tomi tertawa kecil, meski jantungnya berdebar. “Ah, Bapak bercanda, kan?”

Pak Herman tidak menjawab, hanya menepuk bahu Tomi sebelum beranjak pergi ke ruang kontrol.

Baca Juga:  One Outs #02

Malam semakin larut, dan Tomi tetap di bangku panjang itu, mencoba mengusir kantuk dengan memainkan kunci inggris yang selalu dia bawa. Sesekali, dia melirik ke arah gudang tua di seberang rel. Meski mencoba cuek, ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya.

Tiba-tiba, Tomi mendengar sesuatu.

“Tok… tok… tok…”

Suara ketukan pelan terdengar dari arah gudang tua. Dia mendongak, menajamkan telinga. Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seperti ada yang mengetuk pintu kayu.

Dia mencoba berpikir logis. Mungkin itu suara kayu lapuk yang bergerak terkena angin. Tapi saat ketukan itu disusul oleh suara lain—suara seperti seseorang memanggil—Tomi merasakan bulu kuduknya berdiri.

“Tolong… Tolong saya…”

Suara itu terdengar lirih, tapi jelas. Datangnya dari arah gudang paling ujung.

Tomi mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa berat. Dia menoleh ke sekitar, berharap ada orang lain yang juga mendengar. Tapi dua penumpang di peron terlihat sibuk dengan ponsel mereka, seolah tidak mendengar apa-apa.

“Tolong…”

Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih memelas. Entah karena rasa penasaran atau dorongan keberanian yang mendadak, Tomi mengambil senter dari tasnya dan melangkah menuju rel.

“Tomi, mau ke mana?” seru Pak Herman dari kejauhan.

“Sebentar, Pak. Kayaknya ada orang minta tolong di gudang!” balas Tomi tanpa menoleh.

Pak Herman hanya menggeleng, tidak berusaha menghentikan.

Tomi melintasi rel, lampu senternya menyorot genangan air di jalan setapak menuju gudang. Udara terasa semakin dingin, dan bau lembap khas bangunan tua semakin menyengat. Dia berhenti di depan pintu gudang yang tertutup rapat.

Baca Juga:  Genjitsu Shugi Yuusha no Oukoku Saikenki #13

“Permisi… Ada orang di dalam?” panggil Tomi sambil mengetuk pintu perlahan.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti malam itu.

Tomi meraih gagang pintu dan mendorongnya. Pintu itu berderit keras, seperti enggan untuk dibuka. Di dalamnya, gelap pekat menyambutnya. Dia mengarahkan senter ke segala arah, mencoba mencari sumber suara tadi.

Ruangan itu kosong. Hanya ada beberapa peti kayu tua dan karung-karung berdebu yang berserakan di lantai.

Namun, saat dia melangkah masuk, pintu di belakangnya tiba-tiba menutup sendiri dengan keras.

“Brakkk!”

Tomi tersentak, berbalik, dan mencoba membuka pintu lagi. Tapi pintu itu tidak bergerak, seperti terkunci dari luar.

“Siapa di sana?! Buka pintunya!” teriak Tomi panik.

Suasana menjadi semakin mencekam. Dari balik peti-peti kayu, terdengar suara langkah kaki. Perlahan, langkah itu semakin mendekat.

“Tok… tok… tok…”

Tomi menyorotkan senternya ke arah suara, tapi dia tidak melihat apa-apa. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, dan napasnya semakin memburu.

“Tolong… saya…”

Suara itu terdengar lagi, kali ini sangat dekat, seperti berbisik di telinganya. Tomi memutar tubuhnya dengan cepat, tapi tidak ada siapa-siapa.

Lalu, di sudut ruangan, dia melihat sesuatu. Bayangan seseorang berdiri di dekat jendela yang pecah. Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri diam.

“Siapa kamu?!” teriak Tomi.

Bayangan itu perlahan-lahan berbalik, memperlihatkan sosok seorang pria dengan wajah yang pucat dan mata yang kosong.

Baca Juga:  Bayangan di Rel Buaran

Tomi tidak menunggu lama. Dia melempar senter ke arah bayangan itu dan berlari ke pintu, mencoba membukanya dengan sekuat tenaga. Pintu akhirnya terbuka, dan dia terjatuh ke luar, terengah-engah.

Pak Herman sudah berdiri di luar, menatapnya dengan ekspresi datar.

“Apa yang kamu cari di sana, Tom?” tanya Pak Herman sambil menepuk bahunya.

Tomi tidak bisa menjawab. Dia hanya menoleh ke arah gudang, dan melihat pintu itu perlahan tertutup sendiri, seperti tidak pernah dibuka sebelumnya.

“Kamu lihat tadi, Pak? Ada orang di dalam!” seru Tomi sambil menunjuk ke arah gudang.

Pak Herman hanya tersenyum kecil. “Tomi, gudang itu sudah kosong sejak lima tahun lalu. Kalau kamu dengar suara, biarkan saja. Mereka memang suka main-main di sana.”

Tomi menatap Pak Herman dengan bingung. Kata-kata itu membuatnya semakin merinding.

Malam itu, Tomi bersumpah tidak akan pernah mendekati gudang tua lagi.Selesai.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply