Teater sebagai Kritik Sosial, Tubuh sebagai Tanda, dan Komedi sebagai Senjata
“Apakah subaltern dapat berbicara? Dan jika ya, siapa yang mendengarkannya?”
—Gayatri Spivak

Ada saat ketika panggung tak lagi sekadar ruang peristiwa, melainkan laboratorium kenyataan—di mana realitas dimampatkan, dikocok ulang, lalu disajikan lewat tawa getir. Pertunjukan Petruk: Sang Dalang of the Soul, garapan Teater Ragantari Tim 2 di bawah arahan Dr. Deden Haerudin dan Karina Eris, menawarkan pengalaman demikian: tajam secara artistik, jenaka dalam getirnya, dan peka terhadap luka sosial.
Dengan naskah yang ditulis oleh Fayha Kalin, Hervina Rahmadani, Karina Eris Agysta, dan Dian Puspita, pertunjukan ini tak hanya menarasikan, melainkan mengusik nalar. Struktur dramatiknya terancang dengan cermat: menguliti relasi kuasa, bias kota-desa, hingga potret kekuasaan yang rapuh. Terasa betul bahwa naskah ini lahir dari pengamatan sosial yang teliti dan empati yang dalam.
Panggung dibuka dengan suasana desa yang dicekam ironi. Desa digambarkan sebagai “kotor”, “kampungan”, dan “menjijikkan” oleh kelompok KKN dari kota—sebuah tudingan yang sejak awal menyulut ketegangan. Desa bukan sekadar latar, melainkan tubuh sosial yang dicerca, dijinakkan, dan diobjektifikasi—bukan demi pembangunan, melainkan demi pencitraan proyek kampus. Inilah titik temu dramaturgi Martin Esslin dengan teori interaksi simbolik Goffman: panggung sebagai cermin masyarakat, tempat peran dimainkan di bawah pandangan penonton yang tak sepenuhnya tahu isi naskah.
Kevin, si ketua KKN, menjadi alegori kekuasaan yang dipaksakan. Sang ketua ditunjuk oleh dosen pembimbing—sosok ala dewa kampus—tanpa dialog atau kesiapan. Kevin menyebut dirinya visioner, tetapi ia tak pernah benar-benar hadir. Di balik narasi ini, terbaca jelas determinasi maskulin: ambisi tanpa empati, keputusan tanpa pertimbangan. Maka muncullah retak: Tissa yang dilukai, Sherin yang patah hati, dan anak-anak desa yang terintimidasi oleh “tim pengabdi” yang justru saling berseteru.
Namun menariknya, para perempuan anggota KKN tidak pasif. Mereka menolak diam. Mereka menyanyikan aspirasi, menyusun program, dan merumuskan ulang visi kelompok. Ketika panggung dikuasai oleh musikalitas Eris, Desri, Caca, Fayha, Intan dan Maria, tampak bagaimana suara perempuan mengisi ruang yang sebelumnya dikosongkan. Dalam perspektif budaya populer ala Dominic Strinati, ini adalah bentuk resistensi: perempuan bukan lagi objek narasi, tetapi produsen makna.
Kehadiran aktor perempuan yang memerankan tokoh laki-laki pun memperkuat lapisan kritik. Ia menjadi permainan performativitas gender yang menyentil struktur patriarki. Dalam gaya John Fiske, feminitas dalam pertunjukan ini tidak bersifat esensial, melainkan ekspresif—bisa diperankan, ditukar, dan dengan itu, dipertanyakan.
Ketoprak sebagai Medium Kritik
Kemunculan ketoprak di tengah alur bukan sekadar sisipan budaya lokal. Ketoprak hadir sebagai pisau bedah. Petruk yang polos, miskin, dan dianggap tak siap, tiba-tiba naik takhta. Dalam tangan penulis, adegan ini menjelma metafora dari Kevin sendiri– kekuasaan yang datang tanpa kesiapan hanya melahirkan bencana. Ketoprak menjadi alat pembesar: memperlihatkan pengulangan sejarah, memperjelas absurditas sistem.
Dalam bingkai Goffman, pertunjukan ini adalah “dramaturgi sosial”—di mana individu memainkan peran yang dimaknai oleh struktur yang lebih besar. Kevin menjadi aktor literal yang gagal membaca panggung sosialnya. Jika dibaca dengan kacamata Freud, Kevin adalah ego yang tertatih antara superego kampus dan id-nya yang haus dominasi.
Salah satu momen klimaks muncul saat Petruk berseru, “Meja-meja di depanku kini harus tersaji makanan mahal.” Kalimat ini menyarikan ironi budaya konsumsi. Dalam pemahaman Strinati, konsumsi bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga ideologi. Kekuasaan kini diukur dari simbol gaya hidup, bukan nilai kolektif. Meja makan menjadi arena penanda kuasa.
Menariknya, kemarahan rakyat terhadap Petruk—yang kemudian dialihkan ke Kevin—dihadirkan melalui “pause alam” oleh para punakawan. Di sini, mahkota berpindah tangan, dari tokoh wayang ke tokoh nyata. Simbol itu menjadi jembatan antara dunia panggung dan dunia sosial. Ini bukan sekadar kritik kepada tokoh, melainkan pada sistem. Bukan Petruk yang dihukum, tapi kita—para penonton yang menyaksikan kerusakan sistem sambil diam.
Nada, Irama, dan Imaji
Kekuatan pertunjukan ini juga terletak pada musikalitasnya. Komedi yang dihadirkan para punakawan bukan sekadar penghibur, tapi alat retoris. Seperti kata Henri Bergson, tawa muncul dari ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Tawa terhadap Kevin muncul bukan karena kekejaman, tapi karena kesadaran: banyak yang duduk di tampuk kuasa justru tak layak memimpin.
Secara teknis, pementasan ini rapi dan menyentuh. Tata suara terjaga, harmoni nyanyian mengalir, ritme dialog terjalin dengan irama adegan. Musikalitas tidak hadir sebagai sisipan, melainkan teranyam dalam dramaturgi. Setiap lagu menjadi jembatan emosional antar babak. Dalam istilah Susan Bennett, ini adalah theatre of affect—teater yang menyentuh rasa sebelum menyapa nalar.
Petruk: Sang Dalang of the Soul bukan sekadar pertunjukan. Show ini adalah tamparan lembut, cermin retak, dan tawa getir yang bersatu. Dalam satu malam, kita diajak menilik panggung kampus, panggung kekuasaan, dan panggung sosial—yang ternyata memiliki sandiwara yang sama.
Sebagaimana Petruk, kadang kita dilempar ke tampuk kuasa tanpa tahu harus berbuat apa. Tapi dari panggung ini kita diingatkan: bahkan suara yang paling kecil di desa pun berhak didengar.
Sebuah tontonan yang MENYEGARKAN, MENEGANGKAN, sekaligus MENGGEMBIRAKAN. Malam Minggu ini bukan sekadar malam biasa. Ini malam yang—sekali lagi—membuat kita berpikir ulang: siapa sebenarnya yang layak duduk di kursi ratu? (Yabui)

Terimakasih banyak atas kritik dan ulasannya pak Fachri🙏🏻 saya atas nama pribadi juga mengucapkan terimkasih yang sebesar2nya sudah mendapatkan banyak bimbingan tentang teater yang jauh lebih besar lagi dari bapak untuk saya yang masih harus banyak belajar🙏🏻 sampai ketemu lagi dilain kesempatan pak fachri🤗
Terima kasih yang sebesar-besarnya, Bapak, atas tulisan “Kritik Pertunjukan Petruk Sang Dalang of The Soul” yang begitu mendalam, jujur, dan membangun. Kami merasa sangat terhormat karena pertunjukan ini mendapatkan perhatian dan apresiasi dari Bapak dalam bentuk ulasan yang begitu reflektif dan tajam.
Tulisan Bapak tidak hanya menjadi cerminan atas proses yang telah kami jalani, tetapi juga menjadi bimbingan dan dorongan yang sangat berarti untuk terus belajar dan berkembang. Terima kasih telah membantu dan membimbing kami melalui perspektif Bapak yang sangat berharga.
Salam hormat kami, dan semoga kami dapat terus berkarya dengan lebih baik ke depannya.😊
Terimakasih banyak Pak Fachri dan Pak Deden yang sudah banyak membantu dibalik proses kami💓 tulisan bapak tentang “Kritik Pertunjukan Petruk Sang Dalang of The Soul” sangat kami hormati dan merasa terhormat serta sangat senang, karna karya kami di apresiasi oleh bapak, maaf apabila masih banyak kekurangan dari kami, semoga ke depan nya jauh lebih baik lagi dan berkembang tentunyaa, aamiin. Terimakasih Pak Fachri, salam hormat dari kami teman – teman Teater Rombel 2💗🙏🏻
Mecidiyeköy su kaçağı tespiti Büyükçekmece su kaçağı tespiti: Büyükçekmece’de su kaçağı sorunlarını profesyonelce çözmekteyiz. https://twanty2.com/read-blog/13839
Sultanahmet su kaçak tespiti Su kaçağı sorunum aynı gün çözüldü, çok memnunum. https://bence.net/read-blog/25188
My brother recommended I might like this web site. He used to be entirely right. This post actually made my day. You cann’t imagine just how much time I had spent for this information! Thanks!