Langit malam di sekitar rel kereta Pisangan terlihat gelap pekat, hanya diterangi oleh cahaya redup lampu jalan yang sesekali berkedip. Suara klakson kereta yang menggelegar, diiringi gesekan besi di atas rel, menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan. Di persimpangan kecil itu, terdapat pos jaga tua yang hampir tidak terurus. Hanya ada satu orang yang selalu terlihat di sana—Pak Wiryo, penjaga pintu rel yang sudah bertugas lebih dari tiga puluh tahun.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Pak Wiryo duduk di kursinya, memandang ke arah rel sambil menghisap rokok kreteknya yang sudah hampir habis. Angin dingin bertiup pelan, membuat ranting-ranting pohon di sekitar pos jaga berayun. Tidak ada yang berbeda. Malam yang tenang, sepi, dan sedikit membosankan. Pak Wiryo sudah terbiasa dengan rutinitas ini, menjaga pintu rel, menurunkannya ketika kereta lewat, dan menaikkannya kembali ketika semuanya aman.
Namun, malam itu ada yang sedikit mengganggu perasaannya. Entah kenapa, sejak awal ia merasa ada sesuatu yang aneh. Suara burung hantu terdengar lebih nyaring dari biasanya, dan angin terasa lebih dingin, menusuk tulang. Ia melirik jam tangannya, pukul sebelas malam. Biasanya, kereta terakhir akan lewat dalam beberapa menit lagi.
Sambil menunggu, Pak Wiryo berdiri, merenggangkan tubuh yang pegal karena duduk terlalu lama. Ia berjalan ke arah pintu rel, memastikan semuanya berfungsi seperti biasa. Saat itu, matanya tertuju pada sesuatu di ujung rel. Samar-samar, ia melihat sosok seseorang berdiri di sana, jauh di tengah kegelapan. Sosok itu tampak mematung, seolah menunggu sesuatu.
Pak Wiryo mengernyit. Dia tidak pernah melihat orang berdiri di dekat rel pada jam selarut ini. “Siapa itu?” gumamnya pelan, lalu melangkah lebih dekat untuk melihat lebih jelas. Sosok itu tidak bergerak sedikit pun, hanya berdiri diam seperti patung.
Perasaan aneh kembali menghampiri Pak Wiryo. Jantungnya mulai berdebar. “Hei! Siapa di sana?” teriaknya. Tapi tak ada jawaban. Hanya suara kereta yang semakin mendekat.
Pak Wiryo merasa tidak nyaman. Dia memutuskan untuk mendekat lagi, tapi ketika ia melangkah lebih jauh, sosok itu menghilang, seperti kabut yang diterpa angin. Tak ada suara, tak ada gerakan—hilang begitu saja. Pak Wiryo tertegun, sejenak merasa bingung dan mencoba memastikan apakah ia benar-benar melihat seseorang tadi.
“Ah, mungkin cuma bayangan,” bisiknya, berusaha menenangkan diri.
Kereta mulai mendekat. Pak Wiryo dengan cepat kembali ke pos jaga, menurunkan pintu rel dengan hati-hati. Suara gemuruh kereta terdengar semakin jelas, dan dalam beberapa detik, kereta melintas dengan kecepatan tinggi. Namun di tengah suara kereta yang memekakkan telinga, Pak Wiryo mendengar sesuatu—suara yang tidak seharusnya ada di situ. Suara tawa.
Tawa kecil, namun jelas terdengar di antara deru mesin kereta. Pak Wiryo menengok ke arah rel, tapi tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdebar lebih kencang. Malam yang biasanya tenang, kini dipenuhi perasaan mencekam. Ia mencoba mengabaikan suara itu, berharap semuanya hanyalah halusinasi akibat kelelahan.
Setelah kereta lewat, Pak Wiryo menaikkan pintu rel kembali. Namun, saat hendak kembali ke pos, ia merasakan sesuatu. Ada bayangan yang bergerak cepat di ujung matanya. Sekali lagi, ia melihat ke arah rel, dan kali ini jelas—sosok seseorang berdiri di tengah rel, lebih dekat dari sebelumnya. Pak Wiryo tersentak. Sosok itu kini terlihat lebih jelas, seorang pria muda dengan wajah pucat, menatap lurus ke arah Pak Wiryo dengan senyum aneh di wajahnya.
“Pak, malam ini giliran saya jaga…” suara sosok itu terdengar, lembut namun penuh arti.
Pak Wiryo melangkah mundur. Ia tidak mengenal pria itu, dan ia yakin tidak ada penjaga rel lain di sini selain dirinya. Suara pria itu membuat bulu kuduknya meremang. “Kamu siapa?” Pak Wiryo berteriak dengan nada sedikit panik.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Pak Wiryo, senyum di wajahnya tidak berubah. Perlahan, ia menghilang ke dalam kegelapan, seolah disapu oleh malam yang pekat.
Keesokan harinya, warga sekitar gempar. Pak Wiryo menghilang tanpa jejak, meninggalkan pos jaganya yang kosong. Pintu rel tidak ada yang menjaga malam itu, namun anehnya, setiap kali kereta lewat, pintu tetap tertutup dengan sendirinya. Warga yang melintasi rel mengaku mendengar suara tawa kecil, namun tidak ada seorang pun yang terlihat berjaga di sana.