Mahasiswa Sastra sebagai Agen Simbolisasi Peristiwa dan Penentu Zaman

5
(4)

Pada dasarnya, pendidikan sastra melampaui sekadar kajian estetis atas teks; sastra adalah medium yang mengemban beban sejarah, kultur, dan ideologi, sebuah kanal yang penuh kemungkinan bagi mahasiswa untuk menjadi agen simbolisasi peristiwa dan penentu zaman. Di sinilah para mahasiswa sastra UNPI menemukan momentum mereka: sebagai individu yang berpotensi menjadi pelopor budaya di masa mendatang, mereka tak sekadar membaca atau menulis, tetapi juga diberi kesempatan untuk berpikir melampaui batas-batas konseptual, bahkan melewati dinding-dinding fisik ruang kelas. Acara “Proses Imajinasi Penulis dan Sastra Cyber” yang baru-baru ini digelar menyoroti hal ini dengan menawarkan dua komponen vital—imajinasi penulis dan teknologi cyber—sebagai alat bagi mahasiswa untuk menjadi entitas simbolik yang merepresentasikan peristiwa zaman mereka.

Agen Simbolisasi Peristiwa

Imajinasi adalah ranah di mana mahasiswa sastra dapat mengemban peran sebagai “agen simbolisasi.” Imajinasi bukan sekadar aktivitas mental dalam melahirkan ide, tetapi fondasi bagi persepsi mereka atas dunia. Dalam sharing session tersebut, saya mengamati bagaimana keberanian dan semangat imajinatif para mahasiswa UNPI menjadi titik awal dari potensi simbolik ini. Mereka bukan hanya mengekspresikan perasaan atau ide, tetapi juga menciptakan simbol, narasi, dan figur yang merepresentasikan problematika dan aspirasi kolektif. Melalui imajinasi, mereka dapat menyampaikan berbagai realitas kompleks dalam bentuk yang lebih mudah diterima, bahkan membawa kritik yang mendalam. Imajinasi menjadi alat transformatif yang bisa mengubah cara pandang masyarakat, memberikan interpretasi baru atas peristiwa sosial, sekaligus menjembatani pemahaman lintas generasi.

Baca Juga:  Fakta mengerikan tentang kehidupan masyarakat eropa di abad pertengahan yang tidak banyak diketahui?

Peran Dekan dalam Membangun Semangat Mahasiswa

Dalam acara ini, Frisyi F Fauziyah, M.Pd., Dekan Fakultas Sastra UNPI, memainkan peran strategis dengan memberikan semangat yang konkret bagi para mahasiswa. Dukungan dan apresiasi dari dekan tidak hanya menjadi katalis bagi mereka untuk berkembang, tetapi juga mengingatkan pentingnya institusi dalam memfasilitasi transformasi para mahasiswa menjadi agen perubahan. Frisyi dengan tepat menekankan bahwa peran mahasiswa dalam membangun budaya bukanlah suatu kebetulan; mereka adalah “pelopor budaya” di zamannya, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai karya dan aksi mereka. Pendekatan dekan dalam acara tersebut menggarisbawahi pentingnya membangun karakter mahasiswa melalui sastra sebagai alat perubahan sosial (Zepke & Leach, 2010). Dengan dukungan dari institusi dan lingkungan akademis yang mendukung, mahasiswa tidak hanya akan siap secara intelektual tetapi juga secara emosional untuk menghadapi tuntutan zaman mereka.

Selain itu, kemunculan sastra cyber menandakan zaman yang memerlukan redefinisi atas cara kita berinteraksi dengan teks, dengan dunia, dan, yang terpenting, dengan realitas digital. Mahasiswa sastra yang berani menembus batas konvensional inilah yang akan menjadi pionir dalam membentuk ulang budaya. Mereka adalah generasi yang berada di persimpangan antara kebudayaan tradisional dan modernitas digital. Dalam ruang-ruang maya, mereka tidak lagi terkungkung dalam keterbatasan geografis atau sensor editor, melainkan bisa menyebarkan karya secara instan dan lintas batas. Ini bukan sekadar peluang, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak sebagai agen perubahan budaya, sebuah tanggung jawab yang lahir dari kesadaran akan posisi historis mereka (Baker & Lawson, 2001).

Baca Juga:  Memahami metode penelitian

Mahasiswa Sastra sebagai Penentu Zaman

Peran mahasiswa sastra sebagai “penentu zaman” dapat dianalogikan dengan fungsi naratif dalam karya epik atau sastra lisan klasik: mereka adalah pembawa pesan yang, melalui teks dan wacana, akan meninggalkan jejak sejarah dan perenungan bagi generasi mendatang. Seperti Sarah yang terinspirasi oleh dialog dalam sesi tersebut, banyak mahasiswa mungkin akan mulai menulis bukan sekadar untuk menyalurkan ekspresi pribadi, melainkan untuk menyampaikan perspektif yang bisa menggugah dan mengubah masyarakat. Mereka, dengan segala keberanian dan imajinasi yang mereka miliki, akan melambangkan transformasi peran mahasiswa sastra dari sekadar “pelajar” menjadi simbol hidup dari “cerita zaman mereka” – sebuah peran yang pada akhirnya akan mendefinisikan kembali makna agen perubahan dalam konteks budaya dan teknologi yang semakin maju.

Mahasiswa sastra di era ini tidak bisa lagi sekadar menjadi penonton atau pendengar, tetapi harus menjadi narator utama yang mengisahkan realitas sosial dengan nuansa kritis dan analitis. Pada akhirnya, dorongan dari Dekan Frisyi F Fauziyah serta kolaborasi lintas keahlian seperti yang tercermin dalam kegiatan ini memberi mereka landasan untuk benar-benar berperan sebagai agen simbolisasi dan perubah budaya yang merepresentasikan zamannya.

Referensi

Baker, J. H., & Lawson, M. K. (2001). Students as change agents: A framework for enhancing engagement. London: Routledge.

Zepke, N., & Leach, L. (2010). Improving student engagement: Ten proposals for action. Active Learning in Higher Education, 11(3), 167-177. https://doi.org/10.1177/1469787410379680

Baca Juga:  Cara Guru SD Membentuk Karakter Anak dari Usia Dini

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

This Post Has 5 Comments

  1. Arif Hidayat

    Terima kasih

  2. Anonymous

    Sukses selalu 🙏🏻

  3. Anonymous

    Sebuah acara yang sepatutnya dibuat kembali. Sukses selalu kakak-kakak hebat 👏🏻

Leave a Reply