Langit malam di atas Stasiun Cibinong terasa berat, gelap tanpa bintang. Suara jangkrik bersahut-sahutan di kejauhan, sementara lampu neon di sepanjang peron berkedip lemah, seolah-olah lelah menjalankan tugasnya. Hujan yang turun sejak sore menyisakan genangan kecil di lantai peron, memantulkan bayangan lampu seperti hantu-hantu kecil yang menari.
Romi, petugas stasiun malam itu, sedang duduk di ruang kontrol yang sempit. Tangannya memegang cangkir kopi yang mulai dingin, sementara matanya lelah menatap layar monitor yang hanya menunjukkan jalur-jalur kereta tanpa banyak aktivitas. Waktu menunjukkan pukul 11.45 malam, hanya lima belas menit sebelum jadwal kereta terakhir melintas.
Stasiun Cibinong memang bukan stasiun besar. Sebagian besar kereta hanya melewati tempat ini tanpa berhenti. Namun, malam itu, Romi merasa ada sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan perasaan aneh seperti diawasi terus menghantui dirinya sejak maghrib tadi.
Dari monitor, Romi melihat kereta terakhir malam itu mulai mendekat dari arah Bogor. Jalur merah di layar menunjukkan bahwa kereta itu akan melewati Cibinong tanpa berhenti. Rutinitas biasa. Namun, ketika Romi hendak melaporkan ke pusat, sinyal di layar tiba-tiba hilang—kereta itu menghilang dari pantauan.
“Apa-apaan ini?” gumam Romi. Dia mengetik ulang perintah pada komputer tua di depannya, mencoba memuat ulang data. Tapi layar tetap kosong. Tidak ada sinyal.
Belum selesai dia mencerna situasi, suara gemuruh roda kereta terdengar dari kejauhan. Romi melompat dari kursinya dan bergegas keluar ke peron, memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Di luar, hawa dingin malam menusuk tulang. Romi berdiri di tepi peron, matanya menatap ke arah rel yang memanjang ke dalam gelap. Tak lama kemudian, sebuah kereta meluncur dengan kecepatan pelan, berbeda dari biasanya.
Namun, yang membuat Romi merinding adalah penampilan kereta itu.
Kereta itu tampak tua, sangat tua. Catnya kusam, hampir terkelupas sepenuhnya, dan jendela-jendelanya dipenuhi goresan seperti bekas cakaran. Lampu di dalam gerbong berkedip-kedip tak menentu, menciptakan bayangan aneh di sepanjang kursi yang kosong.
“Kereta apa ini? Ini bukan di jadwal,” Romi bergumam, matanya terpaku pada gerbong-gerbong yang lewat.
Kereta itu berjalan lambat, cukup untuk Romi melihat ke dalam setiap gerbong. Anehnya, meski kosong, ada sesuatu yang membuatnya merasa ada yang mengawasi balik. Kursi-kursi yang melompong seperti menyimpan bayangan tak berbentuk, bergerak pelan mengikuti arah kereta.
Lalu, gerbong terakhir muncul, dan di sanalah Romi melihatnya.
Seorang wanita berdiri di dekat pintu gerbong terakhir. Wajahnya pucat, rambut panjangnya tergerai, dan matanya yang gelap menatap lurus ke arah Romi. Dia mengenakan gaun putih yang sudah kotor, seolah-olah baru saja keluar dari rawa.
Romi merasa tubuhnya membeku. Napasnya tercekat. Dia ingin berpaling, tapi tatapan wanita itu seperti mengunci tubuhnya di tempat.
“Pak… Pak Romi?” suara seorang penjaga stasiun lain, Iwan, membuyarkan konsentrasinya.
Romi menoleh cepat. “Iwan! Lo liat kereta tadi?”
Iwan mengerutkan dahi. “Kereta apa? Dari tadi nggak ada yang lewat.”
Romi menunjuk ke arah rel, tapi kereta itu sudah menghilang. Hanya rel kosong dan suara jangkrik yang tersisa.
“Barusan ada kereta lewat. Kereta tua. Di gerbong terakhir gue liat—” Romi berhenti. Tidak mungkin dia menceritakan tentang wanita itu.
Iwan tertawa kecil, meski nadanya terdengar gugup. “Pak, jangan bercanda. Mana ada kereta yang lewat malam-malam begini tanpa jadwal?”
Romi terdiam. Dia tahu apa yang dilihatnya nyata, tapi bagaimana dia menjelaskannya?
Malam itu berlalu dengan gelisah. Sepanjang sisa tugasnya, Romi terus merasa seperti diawasi. Setiap suara angin, setiap bayangan di kaca jendela ruang kontrol membuatnya merinding.
Seminggu kemudian, kejadian serupa terulang. Kereta yang sama melintas, lagi-lagi tanpa ada sinyal atau jadwal. Kali ini, Romi tidak sendirian. Iwan yang kebetulan sedang berjaga bersamanya juga melihatnya.
“Pak Romi, itu apa?” tanya Iwan dengan suara bergetar, matanya tak berkedip menatap kereta tua itu yang bergerak perlahan di rel.
Romi hanya bisa menggeleng, tak mampu menjawab.
Di gerbong terakhir, wanita itu ada lagi. Kali ini, dia tidak berdiri diam. Wanita itu melambai ke arah mereka, dengan senyuman tipis yang terasa lebih menyeramkan daripada ramah.
“Iwan, kita masuk!” perintah Romi dengan tegas, menarik Iwan kembali ke ruang kontrol.
Namun, sebelum mereka masuk, suara klakson kereta bergema keras, memecah keheningan malam. Romi dan Iwan berbalik, dan yang mereka lihat membuat darah mereka membeku.
Wanita itu kini berdiri di peron, hanya beberapa meter dari mereka.
Dengan suara berat dan menggema, wanita itu berkata, “Kereta ini tak pernah berhenti, tapi selalu ada penumpang yang naik.”
Lampu-lampu stasiun tiba-tiba padam, dan suasana menjadi gelap gulita. Suara tawa wanita itu menggema, bercampur dengan suara gemuruh kereta yang perlahan menghilang di kejauhan.
Saat lampu kembali menyala, wanita itu sudah tidak ada.
Sejak malam itu, Stasiun Cibinong tak lagi terasa sama. Beberapa petugas melaporkan kereta yang sama, dengan wanita yang selalu muncul di gerbong terakhir. Mereka yang melihatnya tak pernah bisa melupakan tatapannya.
Dan setiap kali kereta itu lewat, hawa dingin menyelimuti stasiun, seolah-olah waktu berhenti sejenak hanya untuk menyambutnya.Selesai.