Sinyal Tak Wajar di Stasiun Cakung

0
(0)
Sinyal Tak Wajar di Stasiun Cakung
Sinyal Tak Wajar di Stasiun Cakung

Malam itu di Stasiun Cakung, langit gelap tanpa bulan, hanya lampu-lampu jalan yang menerangi sebagian peron. Gerimis halus turun, menyisakan titik-titik air di jendela loket dan bangku-bangku yang kosong. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara tetesan air yang jatuh dari atap peron, bercampur dengan suara deru kereta yang perlahan mendekat.

Fajar, seorang petugas sinyal di Stasiun Cakung, duduk sendirian di dalam ruang kontrol. Malam-malam begini, tak banyak yang harus dilakukan. Sinyal-sinyal hijau dan merah di layar komputernya terus berkedip-kedip, menandakan jalur-jalur kereta yang terhubung dengan berbagai stasiun lain. Sesekali, Fajar menguap sambil menyeruput kopi hangat yang mulai mendingin.

Dia menatap layar monitor dengan malas. “Kapan ya sinyal di sini diganti yang baru,” gumamnya, melihat perangkat komputer yang sudah tua dan sering ngadat. Meski begitu, semuanya tampak berjalan normal. Sampai tiba-tiba, di sudut layar, sebuah sinyal merah berkedip-kedip lebih cepat dari biasanya.

“Eh, apaan nih?” Fajar memfokuskan matanya. Jalur yang ditunjukkan layar itu mengarah ke sebuah kereta yang seharusnya datang dari arah Bekasi. Tapi, anehnya, sinyal merah tersebut muncul dari jalur yang bukan seharusnya dilewati kereta pada waktu itu.

Fajar mengernyit. Dia memeriksa jadwal dan memastikan tidak ada kereta yang dijadwalkan lewat di jalur itu dalam waktu dekat. “Kereta siapa ini?” dia bergumam sambil mengetikkan beberapa perintah di komputernya. Namun, meskipun dia mencoba memeriksa, layar tidak memberikan informasi tambahan.

Baca Juga:  Rantai yang Berbunyi Sendiri

Beberapa saat kemudian, sinyal merah itu berubah menjadi hijau, tanda kereta mendekat. Tapi, yang lebih aneh lagi, tidak ada tanda-tanda kereta yang melintas di layar monitor CCTV yang mengarah ke jalur tersebut.

Fajar mulai merasa tidak nyaman. “Ini pasti error… ya kan? Perangkat tua begini, pasti ada aja gangguan,” gumamnya, berusaha menenangkan diri. Namun, firasat aneh mulai merayapi dirinya. Dia memutuskan untuk keluar dari ruang kontrol, mengecek langsung ke peron.

Saat dia melangkah keluar, gerimis mulai semakin deras. Fajar berjalan menuju ujung peron, mencoba melihat ke arah jalur rel yang seharusnya dilintasi oleh kereta yang terdeteksi tadi. Tapi, sejauh mata memandang, tak ada apa-apa selain rel basah yang berkilauan di bawah lampu stasiun.

Hanya hening.

Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara samar—suara klakson kereta. Fajar mendengarnya dengan jelas, meski dari jauh. Dia segera mengalihkan pandangannya ke arah suara itu. Tampaknya kereta benar-benar mendekat, tapi anehnya, tak ada cahaya lampu kepala kereta yang biasanya terlihat dari jauh.

Dia berjalan lebih mendekat ke tepi peron, menajamkan penglihatannya. Klakson terdengar lagi, kali ini lebih dekat, namun tak ada tanda-tanda fisik kereta. Jantung Fajar berdegup kencang.

Saat ia bersiap-siap berbalik untuk kembali ke ruang kontrol, matanya menangkap sesuatu yang membuatnya membeku.

Di ujung rel, samar-samar tampak sebuah gerbong yang perlahan muncul dari balik kabut tipis. Gerbong itu tampak usang, seperti kereta tua yang sudah lama tak dipakai. Catnya terkelupas, dan jendela-jendelanya gelap, tak memantulkan cahaya sedikit pun.

Baca Juga:  Sirene yang Menjerit di Malam Buta

Namun yang paling membuat Fajar merinding adalah… gerbong itu meluncur di atas rel tanpa suara. Tak ada derit roda, tak ada bunyi logam bergesekan. Gerbong itu bergerak seolah melayang, mendekat ke peron dengan perlahan.

Fajar menelan ludah. “Ini nggak mungkin…” gumamnya, tapi dia tak bisa memalingkan matanya dari pemandangan aneh itu. Gerbong itu terus mendekat, berhenti tepat di depan peron, pintu-pintunya terbuka dengan bunyi decitan panjang.

Kepanikan mulai menyeruak di dada Fajar. Tak ada penumpang yang keluar dari gerbong itu, dan yang lebih aneh, tak ada satu pun penumpang di dalamnya. Semua kursi kosong, hanya bayangan gelap yang melingkupi bagian dalam gerbong.

Dia ingin berlari, tapi rasa takut menahannya di tempat. Suara pintu kereta yang terbuka membuat suasana semakin mencekam. Fajar merasa seperti ada yang memanggilnya, mengundangnya untuk naik ke dalam gerbong kosong itu. Tapi dia tahu, tidak ada manusia waras yang mau mendekat.

Tepat ketika Fajar hendak melangkah mundur, terdengar suara di belakangnya.

“Mas, ini kereta siapa?” Seorang petugas kebersihan stasiun tiba-tiba muncul di samping Fajar, ikut menatap gerbong kosong yang ada di depan mereka.

Fajar menggeleng, matanya masih terpaku ke arah kereta aneh itu. “Gue nggak tahu, Bang. Ini nggak ada di jadwal.”

Petugas itu memandang Fajar dengan bingung, lalu mengernyit. “Maksud lo, apaan? Nggak ada kereta di sini.”

Baca Juga:  Bocah dan Hantu di Balik Penjara

Fajar tertegun, menoleh ke arah petugas tersebut. “Lo serius? Itu…” Fajar menunjuk ke arah gerbong yang berhenti di depan mereka.

Namun, saat dia menoleh kembali… gerbong itu sudah hilang. Menguap begitu saja. Rel kosong, peron sepi, tak ada tanda-tanda bekas kereta melintas. Hanya hujan yang tersisa, menetes dari atap peron yang dingin.

Petugas itu mengangkat alis. “Mas, lo kenapa? Nggak ada apa-apa, tuh.”

Fajar membeku, merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Dia menatap rel dengan pandangan tak percaya, lalu memutuskan untuk masuk kembali ke ruang kontrol. Sesampainya di sana, dia memeriksa layar monitor lagi. Sinyal merah tadi hilang, dan tak ada jejak kereta yang pernah melintas.

Dengan napas tersengal, Fajar duduk dan mencoba menenangkan pikirannya. “Gila… apa yang barusan gue lihat?” pikirnya.

Namun sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, layar monitornya berkedip lagi. Sinyal merah kembali muncul, kali ini dari arah yang berbeda. Jalur lain yang tak terhubung dengan jadwal kereta manapun.

Dan lagi-lagi, klakson samar terdengar di kejauhan.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply