Hujan deras mengguyur Stasiun Gambir malam itu, membasahi jalanan dan trotoar yang tampak lengang. Lampu-lampu stasiun berpendar redup di antara genangan air, memantulkan bayangan kereta yang sesekali melintas. Para penumpang yang terlambat menunggu di ruang tunggu dengan ekspresi lelah.
Ridwan, salah satu penjaga pintu otomatis, sedang berjaga di pintu keberangkatan 3. Sudah sepuluh tahun ia bekerja di Gambir, mengenal setiap sudut stasiun dan kebiasaan para penumpangnya. Namun, malam ini terasa lain.
Pukul menunjukkan hampir tengah malam ketika jadwal kereta terakhir mendekat. Hanya ada segelintir penumpang yang akan naik. Ridwan berdiri di samping pintu, memastikan setiap kartu elektronik berhasil dipindai.
Namun, dari sudut matanya, ia melihat seseorang yang aneh. Seorang pria tinggi kurus dengan mantel panjang hitam berdiri di dekat peron. Kepalanya tertunduk, topinya menutupi sebagian wajahnya. Ridwan merasa tak nyaman, tetapi ia berpikir, Mungkin cuma penumpang biasa.
Pria itu melangkah ke arah pintu keberangkatan. Saat dia mendekat, Ridwan menyadari ada sesuatu yang ganjil: langkah pria itu tidak menghasilkan suara, meskipun lantai di bawahnya basah.
“Selamat malam, Pak. Tiketnya, boleh saya lihat?” tanya Ridwan dengan ramah, meski ada nada waspada dalam suaranya.
Pria itu mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya pucat, dan matanya kosong, seperti tidak melihat apa pun.
“Tiket…” katanya pelan, suaranya seperti bisikan angin.
Ridwan merasakan bulu kuduknya berdiri. Dengan tangan gemetar, dia mengarahkan mesin pemindai ke tangan pria itu. Anehnya, pria itu tidak mengeluarkan kartu atau tiket apa pun. Namun, mesin pemindai tiba-tiba berbunyi “beep”, seolah-olah tiketnya sah.
Ridwan terdiam sejenak. Ia ingin menanyakan sesuatu, tetapi pria itu sudah melangkah masuk ke peron tanpa berkata apa-apa.
Malam itu berlalu tanpa insiden lain, tetapi bayangan pria itu terus mengganggu pikirannya.
Keesokan malam, Ridwan kembali berjaga di pintu yang sama. Malam itu lebih ramai daripada biasanya. Beberapa penumpang terlihat tergesa-gesa, membawa koper besar, mungkin menuju perjalanan jauh.
Namun, di antara keramaian, Ridwan melihat sosok pria itu lagi. Kali ini, pria itu berdiri di ujung peron, menatap rel kereta.
“Pak, Anda penumpang?” Ridwan memberanikan diri bertanya sambil mendekatinya.
Pria itu tidak menjawab. Ketika Ridwan hampir menyentuh bahunya, pria itu berbalik tiba-tiba. Wajahnya tetap sama: pucat, kosong, tetapi dengan senyuman tipis yang membuat Ridwan merinding.
“Saya sudah menunggu lama,” kata pria itu.
Ridwan mundur selangkah, bingung. “Menunggu apa, Pak?”
“Kereta saya… belum tiba.”
Ridwan bingung. “Semua kereta sesuai jadwal, Pak. Anda yakin?”
Pria itu mengangguk perlahan, lalu berjalan menjauh ke ujung peron. Ridwan memutuskan tidak mengejarnya.
Namun, tak lama kemudian, terdengar suara gemuruh kereta yang mendekat. Ridwan menoleh, tetapi tidak ada kereta di rel. Hanya angin kencang yang bertiup melewati peron, membawa bau tanah basah yang menusuk hidung.
Ketika Ridwan kembali menatap ujung peron, pria itu sudah menghilang.
Cerita tentang pria misterius itu mulai menyebar di antara para petugas stasiun. Beberapa rekannya mengaku pernah melihat pria serupa, tetapi tidak ada yang berani mendekatinya.
“Katanya, dia bukan penumpang biasa,” bisik salah satu petugas kepada Ridwan.
“Lalu siapa?”
“Ada cerita lama, sekitar sepuluh tahun lalu. Seorang penjaga pintu di sini menghilang tanpa jejak. Katanya, dia tertabrak kereta ketika mencoba menyelamatkan seseorang di rel. Tapi anehnya, tidak ada yang pernah menemukan jasadnya.”
Ridwan merasakan jantungnya berdebar. Malam itu, ia memutuskan untuk berjaga lebih lama dari biasanya.
Pukul sudah lewat tengah malam ketika dia melihat pria itu lagi. Kali ini, pria itu berdiri di dekat pintu keberangkatan, menatapnya langsung.
“Ridwan…”
Ridwan terkejut. “Bagaimana Anda tahu nama saya?”
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangan, seolah meminta Ridwan untuk mengikutinya.
“Siapa Anda sebenarnya?” tanya Ridwan dengan suara gemetar.
Pria itu tersenyum tipis, lalu berbisik, “Penjaga pintu, seperti kamu.”
Dalam sekejap mata, pria itu menghilang, meninggalkan Ridwan dengan rasa takut dan bingung. Sejak malam itu, Ridwan tidak pernah melihatnya lagi, tetapi bayangan wajah pria itu terus menghantui pikirannya.
Malam-malam di Stasiun Gambir tetap sibuk seperti biasa, tetapi ada satu pintu yang kini selalu dijaga oleh petugas lain. Ridwan, yang dulu bertugas di sana, kini lebih memilih berjaga di ruang kontrol.
Setiap kali dia melihat kereta terakhir tiba, dia selalu teringat pesan pria misterius itu.
“Penjaga pintu selalu ada, meski tak terlihat.”
Selesai.
kuşadası escort Güvercinada manzarası nefes kesiciydi. https://twittx.live/read-blog/9690