Hujan baru saja reda di Stasiun Buaran, namun sisa-sisa air masih menetes dari atap dan meresap ke tanah. Lampu-lampu di sepanjang peron berkedip-kedip samar, menciptakan bayangan-bayangan gelap di sepanjang rel yang basah. Malam itu sepi, tidak seperti biasanya. Hanya ada beberapa penumpang yang menunggu kereta terakhir. Kebanyakan dari mereka berdiam diri, sibuk dengan ponsel atau hanya melamun, menunggu waktu berlalu.
Riko, seorang pemuda yang bekerja di kawasan Kuningan, duduk di ujung bangku peron sambil memainkan ponselnya. Ia menatap layar dengan malas, jari-jarinya menari di atas layar, mencari hal menarik untuk mengusir kebosanan. Tapi jaringan internet lambat malam itu, membuat Riko semakin kesal. Dengan menghela napas panjang, dia menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku jaket.
Mata Riko beralih ke rel yang basah. Hujan membuat kilauan samar pada baja yang panjang membentang. Namun, kilauan itu terasa tidak wajar. Sesuatu seperti bayangan gelap melintasi rel—gerakan cepat dan sekejap yang membuat Riko mengerutkan dahi. Dia mengerjap beberapa kali, lalu menatap lebih tajam. Tapi bayangan itu sudah hilang.
“Ah, mungkin cuma mata gue aja yang capek,” gumam Riko, mencoba mengusir pikiran aneh itu. Ia merenggangkan tubuhnya, bersandar lebih dalam ke bangku, memandangi langit yang mendung. Namun, rasa ganjil tak hilang begitu saja. Ada perasaan seolah-olah ada yang memperhatikannya, seolah-olah rel itu menyimpan sesuatu yang tidak terlihat.
Tak lama, sebuah suara pelan terdengar dari arah belakang. Langkah kaki yang basah, seperti seseorang berjalan di atas peron yang licin. Riko menoleh, tetapi tak ada siapa-siapa. Peron di ujung sana kosong, hanya ada genangan air yang berkilau dalam cahaya lampu. Dia menoleh kembali ke depan, berharap kereta segera tiba.
Namun, ketika dia kembali menatap rel, bayangan itu muncul lagi. Kali ini lebih jelas, lebih nyata. Bayangan hitam yang bergerak cepat di sepanjang rel, menyusuri jalur ke arah Riko. Mata Riko membelalak, mulutnya setengah terbuka. Dia tahu dia melihat sesuatu, bukan hanya ilusi. Tapi ketika dia mencoba fokus, bayangan itu menghilang lagi, seolah lenyap begitu saja di balik kegelapan.
“Hah… apa-apaan ini?” gumamnya pelan, merasa mulai merinding. Ada yang tidak beres dengan malam itu. Perasaan aneh yang terus membayangi sejak tadi semakin menguat.
Lalu, terdengar lagi suara langkah kaki dari belakangnya. Kali ini lebih keras, lebih jelas. Riko menoleh cepat, dan kali ini dia melihatnya—seorang pria berjaket hitam, berjalan perlahan di sepanjang peron. Wajah pria itu tertutup oleh tudung jaket, dan langkahnya pelan, seperti sedang menunggu sesuatu. Tapi yang membuat Riko benar-benar merinding adalah saat pria itu melewati penumpang lain di peron, tak satu pun dari mereka bereaksi.
Penumpang lain seakan tidak menyadari kehadiran pria itu. Mata mereka tetap terpaku pada ponsel, atau mereka tetap melamun, tanpa sedikit pun terganggu oleh sosok pria misterius yang berjalan di tengah mereka. Riko menahan napas, matanya tak lepas dari pria itu yang semakin mendekat.
Pria itu berhenti tepat di depan rel, hanya beberapa meter dari tempat Riko duduk. Dia berdiri diam, memandangi jalur kereta yang kosong, seolah menunggu sesuatu. Riko ingin bangkit dan menghampirinya, tapi kakinya terasa berat, seolah-olah tertahan oleh rasa takut yang tak ia mengerti. Namun, rasa penasaran lebih kuat. Dengan hati-hati, Riko berdiri dan berjalan mendekati pria itu.
“Bang, lagi nunggu kereta juga?” Riko memberanikan diri bertanya. Suaranya terdengar canggung di tengah kesunyian.
Pria itu tidak menjawab. Dia tetap diam, tatapannya kosong ke arah rel yang basah. Riko melangkah lebih dekat, berusaha melihat wajah pria itu, tapi bayangan tudungnya terlalu gelap. Namun, sesuatu membuat darahnya membeku. Saat dia memperhatikan lebih seksama, Riko menyadari… kaki pria itu tidak menyentuh tanah.
Bayangan pria itu tidak ada.
Riko tersentak mundur. “Apa-apaan ini…?” gumamnya, napasnya mulai tak teratur. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Tapi sebelum dia sempat bereaksi lebih jauh, terdengar suara peluit kereta di kejauhan. Suara itu memecah keheningan, diikuti oleh bunyi roda besi yang menghantam rel.
Kereta datang.
Riko melihat ke arah rel, namun pria itu masih berdiri di tempatnya, seolah-olah tak peduli dengan kedatangan kereta yang semakin dekat. Riko hendak berteriak, memperingatkan pria itu agar menyingkir, tapi suaranya seolah hilang di tenggorokan. Rasa takut membuatnya terpaku di tempat.
Kereta semakin dekat, dan anehnya, tak ada tanda-tanda pria itu akan bergerak. Dengan mata terbelalak, Riko hanya bisa melihat ketika kereta melintas dengan kecepatan tinggi, tepat di depan pria itu.
Dan pria itu… hilang.
Menghilang begitu saja, seolah tersapu oleh angin kereta. Tak ada jejak, tak ada suara, hanya rel basah yang kosong setelah kereta melintas.
Riko tertegun, tubuhnya gemetar. Kereta berhenti di peron, pintu-pintu terbuka, dan penumpang mulai naik dengan tenang. Tak ada yang menyadari apa yang baru saja terjadi. Riko tetap berdiri di tempatnya, menatap rel kosong itu, berusaha mencerna apa yang barusan dia lihat.
Dia tahu ada sesuatu yang salah. Bayangan itu, pria itu, bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan akal sehat.
Saat Riko hendak melangkah ke dalam kereta, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Riko terlonjak, berbalik cepat. Di depannya, seorang petugas stasiun tersenyum ramah.
“Mas, mau naik?” tanya petugas itu dengan nada santai.
Riko mengangguk dengan canggung, masih terpengaruh oleh kejadian tadi. “I-iya, Pak,” jawabnya terbata-bata.
Petugas itu mengangguk, lalu dengan tenang berkata, “Jangan khawatir, Mas. Kadang-kadang memang ada yang suka ‘numpang’ di sini. Stasiun Buaran ini memang… sering ada yang begitu.”
Riko membeku. “Sering… ada apa, Pak?”
Petugas itu hanya tersenyum kecil, menatap rel kosong di belakang Riko, lalu berkata dengan nada pelan, “Bayangan yang nunggu kereta, tapi nggak pernah naik.”
Riko merinding. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia segera masuk ke dalam kereta, meninggalkan peron dan rel yang kini kembali sunyi. Namun, saat kereta mulai bergerak, dia tak bisa menghilangkan perasaan bahwa… ada sesuatu yang masih memperhatikannya dari kegelapan.
Harbiye su kaçağı tespiti Önleyici bakım, büyük su hasarı onarımlarından daha ucuzdur. https://huckerreport.com/author/kacak/