Bapak Paus
~ Okky Madasari ~
Bapak, selamat datang
di tanah kaum beriman
di negeri berwajah suci
di ibu kota dosa-dosa
yang tersembunyi
dalam lantunan puja-puji.
Bapak, lihatlah kami
domba-domba Tuhan
yang lapar dan kehausan
mengantri janji surgawi
menanak ulang iman kami
untuk sarapan esok pagi.
Bapak, intiplah mereka
membangun kerajaan surga
di atas galian tambang
di tepi sungai air mata
mementaskan sandiwara
di panggung neraka dunia.
— 3 September 2024 —
Selamat datang di tanah kaum beriman—begitulah Okky Madasari membuka puisinya yang berjudul “Bapak Paus”, seolah memberikan penghormatan kepada Paus Fransiskus yang hadir di negeri ini. Namun, sapaan ini bukan sekadar sambutan, melainkan sebuah prolog yang menyimpan kritik sosial terhadap realitas yang tersembunyi di balik wajah religiusitas kita. Melalui bahasa yang tajam namun penuh estetika, Madasari menggambarkan bagaimana keagungan ritus keagamaan sering kali menjadi topeng yang menutupi berbagai dosa dan ketidakadilan sosial yang berlangsung di negeri ini. Di negeri yang diklaim berwajah suci, dosa-dosa disembunyikan rapi oleh lantunan puja-puji, meninggalkan kita dengan pertanyaan: apakah agama telah kehilangan makna sejatinya?
Madasari melanjutkan kritiknya dengan menggambarkan “domba-domba Tuhan” yang lapar dan haus akan janji-janji surgawi. Umat yang seharusnya dilayani, malah terus mengantri untuk mendapatkan sepotong ‘iman’ yang hanya menunda rasa lapar mereka akan keadilan dan kebenaran. Iman tidak lagi menjadi sesuatu yang membebaskan, tetapi malah menjadi alat yang digunakan untuk mempertahankan status quo. Dengan cara yang halus namun mendalam, puisi ini mengingatkan kita bahwa agama seharusnya tidak hanya tentang ritual, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan sesama, terutama mereka yang terpinggirkan dan tertindas.
Pada bait terakhir, Madasari menyoroti bagaimana “mereka”—para elit dan penguasa—membangun “kerajaan surga” di atas penderitaan orang-orang kecil. Imaji yang dihadirkan di sini begitu kuat: sebuah “panggung neraka dunia” di mana sandiwara keagamaan dipentaskan di atas air mata mereka yang lemah. Ini bukan sekadar kritik terhadap mereka yang berkuasa, tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana agama sering kali dimanipulasi untuk kepentingan segelintir orang, sementara mayoritas umat dibiarkan merana. Ketika agama yang seharusnya menjadi alat pembebasan malah menjadi instrumen penindasan, maka sudah saatnya kita mempertanyakan kembali esensi dari keyakinan kita.
Dalam konteks Festival Toleransi di Galeri Nasional, di mana lukisan “Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia” karya Denny JA dipamerkan, puisi “Bapak Paus” menawarkan refleksi yang lebih mendalam. Festival ini, yang diadakan sebagai perayaan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas, sejalan dengan semangat Paus Fransiskus yang dikenal sebagai pemimpin yang meruntuhkan batas-batas tradisi demi melayani yang termarginalkan. Namun, puisi ini juga mengingatkan kita untuk tidak hanya melihat sisi indah dari toleransi, tetapi juga merenungkan apakah nilai-nilai tersebut benar-benar terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Apakah toleransi yang kita rayakan ini sekadar sandiwara lain di atas “panggung neraka dunia”, ataukah itu menjadi langkah nyata menuju keadilan dan kesetaraan?
Dari sudut pandang seorang Muslim, penting untuk melihat kedatangan Paus Fransiskus dan partisipasi dalam Festival Toleransi ini sebagai kesempatan untuk merefleksikan sikap kita sendiri terhadap keadilan sosial dan kemanusiaan. Islam mengajarkan toleransi, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama, terlepas dari latar belakang agama atau budaya. Kehadiran Paus Fransiskus dan pesan yang dibawa melalui puisi Madasari ini seharusnya mendorong umat Muslim untuk lebih aktif dalam menegakkan prinsip-prinsip tersebut. Alih-alih terjebak dalam formalitas ritual, umat Muslim diharapkan mampu melihat substansi dari ajaran agama, yaitu keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Puisi “Bapak Paus” bukan hanya sebuah karya sastra yang penuh estetika, tetapi juga sebuah cermin bagi kita semua, terlepas dari agama apa pun yang kita anut. Puisi ini menantang kita untuk merenungkan kembali peran agama dalam kehidupan sosial dan bagaimana kita bisa memanifestasikan nilai-nilai tersebut dalam tindakan nyata. Bagi umat Muslim, ini adalah panggilan untuk tidak hanya merayakan toleransi, tetapi juga untuk memastikan bahwa toleransi itu benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan semangat Islam yang mengajarkan rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Okky Madasari, melalui puisinya, mengingatkan kita semua bahwa agama seharusnya menjadi kekuatan untuk perubahan sosial yang positif, bukan sekadar alat untuk menutupi dosa-dosa yang tersembunyi di balik lantunan puja-puji.