Pagi itu, Irwan berjalan tergesa-gesa menyusuri pantai. Hari masih sangat pagi, matahari baru saja terbit, dan angin laut terasa menusuk kulit. Bagi orang lain, suasana ini mungkin menenangkan, tapi tidak bagi Irwan. Ada sesuatu yang aneh pagi itu. Langkah-langkahnya melambat ketika ia melihat sebuah jejak kaki aneh di pasir yang basah.
Jejak itu tidak seperti jejak biasa. Bentuknya besar, seakan-akan bukan milik manusia. Jejak kaki itu muncul tiba-tiba di hadapannya, padahal sebelumnya, tak ada siapa pun yang lewat. Pasir basah di sepanjang pantai masih terlihat mulus. Tak ada satu pun tanda orang lain yang berjalan di dekat sana, selain jejak kaki besar itu yang tiba-tiba saja terlihat jelas.
Irwan berhenti. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun pantai itu benar-benar kosong. Hanya ada dirinya dan suara ombak yang menghantam tepi pantai. Tubuhnya mendadak terasa kaku, seperti ada sesuatu yang mengawasinya dari balik udara lembab pagi itu. Perutnya mulai terasa tidak enak, seperti ditusuk perlahan-lahan oleh kegelisahan.
Dia mencoba melanjutkan langkahnya, tapi kaki terasa berat. Jejak-jejak itu… ke mana hilangnya? Dia menoleh ke belakang, dan jejak kakinya sendiri juga mulai memudar, seperti ditelan pasir basah. Namun, jejak kaki besar yang aneh tadi tetap ada, tegak seolah-olah ingin diikuti.
Dengan napas tersengal-sengal, Irwan menunduk memperhatikan jejak kaki itu lebih dekat. Dia mendekatkan wajahnya ke permukaan pasir, memperhatikan lebih detail bentuknya. Jejak itu memiliki lima jari—tapi jari-jarinya jauh lebih panjang dan lebih tajam daripada jejak kaki manusia.
Dia berdiri tegak kembali, tubuhnya bergetar. “Apa ini…?” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.
Jejak itu tidak hanya satu. Mereka terus berlanjut, memanjang menuju arah barat pantai. Satu-satunya pilihan adalah mengikutinya. Dengan hati-hati, Irwan melangkah mengikuti jejak-jejak itu, langkahnya pelan namun penuh kewaspadaan. Meskipun seluruh tubuhnya merasakan ketakutan, rasa ingin tahunya terus memaksanya maju.
Seiring ia mengikuti jejak kaki itu, suara ombak mulai mereda. Tiba-tiba, pantai yang tadinya bising oleh suara laut menjadi sunyi. Irwan menghentikan langkahnya lagi, kali ini benar-benar merasakan sesuatu yang tidak wajar. Udara terasa semakin berat, seakan-akan menghisap tenaganya sedikit demi sedikit.
Jejak kaki besar itu terus berlanjut hingga ke sebuah tempat yang dipenuhi batu karang besar. Di sanalah jejak itu berhenti.
Irwan menahan napas. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan sesuatu—apa saja yang bisa menjelaskan semua ini. Tapi tidak ada apa pun di sana. Hanya pasir, batu karang, dan laut yang tenang.
Tiba-tiba, di balik salah satu batu karang yang besar, muncul suara gemeretak seperti sesuatu yang berat sedang digerakkan. Suara itu menggema di antara bebatuan, membuat Irwan melangkah mundur tanpa sadar.
“Siapa di sana?” Irwan memberanikan diri bersuara, meski suaranya terdengar lebih seperti bisikan takut daripada panggilan berani.
Tidak ada jawaban. Tapi suara gemeretak itu semakin mendekat. Irwan mendengar langkah berat menghampirinya dari balik batu karang. Ia mulai merasakan keringat dingin membasahi tengkuknya. Setiap naluri dalam dirinya menyuruhnya lari, tapi kakinya tertanam di tempat.
Dengan perlahan, sosok itu muncul dari balik batu. Irwan tidak bisa mempercayai matanya. Sosok itu… bukan manusia.
Bayangan hitam besar, berdiri setinggi dua meter, dengan tubuh seperti manusia tapi wajahnya gelap tak berbentuk. Ia melangkah dengan pelan, seolah-olah waktu di sekitarnya bergerak lebih lambat.
Irwan merasa tubuhnya lumpuh. Jantungnya berdetak kencang, seolah-olah hendak keluar dari dadanya. Sosok itu semakin mendekat, dengan langkah yang menyeret pasir di belakangnya. Irwan hanya bisa menatapnya tanpa bisa bergerak, seperti berada dalam mimpi buruk yang tidak berakhir.
Saat sosok itu hampir mencapai Irwan, sesuatu yang aneh terjadi. Sosok itu berhenti, memiringkan kepalanya seolah-olah mendengar sesuatu. Lalu, dalam sekejap, ia berbalik dan lenyap, meninggalkan jejak kaki yang perlahan menghilang di pasir.
Irwan terhuyung-huyung ke belakang, terengah-engah, tak mampu mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan apakah ia benar-benar sendirian. Tapi sosok itu sudah hilang.
Rasanya seperti mimpi.
Ia mencoba mengatur napas, lalu dengan tergesa-gesa berjalan kembali ke arah ia datang. Langkah-langkahnya semakin cepat, meninggalkan pantai dan kembali menuju rumahnya di kampung.
Saat Irwan tiba di depan rumah, dia disambut oleh suara tawa kecil dari dalam. Ternyata, beberapa tetangga sedang berkumpul di ruang tamu bersama keluarganya. Irwan yang masih terguncang hanya bisa memaksakan senyum saat masuk ke dalam rumah.
“Heh, Irwan. Dari mana aja lo pagi-pagi begini?” tanya salah seorang tetangga dengan nada menggoda. “Jangan-jangan lo habis ngikutin jejak kaki setan di pantai ya?”
Mendengar itu, Irwan terdiam. “Eh… iya?” jawabnya ragu.
Semua orang tertawa, tak menyadari kengerian yang baru saja dialaminya. “Dasar bocah! Lo terlalu sering denger cerita horor. Mana ada jejak kaki setan di pantai.”
Irwan terdiam, bibirnya mencoba mengeluarkan kata-kata, tapi rasa takut yang tertahan membuatnya diam. Apakah dia benar-benar melihat hantu? Atau mungkin hanya pikiran yang mempermainkannya?
Saat malam tiba, Irwan berbaring di kamarnya. Ia berusaha tidur, namun bayangan sosok hitam itu terus menghantuinya. Ia memejamkan mata, mencoba melupakan kejadian tadi pagi. Namun, di antara kebisuan malam, ia mendengar sesuatu.
Suara langkah kaki berat… di depan pintu kamarnya.
Irwan menahan napas. Apakah ia berhalusinasi? Atau mungkinkah sosok itu mengikutinya pulang? Namun, kali ini, dia tak bisa memastikan apakah itu nyata atau hanya imajinasinya yang terus bermain-main di kepalanya. Sosok itu tetap menjadi misteri, meninggalkan Irwan dalam rasa takut yang menggantung di udara malam.